chapter 23

"Radit!"

Seisi barbershop langsung mengalihkan pandangan kepadaku karena teriakanku yang nyaris merobohkan dinding-dinding tempat itu. Tiga pegawai barbershop dan dua orang pengunjung serta Radit, semuanya kaget melihat kemunculanku yang tiba-tiba. Tanpa salam atau permisi, seolah baru saja jatuh dari langit.

"Loe apa-apaan, sih?" Radit buru-buru mendekat usai menyimpan ponselnya kembali ke saku celana. Sepupuku itu sedang sibuk menekuri gadget-nya ketika aku masuk barbershop. Tangan laki-laki itu spontan menjewer telingaku tanpa ampun. "loe mau bikin keributan di barbershop gue, heh?" Radit menyeret lenganku dengan paksa dan mendudukkanku di atas sofa tunggu karena tempat itu kosong. Dua pelanggan Radit masih ditangani oleh kedua pegawainya.

"Percuma bikin keributan di sini," gumamku kesal. Aku menjatuhkan tubuh di atas sofa seraya mengusap cuping telinga kananku yang lumayan sakit.

"Terus mau ngapain loe ke sini?" Radit menduduki tempat di sebelahku dengan santainya. Bahkan ia tidak berusaha menyuguhkan segelas minumanpun. Padahal aku sangat tahu ada sekardus teh botol di sudut ruangan. "loe udah pulang kerja?" tanya laki-laki itu sambil melihat jam yang tergantung di dinding. Jam lima sore.

"Udah," sahutku malas. "gue capek banget hari ini. Gara-gara temen loe, tuh."

"Robin? Kenapa dia?" Radit melebarkan kedua matanya ingin tahu. "loe disuruh petik-petik lagi?" tebaknya.

Aku menggeleng.

"Loe disuruh bersih-bersih? Ngepel? Nyapu?" tebak Radit lagi. Wajahnya terlihat serius.

Tapi, aku menggeleng. "Bukan."

"Terus?"

"Gue disuruh jadi tukang angkut barang, tahu nggak?" Aku membulatkan bola mata untuk menambah dramatis kalimatku.

"Tukang angkut gimana?"

Aku menghela napas kesal. Sebenarnya aku tidak suka mengingat kejadian menyebalkan itu, tapi Radit tidak akan paham jika aku tidak menjabarkan secara terperinci kejadian dua hari ini.

"Dua hari ini gue disuruh nemenin Robin nganter paket sayuran ke rumah pelanggan karena salah seorang kurir kami sedang sakit. Nah, Robin nyuruh gue buat ngambil paket sayur dari mobil, tahu nggak? Sementara dia cuma mencet bel pintu doang dan gue yang bertugas ngangkut paket ke depan rumah pelanggan. Itu kan menyalahi kodrat gue sebagai cewek," paparku penuh semangat. Aku hanya ingin mendapat dukungan, perhatian, dan pembelaan dari Radit. Secara dia adalah kakak sepupuku.

Tapi, bukannya rasa simpati atau dukungan yang kudapat, malah ledakan tawa yang keluar dari mulut Radit setelah aku berhasil menyelesaikan kalimat.

"Jadi, maksud loe, loe jadi jongosnya si Robin?" seru laki-laki itu mengundang tatap mata dari segenap penjuru barbershop.

Aku tak menyahut lewat verbal, hanya sebuah pukulan keras yang mendarat tepat di atas pundak Radit.

"Puas loe?" sengitku.

"Lumayan," sahut Radit dengan tampang menyebalkan.

"Jangan-jangan loe yang nyuruh Robin buat ngerjain gue, ngaku aja deh loe," serangku sejurus kemudian. Tiba-tiba saja pikiran negatif itu melintas secepat kilat di dalam kepalaku setelah melihat reaksi Radit. Aku sudah memasang wajah galak dan sepasang mata yang sudah melotot tajam ke arahnya. Bersiap menghakimi Radit seandainya dugaanku benar adanya.

"Apaan sih, Sas? Kok loe malah nuduh gue?"

"Gue bukan nuduh, tapi segala kemungkinan bisa aja terjadi, kan? Zaman sekarang mana ada orang yang bisa dipercaya sekalipun saudara sendiri..."

"Ya, ampun." Radit berlagak menepuk jidat. "masa sih gue tega ngerjain adik sepupu sendiri? Mana badannya kurus banget lagi, ntar kalau tiba-tiba pingsan gimana?" sindirnya telak.

"Banyak alasan loe," olokku kesal. "bilang aja kalau loe yang nyuruh Robin buat nyusah-nyusahin gue," sungutku kemudian. Tanganku beralih menarik-narik t-shirt polo hitam yang membungkus tubuh sepupuku itu.

