chapter 29
"Sasta!"
Aku terperangah dan tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan aku tak bisa menggerakkan tubuhku barang seinchipun karena tiba-tiba Radit menubrukku begitu pintu terbuka. Kakak sepupuku itu memeluk tubuhku begitu erat seolah tak ingin membiarkanku untuk bernapas.
Dengan kekuatan seadanya, aku berusaha mendorong tubuh Radit--meski aku tahu akan gagal karena kekuatan luar biasa yang dimilikinya hasil bentukan gym--agar segera menjauh. Aku tidak mau kehabisan napas gara-gara si bawel itu.
"Loe apa-apaan, sih?" gerutuku sebal bukan kepalang. Aku butuh bantuan seseorang untuk melempar tubuh Radit menjauh dari hadapanku.
"Happy birthday, Sasta sayang..." Barulah Radit berinisiatif melepaskan tubuhku dan mengucapkan sebaris kalimat selamat ulang tahun padaku. Ia terkekeh pelan dengan memasang wajah tak berdosa padahal ia baru saja ingin membunuhku. Ia bisa terkena pasal pembunuhan dengan sengaja jika tidak segera melepaskan tubuhku secepatnya.
Aku terbatuk kecil. Sesaat tadi tenggorokanku tersumbat dan nyaris tak ada oksigen yang masuk ke dalam paru-paruku.
"Loe mau bunuh gue?!" hardikku kesal. Kedua mataku melotot galak ke arahnya. "pagi-pagi ke sini mau ngapain? Lagian ulang tahun gue udah kemarin. Loe telat ngucapinnya, tahu nggak?!"
Radit menyatukan kedua telapak tangannya dan buru-buru meminta maaf. "Sorry, deh. Kemarin gue sibuk banget, jadi nggak sempat mampir ke sini."
"Sibuk atau lupa, hah?" timpalku sewot. Aku sudah hafal kebiasaan Radit sehari-hari, jadi aku tidak akan percaya begitu saja saat dia bilang sibuk. Sibuk main hape, iya. Atau jangan-jangan ia sibuk kencan dengan gadis itu?
"Sibuk, Sas. Nggak percaya amat sih," gerutunya seraya mengusap puncak kepalaku pelan. Tapi, aku buru-buru menyingkirkan tangannya sebelum Radit berhasil merusak tatanan rabut kuncir kudaku hari ini. "mana gaun yang gue pinjemin sama loe?"
Aku mendengus dan mengangkat bungkusan di tangan kananku. Ia datang tepat waktu. Aku hendak berangkat kerja dan tahu-tahu Radit sudah berdiri di depan pintu rumah. Momen yang pas.
"Oke," sahutnya menerima bungkusan dari tanganku dengan girang. Bahkan ia tak memeriksa isinya sama sekali. "gue anterin sekalian, yuk. Loe mau berangkat kan?" tawarnya berbaik hati.
Aku mengangguk dan tanpa banyak bicara, langsung mengayunkan langkah ke arah mobil Radit yang terparkir di depan pintu gerbang.
"Udah sarapan belum?"
Aku menoleh setelah berhasil memakai sabuk pengaman. "Loe sedang berbasa-basi, kan?" delikku sarat dengan kecurigaan.
Radit melengkungkan senyum tipis di ujung bibirnya. "Iya, sih. Tapi, kalau loe belum sarapan, gue punya roti. Tuh," tunjuk dagu Radit pada sebungkus biskuit gandum yang nangkring di atas dashboard mobil.
"Gue udah sarapan. Nasi goreng spesial pakai telur dadar," ujarku bermaksud pamer di depannya. Aku terkikik pelan setelahnya.
"Tumben." Radit menoleh sekilas lalu menyalakan mesin mobilnya. "dibikinin Mama?"
"Iya."
"Oh."
Aku mengikuti arus lalu lintas di depan dengan tatapan mata serius ketika mobil Radit telah meluncur di atas jalan raya. "Kami udah berdamai," gumamku pelan.
Radit tak langsung menyahut. Ia terdiam selama beberapa detik. Mungkin sedang menebak maksud ucapanku.
"Berdamai?"
"Iya. Maksudnya, gue dan Papa tiri gue. Semalam mereka ngasih gue kejutan ulang tahun dan katanya mereka ngelakuin itu hanya untuk nunjukin kalau gue adalah bagian dari keluarga mereka. Mereka juga sayang sama gue, Dit," paparku dengan mimik serius. Tapi, wajahku masih tekun menatap ke depan. Aku takut ekspresi wajahku berubah setiap saat dan Radit akan menertawakan betapa cengengnya diriku. Aku tidak mau tampak seperti itu di hadapannya.
"Oh, ya?" Laki-laki itu nyaris memekik saking terkejutnya mendengar pemaparanku. "berarti itu kabar baik, dong. Boleh dirayain tuh," decaknya riang.
"Dasar loe," gumamku tak serius.
"Pantesan aja loe agak gemukan sekarang."
"Masa sih?" gumamku sembari berpikir. Apa aku benar-benar lebih gemuk dari sebelumnya? Memang sih, makananku lebih terjamin saat tinggal di rumah Mama yang sekarang.
"Iya. Terus abang loe, gimana? Bukannya loe pernah bilang kalau loe takut dia suka sama loe?"
Aku nyengir. Ternyata Radit belum lupa tentang hal itu. "Gue salah soal itu," tandasku dengan suara lirih.
