chapter 26

"Nggak suka aku yang nganterin kamu pulang?" tegur Robin memecah kebisuan di dalam mobil. Laki-laki itu memalingkan wajahnya ke arahku sesaat sebelum akhirnya kembali fokus ke depan kemudi. Entah ia sengaja menyindir atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.

"Bukan," sahutku dengan nada datar.

"Terus kenapa dari tadi kamu diem aja? Masih marah sama Radit?" cecar Robin seolah sedang ingin bermain tebak-tebakan denganku.

"Aku kekenyangan," jawabku seraya membuang pandangan ke arah jendela di samping kiriku.

Aku tidak berbohong karena aku memang sedang kekenyangan. Setelah melahap seporsi sate ayam plus nasi, aku masih menyantap semangkuk bakso, belum lagi puding, dan beberapa buah kue sebagai dessert. Dan soal marah pada Radit, itu juga benar. Pasalnya sepupuku itu melepaskan tanggung jawabnya untuk mengantarku pulang dan memilih untuk mengantar gadis yang baru ditemuinya di pesta tadi. Aku tidak tahu siapa dia dan tidak tertarik untuk tahu, mungkin ia teman lama Radit. Tapi, yang jelas Radit sedang melakukan pendekatan pada gadis itu! Dan ujung-ujungnya Radit meminta Robin untuk mengantarku pulang seolah-olah lupa dengan siapa ia datang ke pesta pernikahan itu. Untung saja Robin sendiri dan tidak membawa pasangan ke pesta itu, kalau tidak mungkin aku harus naik taksi pulang ke rumah.

"Makan terlalu banyak nggak bagus buat perut kamu," ujarnya bernada menasihati. "ukuran lambung kamu pasti nggak akan muat dengan makanan sebanyak itu."

Aku melirik laki-laki itu dengan penuh curiga. Tadi saat di pesta ia juga tiba-tiba muncul dan menengahi perdebatan antara aku dan Manajer sialan itu, seolah pahlawan terselubung yang mencegah terjadinya sebuah pertikaian yang tidak diinginkan. Oke, mungkin bahasaku terlalu lebay.

"Kamu seorang ahli gizi?" tanyaku sengaja bermaksud untuk menyindir. Hanya ini caraku untuk mengungkapkan ketidaksukaanku pada nasihatnya. Karena dia hanya seorang bos, bukan saudara atau pacar. Jadi, perhatian semacam itu bisa membuatku baper sewaktu-waktu.

Robin terbahak sesaat. Tawanya terdengar renyah menyapa telingaku. Dan aku baru tersadar jika penampilannya lumayan keren malam ini, meski hanya berbalut sehelai jas berwarna hitam berpadu dengan kemeja putih bersih. Celana hitamnya senada dengan warna jas yang membungkus tubuh Robin. Pastinya tidak ada selembar celemek hijau yang membuatnya tampak bodoh.

"Apa tampangku kayak ahli gizi?" toleh Robin setelah menuntaskan gelak tawanya.

"Nggak, sih. Kayak abang tukang sayur malah," olokku tak sadar. Entah kenapa bibir ini suka keceplosan seolah Radit yang sedang duduk di sebelahku. Aku bergegas menoleh ke arah Robin dan bersiap meminta maaf seandainya ia tersinggung dengan ucapanku. Tapi, laki-laki itu tampak mengembangkan seulas senyum tipis di bibirnya.

"Aku emang tukang sayur, kok. Kamu juga tukang sayur, kan?" balasnya tanpa menoleh.

Aku melempar cengiran bodoh ke arah lain dan enggan untuk mengakui jika aku seorang tukang sayur seperti dirinya. Ya, iyalah dia bosnya tukang sayur yang omzetnya puluhan juta per bulannya. Dengan uang segitu ia bisa membeli apa saja yang ia inginkan termasuk mobil seperti yang kami tumpangi saat ini. Mungkin saja ia sudah kaya raya sejak lahir, sementara aku berbeda darinya.

"Udah mau nyampek tuh," beritahuku menyudahi perdebatan kecil itu. Rumah Mama tinggal beberapa meter lagi. "itu yang pagernya putih," tunjukku pada sebuah rumah besar berlantai dua dan dikelilingi pagar pembatas yang dibalut cat putih.

"Kamu tinggal di sini?" tanya Robin setelah berhasil menepikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang. Mungkin setengah tidak percaya. Masa anak orang kaya mau bekerja di sebuah minimarket sayuran organik?

Aku mengangguk. "Rumah Papa tiriku," ungkapku tanpa sungkan. Sekadar menjawab rasa penasaran yang mungkin sekarang berputar di dalam kepalanya.

"Oh." Robin tercenung sesaat. "biar aku bukain pintunya. Kamu kan sedang pakai gaun," cegah laki-laki itu saat tanganku hendak membuka pintu mobil.

Aku terdiam pasrah dan tidak berkedip saat Robin melompat turun dari joknya dengan gerakan gesit. Padahal aku sama sekali tidak memintanya untuk membukakan pintu mobil untukku, loh. Kalau Radit, mungkin aku akan menyuruhnya untuk melakukan hal itu. Tapi ini Robin, Ya Tuhan...

Pintu mobil sudah terbuka lebar dan aku bersiap untuk turun dari atas jok. Tapi, sebuah kecelakaan kecil harus terjadi saat aku berusaha untuk melangkah turun. Sungguh, aku tidak pernah tahu jika ujung sepatuku menginjak juntaian gaun malam yang disewa Radit di salon tak jauh dari barbershop dan membuatku harus terjungkal dari atas tempat dudukku.

Ups.

Tangan Robin bergerak secepat kilat untuk menahan tubuhku sebelum aku benar-benar jatuh mendarat di atas tanah. Naasnya, keningku sempat menyentuh dagu Robin dengan kasar dan itu membuat tanganku harus berpegangan pada kedua pundaknya secara refleks. Semua itu terjadi begitu cepat dan hanya dalam hitungan detik saja.

"Kamu nggak pa pa?"

Suara Robin menghentikan segenap imajinasi yang berkelebat di dalam pikiranku. Seperti dalam drama-drama Korea itu, loh.

"Ya," gagapku. Aku buru-buru melepaskan kedua pundak Robin saat tersadar jika tanganku masih berada di sana. Bahkan aku sudah melupakan keningku yang terasa berdenyut akibat bersinggungan dengan dagu Robin.

Robin membantuku turun dari atas mobil dan menegakkan tubuhku.

"Sorry," ucapku dengan tertunduk kaku. Sumpah, aku malu sekali dengan peristiwa tadi. Bahkan aku sampai salah tingkah karenanya. "kamu nggak pa pa, kan?" Aku menunjuk dagu Robin dengan kode.

Laki-laki itu menggeleng pelan. "Dasar ceroboh," desisnya seraya mengusap puncak kepalaku dengan lembut. "udah masuk sana, udah malam," suruhnya kemudian.

"Ya," anggukku dengan perasaan tak karuan. Kenapa ya, adegan semacam ini seperti percakapan antara sepasang kekasih? Padahal aku dan Robin hanya sebatas bos dan karyawan, paling banter juga teman meski ia tidak mau mengakuinya.

Aku buru-buru masuk dan tidak melihat kepergian mobil yang membawa tubuh Robin pergi. Untuk apa? Nanti pikiranku bisa berimajinasi ke mana-mana dan berujung pada insomnia. Aku tidak mau berakhir mengenaskan seperti itu.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top