"Nggak, Sas. Beneran," sahutnya mengelak. "gue seneng kalau loe betah kerja di sono dan nggak gangguin hidup gue lagi, tahu nggak? Mana mungkin gue nyusahin loe, ntar yang ada loe malah ngejar-ngejar gue buat nyariin kerja. Lagian nggak ada untungnya kan, gue nyuruh Robin buat nyiksa loe. Gue juga sibuk ngurusin barbershop... "

Fuuuh.

"Sibuk apaan? Dari tadi juga gue lihat loe duduk-duduk doang, main hape," sahutku nyerocos.

"Terserah. Tapi, beneran gue nggak nyuruh Robin kok," ucap Radit sekali lagi menyangkal segala tuduhanku. "itu pasti murni inisiatif dia."

Aku menghembuskan napas kuat-kuat dan melepaskan cekalan tanganku pada t-shirt Radit. Mungkin ia benar, kalau ia tidak melakukan apapun seperti yang kutuduhkan padanya.

"Namanya juga bos, mau ngelakuin apa aja terserah dia, Sas. Loe terima nasib loe aja," ujar Radit beberapa saat kemudian. Sebelah tangannya mengusap puncak kepalaku dengan gerakan kasar.

"Ya nggak bisa gitu juga kali, Dit... "

"Oh, ya," potong Radit mengejutkan. Laki-laki itu menegakkan punggung lalu menatapku. "gue hampir lupa kalau harus menghadiri undangan malem ini," ucapnya sambil melihat ke arah jam dinding. Nyaris jam enam.

"Undangan apaan?" tanyaku tidak ingin terlalu tahu sebenarnya. Hanya sebagai basa basi belaka.

"Undangan pernikahan mantan pacar gue waktu SMU."

"Mantan yang mana?" tanyaku dengan kening berkerut. Aku tidak terlalu tahu siapa-siapa saja dan berapa orang jumlah mantan pacar Radit yang berhasil ia koleksi selama hidupnya. Saat SMU kami tidak satu sekolah dan jarang berkomunikasi satu sama lain.

"Ada, deh," sahutnya sengaja ingin main rahasia-rahasiaan. Ia menyunggingkan senyum licik. "loe nggak kenal dia."

Aku tak bereaksi. Malas banget menanggapi cerita tentang seseorang yang sama sekali tidak kukenal.

"Loe ikut gue, ya?" tawar Radit setelah beberapa menit.

"Ikut ke mana?"

"Nemenin pergi ke pesta."

"Pesta mantan loe?"

Radit mengangguk penuh keyakinan. "Iya. Loe mau, kan?"

Aku nyengir sekaligus menggeleng. "Males banget," selorohku pamer bibir monyong.

"Emangnya loe nggak laper? Di sono banyak makanan, loh. Loe nggak pingin nyobain macem-macem menu makanan, gitu? Gratis lagi," rayu Radit mengiming-imingiku dengan imajinasi makanan-makanan lezat yang biasa disajikan di pesta pernikahan.

"Loe mau ngerayu gue?" Aku menyipitkan mata kepadanya, memancarkan segenap kecurigaan yang sedang kurasakan pada kakak sepupuku itu.

"Ya," sahutnya terang-terangan.

"Ogah. Lagian gue males kalau disuruh pulang ke rumah terus keluar lagi. Mending tidur... "

"Gue akan mempersiapkan semuanya buat loe," tukas Radit. Laki-laki itu sudah kepalang bangkit dari tempat duduknya dan mencekal lenganku. "yuk, kita lakukan make over sama loe sekarang," ujarnya yang sudah berhasil menyeretku dengan paksa keluar dari barbershop.

"Kita mau ke mana?" tanyaku bingung dan sesekali menebar pandangan ke sekeliling. Berharap ada seseorang yang mau menyelamatkanku dari si bawel Radit atau minimal menggetok kepalanya untukku karena sikapnya yang keterlaluan. Main paksa orang seenaknya saja.

"Ntar loe juga akan tahu." Radit mendorong punggungku agar segera masuk ke dalam mobilnya. "pokoknya loe diem aja dan duduk manis di situ, oke?"

Aku mendengus sebal. Tapi, sialnya aku menuruti kehendak Radit tanpa bisa mengajukan protes lagi. Laki-laki itu sudah terlanjur duduk di balik kemudi dan mulai menyalakan mesin.

"Gue minta bayaran," celutukku sebal.

"Iya, ntar gue kasih sepuluh ribu, oke?" kekehnya dengan gaya menyebalkan.

"Dasar!" Satu pukulan terpaksa harus mendarat di atas pundaknya kali ini.

"Mending loe masuk kelas tinju wanita daripada mukulin gue terus-terusan, ngerti?" Sebuah jitakan kecil mampir ke puncak kepalaku setelahnya. Dan kami impas. Ia sudah membalaskan dendamnya padaku.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top