chapter 39
"Aku Rista, Mbak."
Seorang gadis berusia 20-an mengulurkan tangan kanannya ke depanku. Senyum melebar di bibirnya ketika jabat tangan kami bertemu. Ia terlihat manis dengan seragam berwarna putih hitam yang membalut tubuh langsingnya. Sebuah hair net terpasang rapi di belakang kepala, menyembunyikan juntaian rambut panjangnya. Sepertinya Rista adalah satu-satunya makhluk bernama perempuan di tempat ini, karena tiga orang yang berdiri di sebelahnya berjenis kelamin laki-laki.
"Tommy." Seorang laki-laki di sebelah Rista ganti memperkenalkan diri. Aku memperkirakan usianya tak beda jauh denganku, 25 atau 26. Ia tak terlalu tinggi dan berperawakan sedang. Kulitnya sawo matang dan rambutnya sedikit ikal. Ia mengulum senyum tipis saat menyalamiku.
"Paul."
Seorang laki-laki di sebelah Tommy memperkenalkan diri. Ia memakai sehelai apron hitam pada bagian bawah tubuhnya dan seragam koki berwarna putih sebagai atasan. Tubuhnya tinggi dan rambut gondrongnya dikuncir rapi. Wajahnya terlihat datar saat menjabat tanganku. Tapi, telapak tangannya yang besar terasa hangat.
Dan, seorang lagi bertubuh kecil dan agak pendek terlihat cengengesan. Tubuhnya hanya sebatas pundak Paul. "Namaku Fauzan, Mbak. Panggil aja Fafa. Aku adalah asisten baker king Paul," ucapnya memperkenalkan diri seraya meraih tanganku dengan gerakan sigap. Membuatku harus meledakkan tawa geli. Ia pastilah seseorang yang paling lucu dan menyenangkan di toko ini. Dan kenapa pula aku harus memanggilnya Fafa?
"Mulai hari ini Sasta yang akan menggantikan Mama mengurusi toko," ucap Prima sesaat setelah tawa kami mereda.
"Emang Ibu belum sembuh, Mas Prima?" tukas Tommy terlihat akrab. Sepertinya hubungan mereka sangat baik, lebih dari yang kuduga.
"Udah mendingan, sih. Tapi takutnya ntar kecapekan lagi, makanya Sasta yang gantiin Mama ngurus tempat ini," tutur Prima. "ada pertanyaan?" Sepasang mata laki-laki itu menatap keempat pegawai toko yang berbaris rapi di depannya. Tapi, mereka diam dan terlihat tidak tertarik untuk menanyakan sesuatu.
"Oke... "
Ucapan Prima terhenti karena tiba-tiba jari telunjuk tangan kanan Fauzan terangkat ke atas. Interupsi?
"Apa, Fa?" tanya Prima.
"Boleh tanya sesuatu sama Mbak Sasta?" tanya Fauzan terdengar hati-hati.
Aku menatap Prima sekilas lalu mengangguk. "Ya?"
"Mbak Sasta udah nikah, belum?"
"What?!" Teriakan itu tak mampu kucegah dan melompat keluar dari bibirku begitu saja. Ini disebut apa? Lucu? Berani? Atau Fauzan benar-benar ingin tahu statusku?
"Dasar." Rista dan Tommy kompak menggumam sambil melempar pelototan tajam pada Fauzan.
"Belum." Eh, malah Prima yang menjawab pertanyaan Fauzan dan laki-laki itu terlihat sangat lega setelah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Kenapa ya, terkadang orang merasa lega melihat idola atau orang yang ia sukai berstatus lajang? Padahal belum tentu mereka jadi pasangannya, loh.
Aku hanya melenguh sambil menatap kesal pada Prima. Ia benar-benar menyebalkan.
"Ada pertanyaan lagi?" Prima menatap ke arah semua orang dan kali ini hening. "oke. Kalau gitu kalian boleh kembali ke tempat masing-masing," ucapnya membubarkan barisan pegawai.
Semua orang kembali ke tempat masing-masing setelah mendapat perintah Prima. Rista dan Tommy kembali ke belakang etalase yang memajang beraneka macam kue dan puding, bersiap melayani pelanggan yang datang untuk membeli. Sementara Paul dan Fauzan bergerak menuju ke dapur, melanjutkan pekerjaan mereka membuat adonan kue.
Toko itu tidak terlalu luas, tapi seperti kata Prima tempat itu terlihat nyaman. Ada dua etalase besar yang memamerkan beraneka macam kue dan puding di sana. Tiga buah meja pengunjung yang masing-masing dilengkapi dua kursi diletakkan berseberangan dengan etalase kaca. Lantai dan dinding terlihat sederhana didominasi warna krem membuat tempat itu terkesan klasik dan romantis. Mungkin. Aku tidak pernah tahu pasti apa yang disebut sebagai tempat romantis. Dinding kaca yang dipasang pada bagian depan toko memungkinkan orang yang berada di dalam bisa menatap keluar dengan leluasa. Sementara di luar, aku sempat melihat begitu banyak pot bunga ditempatkan di berbagai titik. Sementara tanaman sulur tampak menghias bagian atap teras toko. Mama sangat detail mendesain toko kuenya.
"Mau makan kue?" tawar Prima seraya sedikit membungkukkan tubuhnya untuk mengamati barisan kue di dalam etalase kaca.
"Kamu nggak ke kantor?" Aku malah bertanya topik lain. Sedari pagi Prima bersamaku dan aku takut pekerjaan di kantor akan terbengkalai meski ada Papa di sana.
Prima seketika menegakkan tubuh dan menatapku dengan pandangan aneh. Apa ada yang salah denganku?
"Ada yang salah?" tanyaku hati-hati.
Kepala Prima menggeleng pelan. "Nggak ada. Aku cuma perlu membiasakan diri dengan pendengaranku."
"Maksudnya?" Dahiku sudah berlipat tajam dan aku nyaris pingsan karena didera rasa penasaran. Sebenarnya apa sih, yang ada di dalam kepala laki-laki itu?
"Ya, kalau dulu aku biasa denger kamu bilang loe gue-loe gue, sekarang aku harus membiasakan diri denger kamu bilang aku-kamu," ujarnya membuatku seperti tersengat aliran listrik tegangan tinggi.
Ya, ampun! Prima benar. Tanpa sadar dan entah bagaimana asalnya, nyatanya aku mulai bersikap sopan padanya. Aku juga menjaga cara bicaraku padanya secara tak sadar. Pasti gara-gara Robin, nih. Terlalu banyak bergaul dengannya membuatku berubah.
"Tapi aku senang dengan perubahan kamu... "
Satu kalimat Prima berhasil membuatku terpojok. Pipiku memanas dalam sekejap. Aku malu!
Sebuah perubahan yang tidak pernah kusadari.
"Gimana kalau black forest?" Prima mengalihkan bahan perbincangan. Dagunya mengarah pada kue yang baru saja disebutkannya. Sebuah potongan black forest yang lumayan bisa mengganjal perut sembari menunggu makan siang. Aku masih ingat, Prima-lah satu-satunya orang yang paling bersemangat menyantap kue itu saat aku berulang tahun beberapa waktu yang lalu.
"Boleh," sahutku setelah menimbang beberapa saat. Aku perlu sesuatu untuk menenangkan batin setelah perpisahanku dengan Go Fresh, teman-teman, dan juga Robin.
"Rista! Ambilin black forest dua, ya!" teriak Prima memerintah Rista setelah aku menyetujui usulnya.
"Oke, Mas Prima!" balas gadis itu dengan nada ceria.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top