chapter 27

"Pak Mahmud!"

Aku memekik kegirangan dan menghambur ke arah Pak Mahmud setelah membayar jasa baik abang Gojek langgananku dengan uang pas. Laki-laki paruh baya itu sampai terkaget-kaget karena aku mengguncang lengannya dengan gerakan cukup keras. Aku lupa kalau dia orang tua yang wajib dihormati. Mungkin karena aku terlalu senang melihat sosoknya.

"Ada apaan, Neng?" tanya Pak Mahmud terlihat bingung melihat reaksiku yang memang berlebihan. Laki-laki itu sampai menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengelap kaca depan mobil box yang biasa dikemudikannya.

"Nggak ada apa-apa kok, Pak. Aku cuma seneng aja Pak Mahmud udah masuk kerja lagi," ujarku sambil cengengesan. "oh, ya. Pak Mahmud sakit apa, sih? Gara-gara Pak Mahmud nggak masuk, aku jadi kena imbasnya, deh," cerocosku mengeluarkan segenap unek-unek yang melanda hatiku.

"Sakit meriang, Neng. Tapi, sekarang udah baikan... "

"Duh, duh... Segitunya ya, yang kangen sama Pak Mahmud!" Suara jahil itu berhasil menghentikan percakapan ringan antara aku dan Pak Mahmud.

Aku dan Pak Mahmud serempak menoleh ke arah pintu teras minimarket Go Fresh. Dan kami menemukan sosok Adi sedang berdiri dengan melipat kedua lengan ke depan dada serta mengulum senyum misterius di sana. Tapi, ia tidak sendiri. Robin terlihat berdiri di sampingnya dengan memasang wajah angkuh. Kedua laki-laki itu melempar tatapan tajam dan aku bersumpah tidak menyadari keberadaan mereka di sana. Seingatku, saat turun dari atas motor abang Gojek, tidak ada satu manusiapun yang tampak di teras. Minimarket juga belum buka. Tapi, tahu-tahu mereka berdua sudah berada di sana.

Huh.

Aku melenguh kesal dan melepaskan cekalanku pada lengan Pak Mahmud lalu melangkah ke dekat kedua laki-laki yang terlihat menyebalkan itu.

Ah, ketika melihat Robin otomatis kejadian semalam melintas dengan cepat di dalam kepalaku. Saat ia menangkap tubuhku dengan gerakan sigap lalu dengan cerobohnya diriku yang mencekal kedua pundak Robin karena nyaris jatuh, serta keningku yang menyinggung dagunya dengan kasar. Semua itu melintas kembali di dalam pikiranku dan sontak membuatku bungkam di depan laki-laki itu. Sungguh, aku masih merasa malu padanya. Tapi, tatapan mata Robin dan sikapnya kenapa datar-datar saja padaku seperti tidak pernah terjadi sesuatu dengan kami semalam. Atau mungkin aku yang baper sendirian?

"Udah, masuk sono. Bantuin Raka sama yang lain packing paket yang mau dikirim hari ini. Ada barang yang datang sebentar lagi... "

Nah, kan? Robin malah menyuruhku untuk membantu Raka mengepak orderan pelanggan sementara dia sibuk menanti kiriman barang yang lain.

Deru suara mobil mengalihkan tatapanku sesaat kemudian. Sebuah mobil pick up hitam penuh dengan kotak-kotak berisi sayur mayur dan buah-buahan berhenti di halaman Go Fresh. Pasti itu yang dimaksud Robin barusan.

Aku tak ambil peduli dan langsung bergegas masuk ke dalam minimarket sesuai perintah bos Robin. Toh, pekerjaan menurunkan barang-barang dari atas mobil sama sekali bukan bagianku.

Ah, aku jadi teringat sesuatu saat membuka pintu loker milikku, gaun dan sepatu yang kupakai semalam, harusnya kubawa pagi ini agar bisa kukembalikan pada Radit sore nanti. Tapi, sayangnya ingatanku sedikit bermasalah dan hal sepele semacam itu terlewatkan begitu saja. Padahal aku sudah mempersiapkan benda-benda itu di atas meja.

"Ada hubungan apa kamu sama Bos?"

