chapter 31

Ternyata nasib sial masih mengintaiku sampai detik ini setelah kejadian bertubi-tubi tadi siang. Pertama, Mbak Rin yang sok caper di depan Robin dan membuatku harus mengepel sepatu Adi. Kedua, karena kecerobohanku tomat-tomat hijau yang tidak bersalah ikut terpetik secara tidak sengaja dan semua itu terjadi karena Robin. Laki-laki itu terus berputar di dalam kepalaku dan susah untuk dienyahkan. Lalu dampak terburuknya aku dihukum membersihkan kamar mandi. Dan ketiga, aku sudah berdiri di depan Go Fresh selama 20 menit dan belum mendapatkan ojek padahal sudah order sejak pintu minimarket ditutup. Kurang sial apalagi diriku, coba?

Mbak-mbak seniorku sudah pergi sejak tadi karena mereka membawa motor masing-masing, begitu juga dengan yang lain. Sementara aku masih harus berdiri menunggu abang tukang ojek sampai kakiku pegal. Belum lagi tangan dan punggungku yang luar biasa capek karena harus membersihkan kamar mandi. Semua ini gara-gara si Binbin sialan itu...

"Belum pulang?"

Eh?

Aku tergagap ketika menoleh dan menemukan sosok Robin yang tinggi menjulang sudah berdiri di sebelahku. Padahal aku baru saja berpikir tentang laki-laki itu sedetik yang lalu dan tiba-tiba ia sudah berada di sebelahku.

Tuh, kan? Tinggi tubuhku cuma sebatas pundaknya.

"Belum," gelengku malas.

"Nunggu tukang ojek?" tegurnya lagi.

Udah tahu masih juga nanya.

Aku mengangguk. Jengah.

"Ikut mobilku aja, yuk. Sekalian aku anterin pulang," tawarnya seraya melempar kode lewat gerakan tangan.

"Hah?" Aku mematung selama dua detik lamanya saking tidak percaya pada penawaran yang baru saja meluncur bebas dari bibir Robin. "kamu mau nganterin aku pulang?" ulangku sambil menunjuk ke hidung sendiri.

"Iya, yuk." Tanpa menunggu jawabanku, Robin sudah kepalang memutar tubuh dan mengayunkan langkah pertama menuju ke arah mobilnya terparkir.

Bagaimana kalau aku menolak? Kenapa dia tidak menunggu jawabanku lebih dulu?

Nyatanya beberapa menit kemudian aku sudah duduk di atas jok sebelah kiri kemudi, memasang sabuk pengaman dengan ragu karena kecelakaan kecil malam itu terlintas kembali di kepalaku. Tidak mungkin aku mengharapkan kejadian yang sama akan terulang kembali, bukan?

Robin melajukan mobilnya pelan keluar dari halaman Go Fresh. Untung saja Mbak Rin dan yang lain tidak melihat kejadian ini. Bisa-bisa aku digampar kalau Mbak Rin tahu aku diantar Robin pulang.

"Kucingnya bagus."

Aku tersentak. Maksudnya?

"Oh, ini?" gumamku baru sadar jika boneka kucing pemberian Radit kupeluk sejak tadi. Tidak mungkin aku memasukkan benda selucu itu ke dalam tas, kan?

"Hadiah?" toleh Robin menyambung percakapan kembali. Entah kenapa saat diluar jam kerja, sikap Robin normal-normal saja dan jauh dari kesan bossy.

"Ya, dari Radit," jelasku singkat.

"Kamu ulang tahun?" Sekali lagi ia menebak dan laki-laki itu beruntung karena tebakannya tepat. Pertanyaannya kusambut dengan anggukan ringan. "hari ini?"

"Kemarin."

"Oh, selamat ulang tahun kalau gitu," ucapnya seperti pada teman sendiri. Padahal ia yang pernah bilang kalau hubungan kami sebatas bos dan karyawan. "maaf, aku nggak sempat beli kado. Lain kali, ya?" pintanya setengah berjanji.

Bukannya tadi ia sudah menghadiahiku hukuman membersihkan kamar mandi? Apa ia sudah lupa?

"Nggak perlu. Lagian aku kan udah gede. Udah nggak pantes buka kado," selorohku.

"Kenapa?" Laki-laki itu tersenyum tipis. "Radit juga ngasih kamu hadiah, kan? Lalu kenapa aku nggak boleh?" protesnya.

Aku mendelik curiga ke arahnya. Lama-lama aku merasa ada yang aneh dengan laki-laki itu. Kenapa ia bersikap seolah-olah kami seperti teman lama, tapi saat di minimarket ia ingin menyiksaku habis-habisan.

"Dia sepupuku, jadi wajar kalau dia ngasih kado... "

"Karena aku orang lain, jadi aku nggak berhak ngasih kamu kado, gitu?" potongnya membuatku terpaksa mengerutkan kening karena rasa heran yang sudah memuncak di dalam kepalaku.

"Bukan gitu."

"Terus?"

Aku tersenyum pahit.

"Apa pentingnya ngasih kado untuk orang yang sedang ulang tahun?" gumamku seraya mengalihkan pandangan ke depan. Percuma menatap ke arah Robin karena aku akan merasa salah tingkah kembali saat ia tiba-tiba menoleh dan mata kami bertemu meski itu hanya terjadi tak lebih dari dua detik saja.

"Seenggaknya ada seseorang yang menghargai dan menganggap kamu ada di dunia ini," tandasnya terdengar serius.

Busyet. Kata-kata Robin dalem banget.

