chapter 28
Pemandangan yang tak biasa di atas tempat tidur membuatku harus menghentikan seluruh pergerakan tubuh dan persendian. Kakiku urung melanjutkan langkah, bahkan tanganku masih menggenggam kenop pintu saat mataku menumbuk sebuah benda asing di satu sudut sana. Sebuah boneka Teddy Bear berwarna pink setinggi satu meter sedang duduk manis di atas bantalku dengan tatapan angkuh dan tanpa izin pula. Sehelai pita berwarna merah terang melilit lehernya dan membuat benda itu terlihat menggemaskan. Bawaannya pingin peluk aja. Tapi, si Pink itu tidak sendiri. Ada beberapa kotak terbungkus kertas kado warna-warni berserakan di sekelilingnya, ditambah sebuah buket berisi bunga mawar merah tergeletak di sana dan menebarkan semerbak wangi saat aku menghampiri tempat tidur untuk meraih selembar kartu ucapan yang terselip di sela-selanya.
Happy birthday, Sasta.
Mama.
Aku melipat kembali sebuah kartu ucapan berukuran kecil usai membaca huruf-huruf yang tergores di atas sana. Dari Mama. Bahkan aku sama sekali tidak ingat jika hari ini adalah ulang tahunku. Ingatanku benar-benar payah!
Beberapa kartu ucapan bernada sama kutemukan di sana. Dari Papa tiri, Rani, dan terakhir Prima. Kartu ucapan dari Prima begitu mencolok karena benda itu berbentuk hati, berwarna merah bertabur glitter, dan menggantung di helaian pita Teddy Bear setinggi satu meter yang baru saja kupukul kepalanya karena gemas. Terus terang ini adalah hadiah terbesar ukurannya yang pernah kuterima seumur hidup. Juga boneka terbesar yang pernah kumiliki.
Tanpa sadar senyumku terkembang sejurus kemudian. Mereka ada-ada saja.
"Happy birthday to you... "
Alunan lagu selamat ulang tahun yang terdiri dari beberapa jenis suara terdengar sesaat kemudian. Memaksa wajahku beralih menatap ke arah sumber suara, namun tak cukup bisa mengikis sisa-sisa senyum yang masih terkembang di sudut bibirku.
Mama melangkah dengan hati-hati ke arahku dengan membawa sebuah black forest dengan ornamen rangkaian huruf Happy Birthday Sasta di atasnya. Sementara itu dua buah lilin berdiri tegak membentuk angka 25 dengan nyala api yang nyaris tenang.
Papa tiri, Rani, dan Prima berdiri di belakang Mama dengan senyum di bibir masing-masing. Sedang aku, sama sekali tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Semuanya serba mengejutkan, tapi satu-satunya hal yang paling kuhindari sekarang adalah menangis. Aku tidak mau terlalu hanyut dalam haru dan menitikkan air mata bahagia karenanya. Aku malu untuk melakukannya!
"Tiup lilinnya, Sayang," suruh Mama setelah posisinya begitu dekat denganku. Sementara yang lain begitu antusias menunggu momen aku meniup lilin yang membentuk angka 25 di atas kue black forest.
"Aku udah dewasa, Ma. Udah nggak pantes pakai pesta kayak gini," celutukku sengaja menunda acara tiup lilin. Jujur aku tidak pernah melakukan ritual semacam ini. Dulu, saat aku berulang tahun, maka Mama akan membuatkan beberapa kotak nasi kuning untuk dibagikan ke tetangga sekitar sebagai bentuk rasa syukur kami.
"Kami melakukan ini supaya kamu tahu, kalau kami adalah bagian dari keluarga kamu, Sas. Kami semua menyayangi kamu," tandas Papa terdengar tulus. Laki-laki itu sukses membuatku tersentuh dengan kata-katanya. Setidaknya ia sudah berhasil mengikis bongkahan gunung es di dalam hatiku. Perlahan tapi pasti.
"Ya, dan kita adalah keluarga utuh," sambung Rani dengan nada gembira disambut anggukan mantap dari kepala Prima.
