chapter 38
"Resign?"
Kedua mata Robin melebar dan sepasang alisnya terangkat ketika menatapku. Perpaduan antara rasa kaget, tak percaya, dan sesuatu yang lain. Naluriku yang bilang begitu. Tapi, entah jika naluriku sedang berbohong.
Kepalaku mengangguk pelan.
"Kenapa?" Laki-laki itu melipat kedua lengannya di depan dada dan sepasang manik mata legamnya lurus menatapku. Tatapan menginterogasi. "kamu marah karena peristiwa tempo hari?" desaknya mencoba menebak.
Marah? Bukannya dia yang marah dan mendiamkanku kemarin selama sehari penuh seolah itu adalah hukuman yang harus kuterima karena menyinggung nama Angelic di depan Robin? Helo... Apa dia sudah lupa?
"Bukan," sahutku cepat. "Mamaku sakit," ungkapku sejurus kemudian untuk meredakan segala tuduhan yang tersirat dalam tatapan matanya.
"Oh."
"Aku harus gantiin Mama ngurusin toko kuenya," imbuhku lagi. Kurasa Robin harus tahu dengan gamblang alasanku mengajukan resign agar ia tidak berpikir kalau sikapnya-lah yang membuatku harus undur diri dari pekerjaan petik memetik sayuran.
"Oke," sahut laki-laki itu seolah tanpa berpikir. Ia langsung memberi persetujuan dengan begitu cepat dan tanpa pertanyaan ini itu. Dan Robin berhasil membuatku berpikir jika ia dengan mudah melepaskan kepergianku dari tempat itu. Padahal jauh di lubuk hatiku masih ingin tinggal lebih lama di sisi Robin, meski posisiku tidak istimewa di matanya. Dan sikapnya semakin membuatku sadar jika perasaan ini hanya sepihak. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Sakit, bukan?
"Beneran kamu mau resign?" Adi, dengan sebuah kardus dalam dekapannya, tiba-tiba muncul dari balik punggung Robin lalu menyela. Mungkin telinganya terlalu sensitif atau ia sengaja menguping pembicaraanku dengan Robin di sudut minimarket. Laki-laki itu menurunkan kardus berisi orderan pelanggan dan spontan berteriak kencang ke arah pintu belakang usai mendapat anggukan dari kepalaku. "woi, Sasta mau resign!"
Norak banget, sih!
Tak perlu menunggu semenit, Raka dan Mbak Erli muncul dengan langkah-langkah tergesa ke arah kami. Suara Adi benar-benar dahsyat menggema di dalam minimarket. Tapi, untung saja hari masih pagi dan belum ada pengunjung yang datang. Mbak Juny menyusul sesaat kemudian, sementara Mbak Rin hanya tertegun menatap kami dari balik mesin kasir. Ia tak mungkin meninggalkan area kekuasaannya itu hanya demi mendengar teriakan Adi.
"Beneran kamu mau resign, Dek?" Mbak Erli langsung mengguncang pundakku dengan gerakan cukup kencang. Tapi, hatinya pasti lebih terguncang daripada pundakku. Tatapan matanya meredup, dan aku yakin ia-lah yang paling berduka atas keputusanku ini.
"Sorry, Mbak." Dengan penuh rasa menyesal, aku mengangguk. "Mamaku sakit," beritahuku.
Mbak Erli mencoba untuk tersenyum. "Aku pasti akan kangen sama kamu, Dek."
"Aku juga." Adi menyahut tanpa diminta.
"Dasar," cetusku sambil mengayunkan tangan ke pundak laki-laki itu. "udah ah, jangan melow kayak gini. Kita kan masih bisa ketemu," ucapku mengurai suasana yang mulai mengharu biru.
"Sering-sering telepon aku ya, Dek... "
"Iya, kalau aku ada pulsa," kekehku menggoda. Tapi, sebuah tepukan kecil harus mendarat di pipi kananku. Mbak Erli memasang tampang cemberut saat melakukannya.
"Jangan lupa mampir kalau kebetulan lewat," sela Mbak Juny dengan menyelipkan seulas senyum tipis. Aku dan Mbak Juny nyaris tak pernah mengobrol sebelum ini. Tapi, sepasang matanya menyiratkan kesedihan saat menatapku.
"Iya, Mbak," anggukku. "sorry semuanya, aku nggak bisa lama-lama. Aku harus pergi sekarang. Aku udah ditunggu," ucapku seraya menunjuk ke arah pintu keluar minimarket. Di luar sana mobil Prima sedang terparkir dan aku tidak ingin membuatnya menunggu terlalu lama.
Aku memeluk tubuh Mbak Erli dan Mbak Juny sebelum angkat kaki dari tempat itu. Mengucapkan sebaris kata goodbye untuk Raka dan Adi, juga tatapan penuh arti pada Robin. Kuharap ia tidak akan pernah tahu arti tatapan itu.
"Hati-hati, Dek."
"Jaga diri, Sas."
"Aku pasti bakalan kangen sama kamu, deh... "
Aku tersenyum mendengar pesan dari mereka satu per satu. Bagaimanapun mereka adalah teman-teman yang baik meski belum genap sebulan kami saling mengenal. Tapi, hanya Robin yang masih terpaku dan tidak menguarkan satu kata perpisahanpun untukku. Pelit!
Tiba-tiba saja semuanya terasa sangat canggung. Begitu juga saat aku membalikkan tubuh dari hadapan Robin lalu memunggungi laki-laki itu dan keluar dari Go Fresh. Separuh jiwaku ingin tinggal di sisi Robin dan sebagian lagi ingin berlari sejauh-jauhnya. Untuk apa memelihara perasaan yang hanya sepihak? Itu sama saja membunuh diriku pelan-pelan.
Dengan setengah berlari aku menuju ke mobil Prima sekadar menyamarkan rasa sedih yang mulai menggelayut di dalam dadaku. Tapi, perasaan ini menyadarkanku jika menghilang dari hidup Robin adalah hal yang terbaik buatku.
"Udah?"
Aku mengiyakan dengan satu anggukan kepala dan membanting pintu mobil.
"Kenapa lari-lari?" hardik Prima begitu aku berhasil duduk di jok sebelahnya. Laki-laki itu menatapku dengan dahi berkernyit.
"Nggak pa pa. Yuk, jalan," balasku datar. Tanpa menoleh.
"Pasang sabuk pengamannya dulu, Sas."
Ya, ampun. Hal begini saja luput dari perhatianku. Bodoh.
"Udah siap ke tempat kerja yang baru?" tatapnya sebelum menyalakan mesin.
Ganti aku yang mengerutkan kening. "Bukannya kita ke sana cuma mau meninjau lokasi doang?" Seperti rencana yang sudah kami sepakati sebelum keluar rumah, kami hanya akan mengunjungi toko kue Mama setelah mampir di Go Fresh untuk berpamitan.
"Iya, sih. Tapi nantinya itu akan jadi tempat kerja kamu, kan?"
Aku tak menjawab dan melenguh pelan saat mobil yang kami tumpangi meluncur keluar dari halaman minimarket Go Fresh.
"Moga kamu betah di sana ntar," ucap Prima mengisi keheningan. "anak-anak di sana seumuran kita, kok. Tempatnya juga lumayan nyaman," imbuhnya memberi sedikit gambaran tentang suasana toko kue milik Mama.
Tapi, senyaman apapun tempat itu tidak ada Robin di sana.
Aih, kenapa juga pikiranku masih dipenuhi dengan Robin, sih?
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top