chapter 30
"Dek! Sasta!"
Aku tercekat mendengar suara Mbak Erli yang memanggil namaku dengan volume maksimal. Aku hanya bisa tergagap dan melongo menatap wanita itu.
"Gantiin aku bentar, ya. Aku kebelet, nih," suruhnya sembari mengangsurkan sebuah gagang pel ke tanganku dengan paksa. "kamu pel bagian depan, yang bersih, ya. Thanks!"
Aku masih terpana dengan kesadaran yang masih setengah ketika Mbak Erli ngeloyor pergi menuju ke kamar mandi. Aku masih mengangakan mulut dan belum sempat menyetujui permintaannya untuk mengepel lantai bagian depan minimarket. Padahal aku harus mengepak orderan pelanggan yang harus dikirim hari ini. Tapi, apa boleh buat. Toh, Mbak Erli bilang hanya sebentar, bukan?
Aku bergegas melangkah demi melaksanakan tugas sementara yang diberikan Mbak Erli. Eh, tapi saat aku melewati bagian depan kasir, kedua sosok yang sedang berdiri di area pembayaran itu membuat pandanganku teralihkan untuk sementara waktu.
Ekor mataku menangkap sosok Robin dan Mbak Rin di satu sudut sana. Mereka terlihat asyik mengobrol, sepertinya sedang membahas sesuatu karena keduanya sama-sama menatap selembar kertas yang berada dalam genggaman tangan Mbak Rin. Dan aku menangkap jika Mbak Rin sesekali mencuri pandang ke arah Robin, menyelipkan senyum dan tawa tiap mengeluarkan sepatah atau dua patah kata. Tampak jelas sekali jika Mbak Rin menyukai Robin, tapi sepengetahuanku sikap laki-laki itu terlihat wajar. Berbeda dengan sikap Mbak Rin yang jelas-jelas menggambarkan perasaannya pada Robin.
Menyebalkan!
Terlalu lama menatap pemandangan itu membuat kedua mataku sakit. Lama-lama aku bisa terkena infeksi mata jika terus-terusan menatap mereka berdua.
Aku bergegas mengayunkan gagang pel di tanganku dan enggan untuk kembali menatap ke area kasir, meski telingaku sesekali menangkap suara tawa Mbak Rin. Apa harus segitunya menarik perhatian Robin?
"Ya, ampun, Sasta. Pelan-pelan dong kalau ngepel. Ini kaki, Sayang," seru Adi yang mendadak sudah berdiri di depanku dengan sebuah kardus berada di dalam dekapannya.
Aku tersentak dan sadar dari lamunan tentang Mbak Rin. Bahkan ujung pel yang basah masih menempel di atas sepatu Adi.
"Kalau ngepel jangan sambil ngelamun. Apalagi mikirin aku. Kan aku ada di hati kamu," kekeh Adi tak tahu malu.
Dasar playboy penggoda!
"Udah pergi sono!" Aku menimpuk punggung Adi cukup keras dan mengusirnya dari hadapanku sebelum mulutnya memuntahkan rayuan-rayuan gombal lainnya.
"Duh, cantik-cantik galak," desis Adi sambil menjulurkan lidahnya ke arahku sebelum melanjutkan langkah.
"Udah ngepelnya?"
Suara lain menegur dan aku sudah bisa menebak siapa pemiliknya. Robin.
Aku mengangguk ketika laki-laki itu menghampiri tempatku berdiri. Udah ngobrolnya sama Mbak Rin?
"Kamu bantuin Raka di belakang, gih. Petik tomat sama cabai," suruh Robin kemudian. Wajah dan nada bicaranya sama-sama datar. Membuatku berpikir tentang ucapan Radit tadi pagi. Apa itu gaya seseorang yang naksir padaku?
"Ya," sahutku singkat dan tanpa protes panjang lebar, aku bergegas pergi ke belakang sesuai perintah si Bos Binbin.
Untungnya Mbak Erli sudah selesai dengan urusan kamar mandinya ketika aku melewati bilik kecil itu. Aku langsung menyerahkan gagang pel padanya dan mengatakan ada tugas lain dari bos yang harus kulaksanakan. Memetik tomat dan cabai! Ugh.
Butiran-butiran buah tomat yang matang dan berwarna merah terlihat menggiurkan langsung memanjakan mataku. Lumayan, setelah sebelumnya kedua mataku tersakiti oleh pemandangan Mbak Rin dan Robin, perlahan berangsur segar kembali.
Aku mulai memasukkan buah-buah tomat yang sudah berhasil kupetik ke dalam sebuah keranjang kecil. Selain membudidayakan sayur mayur sendiri, Robin juga harus mengambil hasil panenan petani demi memenuhi permintaan semua pelanggan Go Fresh. Tentu saja harus sayur dan buah-buahan organik seperti yang sudah dikonsepkan oleh Robin. Dengan begitu para petani ikut terbantu dalam memasarkan hasil panenannya.
"Sasta! Yang ini kan masih ijo!"
Teriakan itu menerobos masuk ke dalam telingaku dan berhasil mengacaukan pikiranku dari lamunan panjang. Memaksaku tergagap dan sontak menatap ke sebelah. Raka sedang menggeleng-geleng tidak jelas seraya melempar tatapan horor ke arahku.
