chapter 33
"Loe nggak mau turun?" kejut Radit menyadarkanku jika mobil yang kami tumpangi sudah berhenti tepat di depan minimarket Go Fresh. "Atau gue yang ngomong sama Robin kalau loe suka sama dia?"
"Iya, iya," sahutku sewot. Radit tidak pernah main-main dengan ucapannya. Artinya ia bisa melakukan apa saja termasuk bilang pada Robin kalau aku menyukai. Dan itu bisa berakibat fatal bagiku.
"Beneran loe kuat? Loe nggak sarapan tadi," celutuk Radit ketika aku berhasil melepas sabuk pengaman dan nyaris melompat turun dari atas mobil.
"Iya. Kalau gue pingsan kan ada Robin," celutukku seraya menyeringai padanya.
"Loe tuh, wajah udah kayak baby panda masih juga becanda. Ntar pingsan beneran tahu rasa loe!" oloknya penuh semangat. Sepertinya ia sangat berharap aku akan pingsan karena kurang tidur dan melewatkan sarapan. Bagaimana aku bisa sarapan kalau pagi-pagi sekali Radit sudah berteriak di dekat telingaku, seolah-olah kami berdua sedang berada di tengah-tengah hutan rimba. Lalu setelahnya ia memaksa mengantarku pulang untuk mandi dan berganti pakaian. Dan sesudahnya ia mengantarku ke tempat kerja seakan-akan Radit sudah tidak sabar untuk segera mengenyahkanku dari pandangan matanya.
"Gue pergi dulu," pamitku sebelum membanting pintu mobil Radit. "Tapi thanks berat udah nampung gue semalem. Jangan kapok-kapok, ya!" Aku masih sempat berteriak sebelum Radit melajukan mobilnya menjauh dari hadapanku.
Radit tak menjawab. Hanya sebuah cibiran yang kudapat sebelum ia berhasil menutup kaca mobil lalu melanjutkan kembali perjalanannya.
"Eh, Dek. Dianter siapa? Pacar?"
Aku mengalihkan tatapan dari mobil Radit yang bergerak menjauh dan terlihat semakin mengecil ketika suara Mbak Erli menyapa gendang telingaku. Wanita itu baru saja memarkir motornya di halaman Go Fresh.
"Bukan, Mbak. Kakak sepupu," sahutku seraya mengayunkan langkah ke dekatnya.
"Beneran bukan pacar?" delik Mbak Erli penuh kecurigaan.
"Bukan, Mbak," tegasku setengah mengeja. Apa aku tampak seperti seorang pembohong?
"Oh." Bibir Mbak Erli tampak membulat. "eh, kamu sakit, Dek? Pucet amat?"
"Siapa yang sakit?" Suara itu tiba-tiba menyela percakapan kami. Otomatis membuat aku dan Mbak Erli menoleh ke belakang, ke arah pemilik suara yang sudah berdiri di belakang tubuh kami.
Robin?
Aku celingukan dan menemukan mobil laki-laki itu sudah terparkir di tempat biasa. Apa karena lambungku masih kosong, membuat konsentrasiku sedikit terganggu? Bahkan aku tidak melihat benda sebesar itu di sana. Eit, tapi apa yang salah dengan wajahku pagi ini? Apa aku sepucat itu seperti kata Mbak Erli?
"Eh, bos." Mbak Erli terkekeh pelan. Sedang aku memasang wajah datar. Toh, yang dilakukan Mbak Erli hanya basa-basi atas nama hormat dan sungkan pada Robin. "ini Sasta kelihatan pucet banget," lapornya.
"Oh, ya?" Robin beralih mengamati wajahku. "kamu sakit?"
Aku menggeleng dengan cepat. Jangan berlagak sok peduli padaku atau aku akan mengalami serangan baper akut!
"Aku nggak pa pa. Cuma nggak sempat pakai bedak aja," ujarku meredakan ketegangan di wajah mereka berdua.
Aku memperlambat langkah dan membiarkan Robin masuk lebih dulu ke dalam minimarket. Tapi, punggungnya yang terbalut jaket denim berwarna hitam malah membuat pikiranku terbang ke mana-mana. Tentang Angelic juga. Kurasa aku akan memundurkan perasaan ini jauh-jauh darinya sebelum bertambah parah. Menjadi patah hati bukanlah sesuatu yang mudah untuk diatasi. Butuh waktu untuk mengobatinya dan itu tidak instant.
"Bos." Aku tidak tahu mendapat inspirasi dari mana, tapi ujung tanganku sudah menyentuh punggung Robin ketika Mbak Erli sudah ngeloyor ke arah loker karyawan. "bisa ngobrol sebentar?" pintaku setengah memohon.
Robin mengerutkan kening ketika membalikkan tubuh dan menatapku. Tapi, laki-laki itu mengangguk sedetik kemudian dan memberi kode agar kami mencari tempat yang nyaman untuk bicara.
"Apa aku boleh menjenguk Angelic?" tanyaku super hati-hati setelah kami berpindah tempat ke teras minimarket. Aku ragu ia akan menyetujui permintaanku, tapi aku ingin sekali melakukannya. Setidaknya aku ingin memberi sedikit dukungan moril pada gadis itu untuk tetap berjuang, meski mungkin tidak akan berarti apapun baginya.
"Kamu yakin ingin menjenguknya?" tatap Robin ragu.
Aku mengangguk. Aku hanya ingin melihat gadis itu untuk meyakinkan diriku agar segera mengundurkan perasaan ini sejauh mungkin dari hadapan Robin. Dan untuk mengingatkan diriku bahwa Robin memiliki seseorang yang lebih pantas untuk ditunggu. Juga agar aku tidak berlarut-larut dalam baper sendirian. Karena sikap Robin yang terkadang manis dan sok perhatian itu bisa mengacaukan pikiran sehatku.
"Oke. Aku tunggu setelah jam kerja, ya."
Aku mengulum senyum tipis begitu persetujuan Robin keluar. Laki-laki itu menepuk pundakku pelan lalu melangkah masuk ke dalam minimarket.
"Ngapain bengong di sini?"
Teguran itu berhasil menyentak kesadaranku dan nyaris membuatku terkena serangan jantung mendadak.
Radit, kakak sepupuku yang super bawel, sudah berdiri di sebelahku seolah baru saja jatuh dari atap Go Fresh. Ia memasang wajah datar tanpa dosa dan menatapku seperti melihat domba kurus yang sedang kelaparan karena sedetik kemudian tangannya terangkat ke udara, memamerkan sebuah kantung berbahan kertas.
"Gue bawain donat kentang buat ganjel perut loe biar nggak sampai pingsan pas metik sayur," ujarnya dengan binar bangga. Sebelah tangannya yang lain menepuk perutku dengan gerakan pelan.
Aku masih takjub menatap Radit. Bisa-bisanya ya, dia balik lagi ke sini hanya untuk membawakanku donat. Selama ini aku kurang menyadari jika laki-laki itu sangat baik padaku.
"Kenapa loe bisa balik ke sini?" tanyaku pura-pura sewot. Tapi, tangan kananku menyambar kantung donat darinya dengan kekuatan penuh.
"Karena gue nggak rela si Binbin gendong loe kalau loe beneran pingsan... " Senyumnya merekah lebar setelahnya.
"Sialan loe!" makiku kesal.
"Iya, iya. Bawel."
Aku mendengus ketika tangan Radit berhasil mampir di atas kepalaku, mengacak tatanan rambutku, dan terkekeh seraya beranjak dari hadapanku.
Baru juga dipuji baik. Dasar bawel!
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top