chapter 34
Seorang wanita berusia awal 50-an menyambut kedatangan kami dengan kening berkerut. Pada awalnya ia terlihat senang saat melihat wajah Robin, tapi begitu tatapan matanya beralih padaku, senyum di bibirnya perlahan memudar. Digantikan raut keheranan yang tergambar dengan jelas di wajahnya.
"Saya temen Robin, Tante." Aku berinisiatif memperkenalkan diri sebelum wanita itu menduga hal yang tidak benar tentangku. Bisa saja ia mengira aku adalah pacar Robin, kan? Ia pasti kecewa jika laki-laki itu membawa seorang gadis bertandang ke rumahnya sedangkan putrinya adalah pacar resmi Robin. Meski Angelic dalam status koma saat ini.
"Oh... Yuk, masuk." Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi itu mempersilakan aku dan Robin untuk masuk ke dalam rumahnya yang super besar. Aku bisa melihat berbagai perabotan mahal tampak menghuni ruang demi ruang di dalam rumah itu. "mau langsung ke kamar Angelic?" tawarnya seolah tahu apa maksud kedatangan kami.
Aku melirik Robin dan melempar pertanyaan lewat kode tatapan mata. Apa ia sudah memberi tahu maksud kedatangan kami pada ibu Angelic sebelum datang ke sini?
Robin tak merespon dan tetap tekun menapaki anak tangga penghubung lantai satu dengan lantai dua, tepat di belakang punggung wanita itu. Sedang aku melangkah sedikit lebih lambat seraya menebar pandangan ke sekeliling, meneliti suasana di dalam rumah Angelic yang super besar. Lampu kristal yang tergantung pada langit-langit ruang tengah terlihat megah dan menawan. Ia-lah benda yang terlihat sangat mencolok setelah seperangkat sofa berwarna gelap yang menghuni ruang tamu. Guci berukuran raksasa yang berdiri di sudut ruangan juga menarik untuk diamati. Lemari kaca, meja yang memajang pigura-pigura, pernik-pernik lucu, dan berbagai macam piala tampak memenuhi bagian lain di lantai bawah. Juga sebuah pigura besar berisi foto keluarga yang menampilkan wajah-wajah sang penghuni rumah, tergantung pada satu bagian titik di dinding ruang tamu.
Akhirnya kami memasuki sebuah kamar yang sangat luas setelah tiba di lantai atas. Ukuran ruangan itu sekitar dua kali lipat dari kamar yang kutempati sekarang. Aroma harum langsung menyentuh indera penciumanku begitu pintu terbuka. Semacam aroma terapi.
Pandanganku langsung tertumbuk pada seorang gadis yang sedang terbaring di atas tempat tidur besar di tengah-tengah ruangan setelah aku melangkah lebih jauh ke dalam. Sepasang matanya terpejam erat seperti sedang terlelap dalam tidur yang nyenyak, mirip bayi yang pulas karena kelelahan setelah seharian menangis. Tubuhnya yang sebagian tersembunyi di balik selimut berbahan lembut berwarna pink, terlihat diam tak bergerak. Sebuah selang infus tampak terjuntai dengan ujung menancap kuat di kulitnya yang putih bersih dan cenderung terlihat pucat karena terlalu lama tidak tersentuh sinar matahari. Napasnya berirama lemah, dibantu seutas selang oksigen yang terhubung ke organ pernapasannya.
Pada dasarnya ia cantik. Di balik pelupuknya yang terpejam, pasti tersembunyi sepasang mata yang indah dan menghipnotis siapapun yang menatapnya. Hidungnya juga terlihat bagus, mancung dan terus terang milikku tidak sebagus punya Angelic. Bibirnya yang terpahat tipis sempurna, berwarna merah muda dan aku bisa membayangkan saat ia tersenyum, bukan hanya Robin, tapi seluruh dunia akan jatuh cinta padanya. Dan saat gadis itu tertawa, duniapun ikut bernyanyi memuji kecantikannya. Robin pasti sangat mencintainya. Dan jika ini adalah sepenggal kisah dalam dunia dongeng, Robin hanya perlu mencium gadis itu dan Angelic akan membuka kedua matanya. Tapi, sayangnya Angelic bukanlah Sleeping Beauty dalam negeri dongeng. Perlu satu keajaiban besar untuk mengembalikan kesadarannya.
"Belum ada perkembangan sama sekali, Bin." Suara Ibu Angelic membuatku terpaksa mengusir pemikiran tentang gadis itu dari kepalaku. Wanita itu berdiri di dekat tempat tidur Angelic, menatap putrinya sekilas dengan sorot mata sedih lalu beralih kepada kami berdua. "bagaimana kabar minimarket kamu? Maju pesat?" Ibu Angelic merubah topik perbincangan karena tidak ada pembahasan tentang putrinya yang menarik untuk dibicarakan. Mungkin menurutnya seperti itu.
"Belum bisa dibilang maju pesat, Tante," kekeh Robin seraya menggaruk tengkuknya. Berusaha merendah di hadapan wanita yang batal menjadi calon ibu mertuanya.
"Maaf, ya. Tante belum bisa mampir ke sana... "
"Nggak pa pa, Tante. Oh, ya. Gimana kabar Om?"
