chapter 24
"Senyum dikit napa sih, Sas? Pelit amat jadi orang," omel Radit yang sibuk dengan ponsel di tangannya, sedang aku masih menatap kesal ke depan. Beberapa orang pengunjung salon menatap kami dengan geli. "mana lolos audisi foto model kalau senyum aja males-malesan kayak gitu," lanjutnya mengomel.
Aku melenguh cukup keras untuk mengekspresikan betapa mendongkolnya hatiku saat ini.
"Udah Mbak, senyum aja. Udah cantik gitu," ujar seorang ibu-ibu bertubuh gendut sembari menepuk pundakku. Ia sudah selesai dengan perawatan rambutnya dan bersiap angkat kaki dari salon itu. Tapi, masih menyempatkan diri untuk mengurusi urusanku.
"Ya, Mbak." Wanita pemilik salon ikut menyahut padahal tangannya sedang sibuk memangkas rambut salah seorang pelanggannya. Ia melempar senyum tipis padaku.
"Oke," sahutku akhirnya. Aku menarik napas panjang dan mencoba melengkungkan seulas senyum kecil di bibirku.
"Senyumnya jangan kaku dong," seru si bawel itu lagi.
"Tinggal foto aja banyak omong loe," balasku. Aku mulai lelah dengan pose tubuhku di depan kaca besar salon. Bergaya seperti foto model majalah tidak laku. "udah foto aja, cepetan. Kalau nggak, gue nggak mau nih," ancamku.
Radit mengutak-atik ponselnya dalam diam. Aku tidak benar-benar tahu apa yang dilakukannya, apakah sudah mengambil gambarku atau belum.
"Yuk, berangkat," ajaknya sesaat kemudian.
Aku merengut. "Emang udah kelar ngambil foto gue?" tanyaku seraya mengikuti langkah Radit. Aku harus melangkah dengan sedikit hati-hati pasalnya ukuran heels stiletto yang kupakai lumayan tinggi. Apalagi berpadu dengan long dress yang ujungnya menjuntai nyaris menyentuh lantai. Pilihan fashion yang kupakai sekarang adalah murni hasil ide Radit, tapi cuma wardrobe salon itu, sih. Mana mau Radit repot-repot membelikanku gaun mahal hanya untuk dipakai tiga jam saja. Dia itu pelit maksimal!
Tak ada jawaban tegas dari bibir Radit kecuali sebuah anggukan samar dari kepalanya. Ia lebih suka menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan melangkah ke area parkir tanpa suara. Meninggalkanku beberapa jengkal di belakangnya yang sedikit kesulitan melangkah, tapi ia mana pernah peduli?
"Loe suka kerja di sana?"
Mobil milik Radit baru sepuluh menit meninggalkan halaman salon tempat di mana aku di make over bak seorang itik buruk rupa menjadi seorang putri cantik jelita bergaun panjang, hanya saja tak ada mahkota menghias puncak kepalaku. Rambutku disanggul sederhana dan jujur ini adalah kali pertama aku didandani seperti princess. Dulu saat wisuda kelulusan SMU, aku memang didandani, tapi tidak seperti ini. Saat itu aku memakai kebaya dan kain, jadi sedikit berbeda dari sekarang.
"Nggak."
"Kenapa?" cecar Radit seolah ingin mengejar pengakuanku. "loe nggak suka kerjaannya atau nggak suka Robin?"
"Nggak suka dua-duanya," sahutku ketus. "ngapain sih nanya-nanya?"
"Orang nanya apa salahnya, sih? Gitu aja sewot," gerutu kakak sepupuku itu dengan memonyongkan bibir. Sumpah, dia bertambah dobel jelek saat melakukannya.
"Udah tahu sewot, masih aja nanya." Aku menyahut dengan menggerutu pula.
"Loe itu udah cantik banget malam ini, jangan pasang wajah galak kayak gitu, dong. Ntar ilang cantiknya. Rugi gue udah bayar mahal-mahal buat dandanin loe," celutuk Radit.