Sapaan menusuk itu sempat menghentikan gerakan tanganku yang hendak memasukkan tas ke dalam loker. Kepalaku menoleh ke samping dan mendapati sosok Mbak Rin sedang mengulas senyum sinis di bibirnya. Wanita itu berdiri bersandar pada pintu loker dengan kedua lengan terlipat di depan dada, berlagak angkuh.

Aku menyelesaikan pekerjaanku memasukkan tas dan mengambil sehelai celemek berwarna hijau dari dalam loker sebelum menjawab pertanyaan Mbak Rin. Setidaknya aku sudah tahu sedikit tentang wanita itu, jika ia memiliki perasaan khusus pada Robin dan menurut indera kecurigaanku sekarang Mbak Rin menuduhku punya hubungan khusus dengan si bos.

"Maksud Mbak Rin apa?" tanyaku kalem. Berpura-pura bodoh dan polos adalah langkah terbaik saat menghadapi wanita pencemburu seperti dia.

"Kamu deket sama Bos, kan?" tuduh Mbak Rin lagi. Seperti memaksaku agar mengakui tuduhannya.

Aku tersenyum tipis. Aku masih sabar menghadapimu, Mbak Rin.

"Nggak juga," sahutku santai. "cuma dua hari itu doang, kan Bos minta aku nemenin dia kirim paket ke pelanggan. Itu juga urusan pekerjaan," jelasku. Soal semalam, biar itu menjadi rahasiaku dan Robin. Toh, dia sudah melupakan kejadian itu dilihat dari sikap datarnya.

"Oh, ya?" delik Mbak Rin menunjukkan ketidakpercayaannya. "kenapa ya, aku ngerasa kamu deket banget sama Bos? Kamu yang naksir Bos atau dia yang naksir kamu?" Wanita itu menyipitkan kedua matanya saat mencermati ekspresi wajahku. Dan yang kulakukan hanyalah meledakkan sebuah deraian tawa panjang.

"Mana mungkin si Bos naksir sama aku?" ucapku masih dengan sisa-sisa tawa. "aku bukan level dia, Mbak. Kayaknya Mbak Rin yang lebih cocok sama dia, deh. Mbak Rin kan cantik dan modis," pujiku sengaja ingin melambungkan hati wanita itu.

"Oke, deh. Kalau kamu sadar posisi kamu," ucapnya seraya menurunkan kedua tangannya. Tanpa menyambung kalimatnya lagi, Mbak Rin beranjak dari tempatnya berdiri dan melangkah pergi.

Aku menarik napas lega. Sebenarnya aku hanya sedikit menggombali wanita itu agar tidak berpikiran negatif padaku. Karena aku enggan berurusan dengannya dan tidak mau membuat masalah dengan orang lain. Kecuali dia laki-laki iseng, aku bisa mengangkat tinju kapan saja.

"Ngapain Mbak Rin tadi?"

Aku menoleh mendengar teguran Mbak Erli saat hendak memakai celemek khas Go Fresh. Wanita itu menghampiri tempatku berdiri dan kepalanya sesekali mencuri pandang ke arah meja kasir di mana Mbak Rin sudah berdiri di sana.

"Nggak pa pa. Cuma kepo aja," sahutku cuek.

"Kepo apa?" sahut Mbak Erli dengan cepat dan setengah berbisik.

"Dia pingin tahu ada hubungan apa aku sama Bos... "

"Terus?"

"Ya, aku jawab nggak ada apa-apa. Cuma dua hari ini kan dia nyuruh aku nemenin buat nganter paket. Itu juga bukan keinginanku dan hanya sebatas kerjaan," uraiku singkat.

"Oh." Mbak Erli menggumam pelan. "aku dulu juga pernah digituin sama Mbak Rin. Mbak Juni juga."

Aku mengedikkan bahu dan menepuk lengan Mbak Erli. "Aku ke belakang dulu, Mbak. Ada tugas ngepak barang," pamitku sejurus kemudian. Menyudahi percakapan di antara kami.

"Oke, deh." Mbak Erli tersenyum dan itu sudah cukup untuk menyemangatiku.


###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top