"Sorry." Aku hanya bisa menampilkan sebuah cengiran bodoh di hadapan seniorku itu.
"Makanya kalau kerja itu jangan ngelamun. Mikirin siapa sih? Cowok?" cecar laki-laki itu sembari mendekatkan wajahnya padaku. Sepasang bola matanya bergerak menelusuri wajahku untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaannya.
"Nggak," tegasku cepat. "siapa yang mikirin cowok?" elakku berlagak mengurai senyum pahit.
"Masa sih? Jadi kamu belum punya cowok? Mau aku cariin cowok?" tawar Raka sedetik kemudian cengengesan.
"Ogah banget," sahutku sewot.
Raka menderaikan tawa renyahnya. "Daripada bengong terus kayak gitu," ujarnya sambil memegangi perutnya.
"Ada apaan, nih? Kok bercanda-bercanda terus, bukannya metik tomat?" sela Robin yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang tubuh Raka.
"Oh, Bos." Seketika Raka menghentikan tawa dan memberi ruang pada Robin agar lebih mendekat padaku. "ini tadi Sasta kerja sambil ngelamun," lapor Raka dengan sengaja. Apa ia tidak bisa menutup mulutnya sedikit saja untuk melindungi orang lemah sepertiku?
"Masa sih? Kenapa kamu ngelamun? Ada masalah?" desak Robin beralih menatapku dengan tatapan angker. Apa ia tidak bisa memasang ekspresi sedikit ramah padaku?
"Nggak ada," jawabku singkat. Cuma sedikit lamunan tentang kamu dan Mbak Rin. Tapi, anehnya kenapa aku mesti membawa kalian ke dalam lamunan? Waktu dan tenagaku terkuras sia-sia gara-gara kalian dan itu membuatku terlihat sangat bodoh.
"Kamu siapin barang yang mau dikirim, Ka. Bentar lagi Pak Mahmud berangkat," ucap Robin beralih pada Raka dan mengabaikanku sejenak.
"Oke, Bos." Raka mengangkat tangan kanannya ke depan kening seperti gerakan hormat dan segera beranjak dari hadapan Robin secepatnya. Aku bisa menarik napas lega setelah punggungnya bergerak menjauh. Eh, salah. Aku masih belum bisa bernapas dengan lega karena masih ada Robin.
"Kamu salah petik?" tanya Robin sembari mengangkat tomat-tomat yang masih berwarna hijau dari dalam keranjangku seakan-akan ingin menghitung berapa banyak kesalahan kecil yang baru saja kulakukan.
"Iya, Bos. Tapi nggak banyak, kok," cengirku dengan rasa bersalah yang menumpuk tebal di wajahku. Kenapa juga aku jadi bego begini?
"Kamu udah sarapan?"
Aku mengangguk. Apa hubungannya dengan sarapan?
"Kalau udah sarapan, kenapa masih salah fokus? Kata kamu juga nggak ada masalah, tapi kenapa bisa salah petik gitu?" Laki-laki itu menatapku dengan memasang wajah angker. Seolah-olah ia hakim dan aku tersangkanya.
Apa aku harus bilang padanya, kalau semua ini gara-gara dia dan Mbak Rin? Karena sikap Mbak Rin yang sok caper padanya dan sesekali mencuri pandang padanya. Hei, tapi kenapa aku harus merisaukan hal ini? Bukannya aku yang bilang pada Mbak Rin kalau dia lebih pantas untuk Robin? Aku juga bilang pada Radit tadi pagi kalau laki-laki itu bukanlah tipeku. Lalu kenapa aku jadi uring-uringan sendiri gara-gara si Binbin itu? Ya, Tuhan, kenapa aku jadi salah tingkah sendiri seperti ini?
"Nggak bisa jawab?" sentak Robin membuatku harus angkat dagu. Kebisuanku jelas-jelas membuatnya terus bertanya-tanya, kan?
Aku melenguh pasrah. Sungguh, aku kehilangan segenap kebawelanku seperti saat bersama Radit. Robin benar-benar membuatku mati gaya! Dan parahnya aku tidak tahu apa sebabnya.
"Ya, udah. Kamu bersihin kamar mandi aja sana," suruh Robin membuatku tercekat bukan kepalang.
Kamar mandi katanya?
"Tapi... "
"Daripada kamu salah petik mending sekarang kamu bersihin kamar mandi. Kamu nggak mau gajimu dipotong lagi, kan?" delik laki-laki itu dengan nada kalem. Tapi, tetap saja itu sebuah ancaman mengerikan untukku.
Aku mengangsurkan keranjang tomat ke tangan Robin dan melangkah gontai meninggalkan kebun dengan perasaan dongkol setengah mati. Aku tidak bisa marah meski dadaku ingin meledak rasanya.
Busyet.
Waktu aku menoleh ke belakang, nyatanya Robin juga sedang menatapku masih dengan angkernya. Uh... kelewatan! Kenapa laki-laki itu tiba-tiba sangat menyebalkan seperti ini, sih? Bukankah kata Radit, Robin adalah orang yang pertama memberi tanda like fotoku di Instagramnya? Malah Radit sempat mengira kalau Robin naksir padaku, tapi ini jelas-jelas bukan sikap seseorang yang menyukai lawan jenisnya. Radit saja yang sok tahu sampai-sampai membuatku baper sendirian.
Kejam.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top