Aku menyeringai dan melempar pelototan kepada Radit. "Loe barusan ngomong apa? Loe bilang gue cantik? Gue nggak jelas," ucapku sembari menyodorkan telinga kananku ke dekat tubuh Radit.
"Dasar norak."
"Emang gue nggak denger, kok," ucapku berakting kecewa.
"Loe tuh, sebenernya cantik, Sas... "
"Masa?" Pasti sekarang ini pipiku dua kali lipat merahnya. Sanjungan Radit berhasil membuatku tersipu malu. Dia terlalu jujur, he he...
"Iya, tapi dikit," sahut Radit dan setelahnya meledaklah sebuah tawa keras yang membahana di dalam mobil. Nyaris saja memecahkan gendang telingaku.
"Puas loe?" delikku seraya melayangkan sebuah pukulan ke atas pundaknya. Baru sedetik yang lalu ia melambungkan kepercayaan diriku lalu menjatuhkanku dalam sekejap. Radit kejam!
"Puas banget!"
"Terserah." Aku menggumam tak begitu jelas lalu membungkam mulut sampai mobil yang kami tumpangi membelok ke sebuah hotel. Di sanalah pesta resepsi perkawinan mantan pacar Radit saat SMU diselenggarakan.
Radit menggandeng tanganku saat memasuki lobi hotel dan menuju ke ballroom di mana acara sedang berlangsung. Aku tahu ia bersikap selayaknya seorang laki-laki seperti ini karena ia hanya ingin terlihat punya pasangan di depan semua orang. Ia memang tidak pernah mengatakan hal ini sebelumnya, tapi sikap Radit mudah sekali terbaca. Siapa sih, yang tidak merasa malu hadir ke pesta pernikahan sendirian? Apalagi Radit yang konon memiliki gengsi setinggi pohon kelapa.
Akting Radit semakin menjadi ketika kami memasuki ballroom hotel. Laki-laki itu tak pernah sekalipun melepaskan gandengan tangannya padaku, meski cuma sedetikpun. Seolah-olah ia takut aku hilang atau tersesat di tempat yang dipenuhi dengan para undangan.
"Kita nggak makan dulu?" Aku berbisik di dekat telinga Radit di antara suara riuh para undangan dan alunan musik pengiring yang sedang memainkan sebuah lagu romantis di sudut ruangan. Seorang biduan wanita sedang bernyanyi penuh penghayatan di ujung sana, suaranya lumayan hanya saja aku tak begitu familiar dengan lagu yang dibawakannya.
"Hush. Kita baru aja dateng, masa langsung makan?" Radit ikut berbisik.
"Terus? Loe mau ngapain coba? Bikin keributan di tengah-tengah pesta?" Lagi-lagi aku membalasnya dengan berbisik.
"Ngaco loe. Gue mau nyari temen-temen lama gue. Mau reunian gitu ceritanya," sambung Radit sambil celingukan. Laki-laki itu sedang berupaya keras mencari seseorang atau beberapa orang yang ia kenal di antara kerumunan para undangan.
"Loe nyari temen-temen loe aja sono, biar gue nyari makan duluan. Gue udah laper banget nih... " Mataku jelalatan ke arah meja prasmanan yang sudah dikerumuni para tamu yang sepertinya sama laparnya denganku. Ada beberapa menu yang berbeda ditawarkan di sana dan lidahku sudah tidak sabar ingin segera mencicipi makanan dan minuman itu.
"Oh, hai. Loe di sini juga?"
Aku mengalihkan tatapan mata ke arah Radit saat sepupuku itu menyapa seseorang yang dikenalnya. Mungkin saja ia sudah menemukan seorang teman yang sudah beberapa tahun tidak dijumpainya.
Aku tercekat begitu menemukan seseorang yang sangat tidak kuharapkan bisa melihatnya saat ini sedang bersalaman akrab dengan Radit.
"Oh, kamu di sini juga?" sapa laki-laki itu begitu melihat penampakanku di sisi tubuh Radit. Ia menatapku dari puncak kepala sampai ujung stiletto yang membungkus kedua kakiku.
Robin.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top