chapter 35

"Sasta, kamu denger aku nggak, sih?"

"Heh?" Aku tergagap dan melongo menatap ke samping di mana Robin baru saja berseru kesal padaku. "kamu bilang apa tadi?" tanyaku tak tahu malu, persis seorang idiot.

Robin mendengus kesal. "Kamu mau makan sesuatu?" tanya laki-laki itu sejurus kemudian, tapi sepasang matanya menatap ke depan, pada lampu lalu lintas yang menyala merah.

Oh. Jadi, pertanyaan itu yang lolos dari indera pendengaranku?

"Mie ayam, boleh?" Tanpa ragu aku menyebutkan keinginan. Bukan makanan spesial sebenarnya, cenderung sederhana dan murah malah. Juga mudah di dapat.

"Oke." Robin tampak tak keberatan. Padahal tadinya kupikir ia buru-buru pamit dari rumah Angelic karena ada urusan penting, atau seseorang memintanya agar segera pulang ke rumah. Nyatanya pemikiranku salah.

Setengah jam kemudian...

Aku dan Robin sudah duduk berhadapan di dalam sebuah warung tenda pinggir jalan yang menyediakan menu mie ayam. Tempat itu masih sepi, hanya ada kami dan sepasang suami istri yang sedang duduk menikmati mie ayam di sudut warung.

"Nggak mau nambah sambal?" tawar Robin setelah pesanan kami disajikan, dua porsi mie ayam plus dua gelas es jeruk. Aku hanya menambahkan satu sendok kecil sambal ke dalam mie ayamku, tidak lebih.

"Aku nggak suka pedes," tandasku sambil meraih botol kecap lalu menuang isinya ke dalam mangkukku.

"Oh."

Aku mulai sibuk mengaduk isi mangkukku dan tak begitu menghiraukan Robin atau keadaan sekitar.

"Kamu pernah ke sini sebelumnya?" Aku bergumam setelah menyuap untuk pertama kali. "bareng Angelic mungkin?"

"Mau nambah cakar ayam?" tawar Robin membuatku berhenti menyuap dan menatapnya heran. Seolah ia tidak pernah mendengar suaraku menyebut nama gadis itu.

Bisa-bisanya ya, dia mengalihkan topik di saat aku sedang membahas Angelic.

"Angelic suka cakar ayam?" Aku balik tanya. Setengah menebak.

"Nggak," gelengnya pelan sembari sibuk menekuri isi mangkuknya. Perasaan sedari tadi ia hanya mengaduk isi mangkuknya, deh.

"Emangnya Angelic suka makan apa?" tanyaku sejurus kemudian. Mengabaikan kebisuan yang ditampilkan laki-laki itu. "dia vegetarian?"

Kepala Robin menggeleng setelah beberapa menit kemudian beserta jawaban nggak yang meluncur sangat pelan dari bibirnya.

"Kasihan ya, Angelic. Mungkin kalau dia nggak koma, kalian udah nikah sekarang. Kalau aku bisa, aku mau bertukar tempat dengannya... "

Brak.

Aku terenyak mendengar suara benturan yang berasal dari tangan Robin yang memukul permukaan meja dengan tiba-tiba. Laki-laki itu menatapku dengan sorot mata tajam. Wajahnya berangsur memerah dan aku sempat melihat kedua tangannya mengepal di atas meja.

"Bisa nggak, kita nggak membaas itu sekarang?"

Aku bergeming, bahkan untuk mengerjapkan matapun kulakukan dengan sangat hati-hati. Napasku tertahan.

Kamu marah?

Atmosfir di sekitar tubuhku mendadak meningkat suhunya. Tatapan tajam Robin sanggup membuat suasana di sekitar tubuhku berubah. Kamu hebat banget, Bin.

"Maaf, aku nggak bermaksud... "

"Udah, kita balik aja," potong Robin secepat kilat. Bahkan aku belum selesai dengan kalimat penyesalanku.