"Salah gimana?"
Aku menarik napas panjang dan mengenyahkan rasa malu yang mulai merambat di atas wajahku.
"Prima udah punya pacar dan gue pikir dia akan segera menikah... "
"What?!"
Pekikan keras Radit nyaris membuat telingaku tuli. Aku tidak heran jika dia berteriak seheboh itu setelah mendengar penjelasanku. Tapi, apa jantungku akan baik-baik saja jika dia terus-terusan berteriak sekencang itu setiap ada hal yang membuatnya kaget?
"Biasa aja keles," gerutuku sewot.
Radit cekikikan tak karuan sembari sesekali menatap wajahku. "Makanya jadi orang jangan kege-eran, woi! Ada cowok ganteng dan baik dikit sama loe, udah ngelambung harapan loe, Sas. Parah banget hidup loe," ejeknya masih dengan tawa menjatuhkan harkat dan martabatku.
"Loe sih, nggak tahu gimana sikap Prima sama gue. Kemarin aja dia beliin gue boneka yang besar banget. Warna pink lagi. Kalau dia bukan abang gue, apa gue nggak ge-er, hah?" belaku dengan jurus ngotot.
Radit terbahak lagi. Sepertinya ia senang sekali menertawakanku, ya?
"Tapi harusnya loe seneng kan, kalau nyatanya abang loe udah punya pacar?" desaknya.
"Biasa aja tuh."
"Oh, iya... "
Tuh, kan. Dia ngagetin orang lagi.
"Loe percaya nggak kalau Robin ngasih like foto loe?"
Keningku langsung berkerut. "Foto apaan?" tanyaku dengan polosnya. Bahkan aku tidak ingat kapan pernah berfoto. Aku juga tidak pernah aktif di media sosial semenjak putus dari Reza.
"Foto loe di salon. Gue masang foto loe di Instagram gue dan orang pertama yang ngasih like adalah Robin. Percaya nggak loe? Dan gokilnya banyak temen-temen gue yang nanyain foto loe, Sas. Kayaknya pintu jodoh loe udah terbuka lebar, nih," cerocos Radit penuh semangat dan antusias.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan berharap bayangan Radit akan segera menghilang dari hadapanku. Nyatanya wujud si bawel itu nyata dan juga perkataannya benar adanya.
"Loe masang foto gue di Instagram?!" jeritku histeris. "berani-beraninya loe ngelakuin itu sama gue." Aku mengayunkan sebuah pukulan ke pundak Radit dengan gerakan sekuat tenaga, tak peduli ia sedang memegang kemudi dan kelakuanku membahayakan keselamatan kami berdua.
"Kalem aja, napa?" sahutnya dingin. Wajahnya terlihat sedatar papan cucian. "lagian loe cantik banget di foto itu, Sas. Gue kasih caption sepupu gue yang cantik. Masa gitu doang loe marah, sih?" sambungnya balas membela diri.
"Beneran loe nulis gue cantik di foto itu?" desakku masih tak mau kalah.
"Sumpah, Sas. Loe cek aja Instagram gue." Kedua jari tangan Radit terangkat membentuk huruf V. "eh, terus gimana loe sama si Binbin? Udah ada perkembangan yang signifikan belum?"
"Binbin siapa? Perkembangan signifikan apanya?"
"Maksud gue Robin. Dulu saat SMU anak-anak suka manggil dia Binbin," jelas Radit. "apa dia beneran naksir sama loe?"
"What?!" Terus terang aku nyaris melompat dari atas jokku saat mendengar pertanyaan Radit. "Robin naksir gue? Mana ada? Nggak mungkin! Dia bukan tipe gue, Dit. Lagian mana mungkin gue suka sama orang kayak gitu?" omelku kesal.
"Kayak gitu gimana? Bukannya loe udah lumayan deket sama dia? Kemarin malem loe juga dianterin sama Robin. Dia juga ngasih like foto loe. Bukannya itu indikasi kalau dia suka sama loe? Loe jangan sok jual mahal gitu," balas Radit seakan tanpa jeda.
"Suka apaan? Nggak!" tegasku sewot. "gue sama dia nggak ada apa-apa, ngerti?"
"Iya, iya. Gitu aja sewot. Udah, turun sono. Udah nyampek tuh," suruh Radit menyadarkanku jika mobil yang kami tumpangi sudah berhenti di depan Go Fresh.
"Ya, udah. Gue turun dulu... "
"Eh, tunggu!"
Aku mendengus sebal. Bukannya tadi dia menyuruhku untuk segera turun?
"Apa?" delikku sewot.
"Kado buat loe," ucap Radit sembari menyodorkan sebuah boneka kucing berbulu putih bersih dan berhias pita merah pada bagian lehernya. Aku tidak tahu kapan ia mengambil benda itu dari jok belakang mobilnya.
"Serius loe ngasih kado buat gue?"
"Iya, bawel banget sih loe?"
Aku menyambar boneka kucing itu dari tangan Radit secepat kilat, mengucapkan terima kasih, lalu bergerak turun dari atas jok. Aku sempat melihat senyum Radit saat berbalik untuk melambaikan tangan sebelum ia benar-benar menjauh pergi.
Bagaimanapun gokilnya hubungan kami, tetap saja ia adalah kakak sepupuku yang baik, meski usia kami cuma selisih setahun. Dia menyayangiku dengan caranya sendiri, begitu juga denganku.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top