Perbincangan akrab di antara mereka berdua tidak terlalu kuperhatikan. Aku sibuk memainkan ujung-ujung kuku demi mengisi waktu luang.
"Maaf, Tan. Ada telepon..."
Aku baru mengangkat wajah ketika Robin melangkah pergi dari sisiku dengan menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah panggilan masuk. Aku hanya menatap punggungnya dengan tertegun.
"Bener kamu bukan pacar Robin?" tegur wanita itu memaksaku mengalihkan tatapan dari pintu. Robin sudah menghilang di baliknya sedetik sebelum Ibu Angelic melontarkan pertanyaan.
"Eh." Sungguh, aku tergagap karena terlalu terkejut. Aku tidak pernah menduga jika Ibu Angelic akan bertanya seperti itu. "bukan, Tante. Saya bukan pacar Robin. Dia bos saya di minimarket," ungkapku menjelaskan yang sebenarnya.
"Oh." Wanita itu mengangguk-angguk. "sebenernya Tante sudah menyuruh Robin untuk mencari pengganti Angelic," gumamnya sembari melirik ke arah putrinya yang masih bergeming di atas tempat tidur.
Aku tercekat mendengar pengakuan wanita itu. Bahkan aku harus melipat kulit keningku karenanya. Ada sederet pertanyaan yang tiba-tiba melintas di dalam kepalaku, tapi kurasa aku tidak pantas terlibat dalam urusan Robin dan Angelic. Mungkin aku hanya akan menunggu penuturan wanita itu untuk menjawab segenap rasa penasaran yang sedang berkecamuk di dalam dadaku.
"Tante sudah berkali-kali bilang pada Robin, jangan menunggu Angelic. Tapi dia masih bertahan sampai sekarang. Sebenarnya Tante merasa kasihan pada Robin, dia sudah lebih dari cukup umur untuk menikah. Sementara Angelic, entah kapan bisa bangun... " Wanita itu masih menatap Angelic selama ia menguraikan kalimat-kalimatnya. Ada seberkas rasa bersalah dan kesedihan mendalam yang terlukis di wajahnya. Dan aku sedang berusaha keras untuk memahami perasaan seorang Ibu. Membayangkan diriku pada posisi wanita itu dan semua ini mengingatkan aku pada Mama.
"Sebenarnya apa yang terjadi padanya, Tante?" Untuk memenuhi rasa penasaran, akhirnya sebaris pertanyaan keluar dari bibirku.
"Kata dokter dia mati otak," sahut Ibu.
Mati otak?
Aku tercekat mendengar pengakuan Ibu Angelic. Aku pernah mendengar kata itu dalam drama Korea. Seseorang yang mati otak tidak akan pernah bisa sembuh dan hanya keajaiban yang mampu membuatnya kembali terbangun. Apa benar seperti itu?
"Kamu menyukainya, kan?" Sebuah tepukan lembut mendarat di pundakku untuk membuyarkan lamunanku yang merantau jauh ke negeri Korea. Wanita itu sudah berdiri di depanku, menatap kedua mataku penuh misteri. Hanya dia dan Tuhan saja yang tahu arti tatapan itu.
"Maksudnya?" Sungguh, aku terlalu bodoh untuk bisa memahami apa maksud pertanyaan wanita itu.
"Robin. Kamu menyukainya, kan?"
Jleb!
Aku serasa mati gaya saat bibir wanita itu mengungkapkan tebakannya yang langsung menancap tepat di jantungku.
"Tante... "
"Tante bisa merasakan kalau kamu menyukainya," timpal Ibu Angelic mengerti kegugupan yang melanda hatiku. "Tante senang jika ada seseorang yang bisa menggantikan Angelic di hati Robin... "
"Bukan seperti itu, Tante." Aku mencoba angkat bicara. "saya dan Robin nggak ada hubungan apa-apa."
Wanita itu tersenyum tipis. "Jangan mengasihani Angelic dan mengorbankan dirimu sendiri. Angelic bukan orang yang suka dikasihani."
"Tapi dia pantas untuk ditunggu, Tante. Dan Robin pasti sangat mencintainya. Angelic pasti bangun suatu saat nanti... "
Sekali lagi wanita itu tersenyum, memamerkan segenap ketegaran yang selama ini perlahan ia pupuk dalam hatinya. Sepertinya ia sudah mempersiapkan hati dan mentalnya untuk kehilangan Angelic.
Robin masuk di saat kami saling diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Setidaknya aku bersyukur ia tidak perlu mendengar perbincangan kami.
"Maaf, Tante. Kami harus pamit... " ucap Robin tanpa perlu berbasa-basi pada ibu Angelic.
"Hati-hati di jalan, Bin. Titip salam buat Mama kamu."
"Ya, Tan. Pasti aku sampaikan." Robin menyalami wanita itu sebelum mengajakku keluar dari kamar Angelic.
Aku memeluk tubuh wanita itu sesaat sebelum menyusul langkah Robin yang sudah terlebih dulu meninggalkan kamar milik Angelic.
"Jaga Robin baik-baik," bisik wanita itu saat aku hendak melepaskan tubuhnya. Dan aku tidak benar-benar paham apa maksud dibalik ucapannya.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top