chapter 32

Wajah kusut plus rambut berantakan langsung kutemukan pada sosok Radit begitu pintu apartemennya terkuak pelan. Sepasang matanya masih setengah terbuka, sarat dengan rasa kantuk yang berusaha sekuat tenaga ditahannya.

"Loe?" tanya Radit kaget sekaligus jengah saat melihat penampakanku di depan pintu apartemennya.

"Radit!" jeritku yang baru tersadar jika sepupuku itu tidak memakai atasan sama sekali. Tapi, sebuah celana boxer terpasang dengan baik di tempatnya dan itu menyelamatkan kedua mataku dari penyakit infeksi. "loe nggak pakai baju, hah?" Aku menutup kedua mataku dengan telapak tangan dan berusaha mengintip bagian wajah Radit. Ingat, hanya bagian wajah doang!

"Ngapain loe ke sini malem-malem? Tahu nggak jam berapa ini? Gangguin orang tidur aja, kayak nggak punya kerjaan, tahu nggak?" omel Radit seolah tak mendengar protesku sebelumnya.

Aku tak menyahut dan langsung menerobos masuk ke dalam apartemennya lalu menjatuhkan pantat di atas sofa empuk di ruang tamu. Tak peduli dengan sederet omelan yang sudah dan belum kuterima dari bibir si bawel itu.

"Ada apaan, sih?" susul Radit usai menutup kembali pintu apartemennya.

"Pakai baju dulu sono!" perintahku kesal. Aku benci disuguhi pemandangan lengan yang berotot dan roti sobek di perut Radit karena itu akan mengingatkanku pada Sehun-ku tersayang.

Radit melenguh pelan, namun sejurus kemudian ia bergerak ke dalam kamar untuk menuruti perintahku.

"Ada apaan?" Radit kembali beberapa menit kemudian dan menempati sofa di sebelahku. Jarak kami hanya terpisah sejengkal saja. Selembar sweater putih polos sudah membalut tubuh bagian atasnya dan itu jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia juga menyempatkan diri mencuci wajah dan satu hal yang terbaik darinya kali ini adalah sekaleng minuman bersoda sengaja diletakkannya di atas meja khusus untukku. Aku sudah menduga jika ia bisa menebak kalau kedatanganku ini berhubungan dengan sesuatu yang penting. Urgent.

Aku menunda kalimat yang sedari tadi ingin kumuntahkan karena tiba-tiba tenggorokanku sekering gurun pasir. Cairan soda dalam kaleng yang disuguhkan Radit kuteguk sampai tak bersisa, meski konon minuman itu mengandung kadar gula yang sangat tinggi.

"Kenapa loe nggak bilang kalau Robin udah punya pacar?" tanyaku langsung pada pokok permasalahan. Aku mengabaikan serentetan basa basi yang hanya akan membuatku bertambah penasaran.

"What?!"

Aku melempar kaleng kosong ke atas meja mendengar teriakan mengejutkan dari bibir Radit. Kebiasaan lama yang menyebalkan! Kapan dia akan merubah kebiasaannya itu?

"Loe bilang Robin punya pacar?" tanya Radit sejurus kemudian dengan bola mata membulat seolah ingin melompat keluar dari tempatnya. "masa sih? Kok gue nggak tahu, sih?" Si bawel itu ganti menggaruk-garuk tengkuknya.

Aku menyipitkan mata menelusuri ekspresi yang ditampilkan wajahnya. "Beneran loe nggak tahu atau pura-pura nggak tahu?" desakku.

Radit menggeleng berulang-ulang demi menegaskan ketidaktahuannya. "Sumpah, Sas. Gue sama sekali nggak tahu. Gue ketemu sama Robin belum lama ini, mungkin empat atau lima bulan terakhir. Sebelumnya gue nggak pernah ketemu dia sejak lulus SMU. Jadi, gue nggak tahu dia punya pacar atau nggak. Pas gue tanya dia udah nikah apa belum, Robin bilang belum. Gue pikir dia jomblo... "

"Dia punya pacar, Dit. Tapi, ceweknya koma karena kecelakaan. Udah dua tahun." Aku memotong kalimat Radit dan memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi.

"Hah?" Laki-laki itu terperangah dan ia tampak jelek saat mengangakan mulutnya seperti sekarang. "apa loe bilang tadi? Ceweknya Robin koma?"

Aku mengangguk malas. Kurasa kalimat-kalimatku cukup jelas dan aku tidak perlu mengulanginya.

"Kok bisa dia koma selama itu?"

Aku tak bereaksi karena pertanyaan Radit seperti bukan ditujukan padaku. Mungkin ia sedang bertanya pada dirinya sendiri.

Radit menghela napas panjang dan merapatkan kepalanya pada sofa. "Gue nggak nyangka nasib Robin kayak gitu," gumamnya tidak jelas.

Aku hanyut dalam diam dan membiarkan Radit berkelana dengan pikirannya sendiri. Setidaknya hatiku sedikit merasa lebih baik setelah berbagi informasi ini dengan Radit. Meski ini sama sekali tidak mengurangi rasa nyeri yang mendera dadaku.