Bibirku hanya bisa terkatup, padahal hatiku ingin melampiaskan sejumlah kalimat protes. Bagaimana dengan mie ayamnya? Kasihan kalau nggak dihabiskan, bukan?

Robin sudah bangkit dari atas bangku kayu tempat duduknya dan bersiap pergi. Laki-laki itu mengeluarkan dompet kulit dari saku celana jeansnya, sementara aku terpaku menatap mangkukku yang masih penuh dengan pandangan tidak rela.

"Mie-nya dibungkus aja, Pak," teriak Robin seketika memaksaku menatap bingung ke arahnya.

Sumpah, aku tidak tahu bagaimana harus bersikap saat ini. Aku seperti kehilangan jati diri dan karakter.

Tapi, aku bisa bernapas sedikit lega ketika menyusul langkah-langkah lebar Robin menuju ke mobil. Setidaknya dua porsi mie ayam dan dua bungkus es jeruk berada dalam genggamanku saat ini. Mereka perlu diselamatkan dari kemarahan Robin.

Aku memilih membisu setelah berhasil meletakkan pantat di atas jok. Menatap ke arah laki-laki itu secara langsung adalah hal yang paling kuhindari. Minimal aku tidak memancing emosinya kembali dengan kata-kata yang keluar dari bibirku. Lagipula tidak ada yang tahu mood-nya sekarang ini.

Kuharap Robin tahu, kediamanku kali ini adalah sebuah bentuk penyesalan terdalam atas kalimat-kalimatku. Dan tentang Angelic, aku berjanji tidak akan menyinggung nama gadis itu di depan Robin lagi.

Perjalanan kami sempurna tanpa kata. Aku yang sibuk dengan rasa bersalahku, sementara Robin konsentrasi pada kemudi.

Aku baru menyadarkan diri sendiri dari sekumpulan lamunan ketika mobil milik Robin menepi dan benar-benar berhenti beberapa meter dari pintu gerbang rumah.

"Thanks, ya." Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari bibirku, selebihnya tak ada. Aku terlalu malu dan gugup untuk menunjukkan wajah bersalahku di hadapannya.

"Tunggu!"

Teriakan Robin menahan tanganku yang hendak mendorong pintu mobil. Kepalaku menoleh kepadanya. Dan hanya lewat tatapan mata aku berani bertanya apa padanya.

Robin meraih sesuatu dari dalam dashboard mobilnya. Sebuah kotak kecil terbungkus selembar kertas bergambar Hello Kitty berwarna pink.

"Buat kamu," sodornya.

Aku menatap Robin sekilas lalu benda itu secara bergantian. Aku kan baru saja melukai perasaan Robin, tapi kenapa laki-laki itu malah memberiku sesuatu. Kotak kecil berbentuk persegi panjang itu cukup membuatku penasaran.

"Apa ini?" tanyaku ragu. Yang jelas aku tidak berharap isi kotak itu adalah cincin atau semacamnya. Karena itu mustahil terjadi.

"Kado buat kamu," tandasnya sembari mengulas senyum sederhana.

Robin memang pernah bilang akan memberiku kado ulang tahun waktu itu, tapi kupikir ia tidak serius dengan kata-katanya.

"Thanks." Aku memungut benda itu dari tangan Robin dengan suka cita. Setidaknya ia masih mengingat janjinya. Juga memberiku sedikit ruang untukku di dalam hatinya. Meski hanya sebuah ruang sempit yang disebut teman biasa dalam hatinya.

Aku bergegas turun dari atas mobil Robin tanpa menunggu balasan darinya, mengulas sebuah senyum tipis, dan melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.

Aku segera berlari ke dalam rumah setelah mobil Robin bergerak menjauh. Bahkan sapaan dari asisiten rumah tangga di rumah kami kuabaikan begitu saja dan tak menghalangi langkahku menuju ke kamar. Tanganku sudah tak sabar ingin segera membuka kado dari Robin...

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top