Aku menghela napas panjang demi menunjukkan betapa membosankannya percakapan kami. Tubuhku terlalu lelah dan aku hanya ingin cepat sampai di rumah lalu tidur sampai esok hari.

Kebisuan di antara kami pecah ketika ponsel milik Robin berdering memainkan sebuah intro lagu yang asing di telingaku. Bahkan aku nyaris menguap tadi kalau saja benda itu tidak mengeluarkan bunyi.

"Halo... "

Aku memilih membuang pandangan keluar jendela saat Robin menerima panggilan. Aku berada tepat di sebelahnya dan tidak mungkin menutup kedua telingaku, kan? Jadi, aku berusaha bersikap tidak peduli saja.

"Iya, Tante. Aku baik... Iya, lumayan sibuk, jadi belum bisa mampir ke sana. Gimana kabar Angelic?..... Oh, gitu?... Iya, Tante... Iya... Bye."

Aku terhenyak di atas tempat dudukku demi mendengar sebaris nama wanita yang baru disebut Robin. Angelic?

Aku mengalihkan tatapan ke arah Robin dengan ragu setelah laki-laki itu menutup sambungan telepon. Tak ada ekspresi yang aneh kutemukan di wajahnya. Semuanya terlihat normal.

"Siapa Angelic?" tanyaku pelan. Rasa penasaran mengetuk-ngetuk bibirku agar segera bertanya padanya tentang sebaris nama asing itu. "pacar kamu?" tebakku sesaat kemudian.

Robin mengangguk. "Dulu," ucapnya singkat.

Sungguh, aku tidak tahu kenapa, tapi dadaku mendadak terasa sesak. Nyeri.

"Maksudnya?" pancingku lebih lanjut. "kalian udah putus?" Aku menebak-nebak lagi.

"Nggak."

"Lalu?"

"Kami pacaran dua tahun yang lalu," ujar Robin datar. Bahkan sejak tadi ia belum menoleh ke arahku, padahal aku terus-terusan menatapnya. "tepatnya sebelum dia mengalami kecelakaan dan jatuh koma," sambung laki-laki itu seraya menoleh ke arahku. Barulah aku menemukan seberkas duka terpancar dari sepasang mata laki-laki itu.

Koma?

"Dia koma?" Aku sungguh-sungguh tak bisa menyembunyikan keterkejutanku usai mendengar penuturan Robin.

Anggukan kepala Robin menandakan pernyataan iya. "Dua tahun ini terbaring koma," tandasnya.

Aku terenyak dan menyandarkan punggungku lebih dalam lagi ke sandaran jok. Jadi, Angelic adalah pacar Robin yang koma selama dua tahun.

"Kamu nggak mau turun?" sentak laki-laki itu memecah kebisuanku.

Aku mengangguk pelan dan berusaha melepaskan sabuk pengaman dari tubuhku, tapi entah bagaimana ceritanya tanganku seolah kehilangan kekuatannya. Bahkan untuk melepaskan sabuk pengamanpun tak becus kulakukan.

"Macet?"

"Hah?" Aku tertegun seketika saat tiba-tiba Robin beringsut dan mengulurkan tangannya untuk melepaskan pengait sabuk pengaman di jokku.

Ya, Tuhan... Tubuhku menegang dan napasku tertahan ketika wajah Robin begitu dekat denganku. Bahkan aku bisa menghirup aroma shampo yang melekat di rambutnya. Memaksa jantungku berdetak lebih keras dari sebelumnya. Aku kenapa, ya?

"Udah."

Robin menarik tubuhnya menjauh setelah berhasil melepaskan pengait sabuk pengamanku.

"Aku balik dulu," pamitku buru-buru mengalihkan pandangan darinya sebelum Robin menemukan ketidakberesan tergambar di wajahku. Aku segera melompat turun dari atas jok lalu membanting pintu mobil Robin keras-keras.

Bodoh.

Aku mengayunkan langkah-langkah sembari merutuki diri sendiri. Menyesali semua yang menimpa hati dan tubuhku beberapa saat yang lalu. Bisa-bisanya hal itu terjadi padaku. Kenapa? Bukannya aku yang bilang kalau Robin bukan tipeku? Dia sama sekali tidak mirip Sehun, Baekhyun, atau member EXO yang lain. Tapi, kenapa aku merasa separuh hatiku jatuh padanya dengan begitu gampang?

Dia itu terlalu tinggi, bahkan aku mirip sebatang sapu jika harus berdiri di sebelahnya. Tubuhku terlalu kurus jika harus disandingkan dengan Robin yang tinggi besar. Sungguh ketimpangan fisik yang menonjol, bukan? Tidak, kami bukan pasangan serasi dan tidak seharusnya aku jatuh cinta padanya karena dia sudah punya Angelic. Meski gadis itu sedang koma dan aku tidak tahu berapa persen kemungkinan ia akan sembuh, tapi aku yakin Robin masih mencintai gadis itu. Laki-laki itu pasti akan bertahan untuk menunggunya kembali.

Jadi, Sasta enyahkan segenap pikiranmu tentang Robin. Mengerti?

Ya, aku mengerti. Aku tahu di mana aku harus menempatkan diri.

"Aww... " Aku mengerang ketika ujung sepatuku menabrak anak tangga pertama dan membuat tubuhku kehilangan keseimbangan. Kenapa kesialanku belum berakhir hari ini?

Sambil menahan sakit aku segera bangkit dan melangkah masuk ke dalam rumah sebelum ada seseorang yang melihatku terjatuh di teras depan.

Hari yang melelahkan.


###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top