"Cepetan tiup lilinnya biar kita bisa makan kuenya," timpal Prima mengomporiku agar segera melakukan ritual tiup lilin ulang tahun. Dan aku melakukannya dalam hitungan sedetik kemudian.
Asap tipis mengepul setelah kedua ujung lilin berhasil kupadamkan seiring tepuk tangan yang tak begitu ramai menggema ke segenap penjuru kamarku.
"Selamat ulang tahun, Sayang." Pelukan pertama kudapat dari Mama. Wanita itu meraih tubuhku ke dalam pelukan hangatnya. Sungguh, hal semacam ini sudah terlalu lama tidak kami lakukan. Dan akhirnya sekarang aku mendapatkan pelukan yang begitu kurindukan itu. Pelukan Mama.
"Selamat ulang tahun, putri Papa... "
Ya, Tuhan... Kedua mataku sudah kepalang berkabut saat Papa tiri meraih tubuhku ke dalam rengkuhannya beserta ucapan selamat. Dan satu kata yang terucap dari bibirnya, spontan membuatku luluh dan tidak bertenaga, putri Papa.
Jangan menangis, Sasta. Paling tidak berusahalah untuk menyembunyikan air mata itu.
Usai melepaskan tubuh Papa tiri, baiklah ia memang seorang Papa tiri, tapi ia tidak pernah menyebutku sebagai anak tiri, Rani menyambutku dengan pelukan hangat.
"Happy birthday, Kak Sasta. Moga tambah cantik dan cepet dapet jodoh," ucap Rani seraya tergelak. Dengan gemas ia mencium pipi kiri dan kananku sesaat kemudian.
"Gantian dong," sela Prima menengahi. Tanpa diduga laki-laki itu langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya lalu tangan kanannya menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "selamat ultah ya," ucapnya di dekat telingaku. Tanpa ia tahu, tubuhku seketika menegang saat berada dalam pelukannya. Sungguh, aku bisa menyembunyikan segenap air mata yang ingin tertumpah saat mendengar kata-kata Papa, tapi ini benar-benar diluar kuasaku. Aku tak bisa menahan gejolak yang nyaris meledak di dalam dadaku.
"Makan kuenya, yuk," sentak Mama memaksaku segera melepaskan tubuh Prima.
Aku sempat ge-er karena mengira Prima menyukaiku, nyatanya ia akan menikah mungkin tak lama lagi. Dan aku merasa baper sendirian.
Kami beralih ke meja makan dan aku yang bertugas untuk memotong kue karena hari ini akulah bintangnya. Tiga asisten rumah tangga kami juga turut serta di meja makan untuk merayakan ulang tahunku. Beberapa macam hidangan lain juga turut disajikan di atas meja makan.
"Harusnya kita pergi liburan ke mana gitu, Pa," usul Rani saat kami sedang menyantap makan malam sebelum mencicipi black forest ulang tahunku. Kami memutuskan menjadikan kue itu sebagai dessert.
"Kamu bener," sahut Papa cepat. "ada usul kita mau pergi ke mana?" Papa menebar pandangan ke sekeliling.
"Bali? Malaysia? Singapore?" oceh Prima dengan menggerak-gerakkan ujung sendoknya yang masih belepotan butter cream. Ia yang paling ngotot mencicipi black forest padahal semua orang sedang menikmati menu makan malam saat ini.
Aku melotot ke arah Prima dengan segenap ketakjuban di mataku. Malaysia dia bilang? Singapore? Segitu gampangnya ya, mengabsen negeri-negeri jiran sebagai destinasi wisata? Memangnya berapa banyak duit yang harus dikeluarkan Papa untuk liburan ke tempat-tempat itu untuk kami semua? Selama ini aku tidak pernah merasa menjadi anak orang kaya. Kok bisa, ya?
"Kamu cari aja travel yang murah ntar kasih tahu Papa," balas Papa terlihat tidak keberatan dengan usul putranya. Sementara aku kembali menekuri isi piringku yang nyaris tandas. Bahkan aku tidak punya paspor, saudara-saudara!
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top