"Terus loe malem-malem ke sini cuma mau ngasih tahu gue soal itu?" toleh Radit ganti menginterogasiku. "loe bisa telepon atau chat gue, Sas. Nggak perlu gangguin jam tidur orang juga kali," imbuhnya.

"Kalau gue telepon loe, emangnya loe mau angkat?"

"Besok kan bisa?"

"Tapi gue nggak bisa tidur karena kepikiran hal itu, Dit."

Radit terdiam. Tapi, sorot matanya memancarkan seberkas kecurigaan yang langsung bisa kutangkap.

Kayaknya gue salah ngomong, deh.

"Loe suka sama si Binbin?" Radit mengangkat kepalanya dari atas sofa, merubah posisi duduknya menghadapku, lalu menatapku dengan sorot mata horor.

Aku terenyak, tak menduga akan mendapat pertanyaan yang langsung memojokkan seperti itu. Barulah aku menyesali semua gelagat mencurigakan yang kutunjukkan pada Radit.

"Siapa yang suka dia," gerutuku sambil membuang pandangan ke arah lain. 

"Ngaku aja deh loe, Sas." Sebuah tepukan mendarat di atas kepalaku. "dari awal gue juga emang niatnya mau jodohin kalian berdua, tapi loe sok jual mahal. Ngakunya nggak-nggak padahal dalam hati loe suka. Gue bener, kan?"

Aku bergeming. Aku jelas-jelas terpojok dan tidak bisa berkutik dari tuduhan Radit.

"Gue emang suka sama dia," ungkapku jujur sesaat kemudian. Tapi, aku mengurangi volume suaraku beberapa tangga nada. Nyaris tak terdengar.

"Nah, apa gue bilang... "

"Tapi dia udah punya pacar, Dit." Aku menimpal seruan Radit dengan cepat untuk menjatuhkan cita-cita dan impiannya menjodohkan aku dengan Robin. "gue nggak mungkin ngerebut pacarnya orang yang sedang berjuang antara hidup dan mati, kan? Gue tega mukul orang, tapi gue nggak bisa ngerebut Robin selagi cewek itu terbaring koma. Gue nggak bisa... "

"Loe kayak main drama aja, Sas." Radit berseloroh sambil mengibaskan tangan kanannya ke depan. Padahal aku sedang berbicara serius tadi.

"Terus gue mesti gimana?"

Radit mengedikkan bahu. "Gue nggak tahu. Tapi, kalau loe mau gue bisa merekomendasikan beberapa cowok ke loe. Itu juga kalau loe mau, sih," ujarnya.

"Gue nggak mau."

"Terus mau loe gimana?"

Aku menggeleng pelan dan menjatuhkan kepalaku ke atas bahu Radit. "Gue capek banget," gumamku mulai memejamkan mata. Bukan hanya fisik, tapi hati dan perasaanku terasa lumer saat ini. Aku butuh istirahat.

"Tapi jangan di sini juga kali, Sas."

Aku malah memeluk lengan Radit ketika sepupuku itu bermaksud untuk bangkit dari tempat duduknya. Pastinya ia ingin menendangku keluar dari apartemennya, tapi kakiku terlalu malas untuk digerakkan.

"Gue ngantuk banget, Dit." Aku bergumam dan mempererat cengkeraman tanganku pada lengan Radit yang kokoh berotot.

"Gue anter pulang, yuk... "

"Nggak! Gue mau tidur di sini," tolakku dengan nada ngotot. Aku bisa semalaman guling-guling di atas tempat tidur karena galau. Tapi, aku merasa sedikit lebih baik saat ada seseorang di sampingku.

"Tapi loe nggak boleh nginep di tempat cowok, Sas."

"Kenapa? Loe itu kakak sepupu gue, bukan orang lain. Kalau gue nginep di tempat Robin, itu baru namanya nggak boleh," ujarku menyodorkan pembelaan diri.

Radit melenguh cukup keras. Biar saja, aku tidak peduli. Aku suka melihatnya bosan dan putus asa menghadapiku seperti saat ini.

"Oke, gue telepon Mama loe dulu kalau gitu... "

"Jangan!" cegahku cepat. "sms aja," cengirku mengekspresikan sebuah kemenangan telak.

"Loe tuh, bener-bener kelewatan manja, ya. Lepasin tangan gue dulu," seru Radit seraya mengetuk kepalaku pelan. Tapi rasanya lumayan sakit juga, sih. "gue kasihan sama orang yang bakalan jadi cowok loe ntar."

"Kenapa?" tanyaku seraya menatap gerak gerik Radit yang sudah sibuk mengutak-atik ponsel kesayangannya.

"Karena loe belum bertumbuh dewasa. Pikiran masih kanak-kanak, ceroboh, manja... "

Sebuah bantal terpaksa menghantam wajah Radit dan menghentikan segala ocehan yang keluar dari mulut bawelnya. Rasakan!

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top