chapter 22
"What?"
Virus Radit benar-benar sudah mengkontaminasi gaya bicaraku sekarang. Eh, tapi wajar dong kalau aku berteriak heboh saking kagetnya saat Robin mendekat dan mengatakan keinginannya, bahwa ia akan mengantar paket sayuran kembali hari ini. Dan berita buruknya ia mengajakku dalam menyelesaikan misinya.
"Kamu nemenin aku ngirim paket lagi hari ini," ulang Robin berusaha mengeja kalimatnya.
"Tapi aku kan nggak telat hari ini..." ucapku kaku. Setahuku menemani Robin mengantar paket adalah hukuman keterlambatan masuk kerja, tapi pagi ini aku datang tepat waktu.
"Tapi Pak Mahmud belum masuk hari ini... "
"Tapi kamu kan bisa menyuruh orang lain buat nemenin kamu nganter paket... "
"Jadi ceritanya kamu mau nolak tugas dari bos?" Laki-laki itu melebarkan matanya dan mulai memasang gaya sok, berkacak pinggang dengan angkuhnya. "oke, gajimu aku potong 20%... "
"What?!" Kali ini teriakanku lebih keras dari sebelumnya dan masih dengan virus yang sama, virus lebay ala-ala Radit. "nggak bisa gitu dong. Masa gitu aja potong gaji 20%?" protesku dengan nada-nada tinggi sebal. Enak aja main potong gaji orang.
"Terserah aku dong. Di sini kan aku bosnya," ujar Robin seraya memutar bola mata ke atas, memperlihatkan betapa menyebalkan dirinya yang sesungguhnya. Bos belagu. Tampuk kekuasaan tertinggi di Go Fresh memang sepenuhnya milik Robin dan sayangnya aku sangat benci untuk mengakuinya.
"Bos... " Aku tak bisa merengek sesukaku seperti yang biasa kulakukan pada Radit. Aku hanya bisa menggumam dengan memasang wajah melas, tapi itu tidak pernah cukup untuk merubah keputusannya.
"Sebaiknya kamu siap-siap karena lima belas menit lagi kita meluncur," ucapnya seraya melirik sebuah jam hitam yang melingkar erat di pergelangan tangan kanannya. Laki-laki itu melenggang penuh kemenangan menuju ke pintu belakang dan membiarkanku bengong di depan rak yang menyajikan buah-buah tomat segar. Andai saja aku bisa melemparnya dengan buah-buahan itu...
"Udah siap-siap sono, biar aku lanjutin pekerjaan kamu... "
Mbak Erli datang mendekat dan merampas gagang sapu dari tanganku dengan paksa. Rupanya ia memata-mataiku sejak tadi.
Aku pasrah dan merelakan gagang sapu berpindah tangan.
"Selamat bersenang-senang," bisik Mbak Erli seraya terkikik pelan tepat di saat aku hendak mengayunkan ujung sepatuku.
Aku mendengus terang-terangan ke arahnya dengan memasang wajah galak. Mbak Erli tampak senang ditilik dari ekspresi wajahnya, entah karena benar-benar senang atau sekadar balas dendam pada Mbak Rin karena mereka pernah punya masalah di masa lalu. Tapi, yang jelas ini bukan sesuatu yang menyenangkan bagiku.
Dua puluh menit kemudian, aku sudah duduk di jok sebelah kemudi dengan sedikit menahan rasa kesal di dalam dada.
"Kenapa? Nggak ikhlas bantuin aku ngirim paket?"
Pertanyaan Robin seketika menohok perasaan dan memaksaku untuk bergegas menoleh ke samping. Ekspresi datar langsung kudapati dari wajahnya yang sedang menghadap ke depan. Dia sedang menyindirku Ya, Tuhan.
"Emangnya aku bilang apa? Aku nggak bilang apa-apa, kan? Nyatanya sekarang aku udah ada di sini," sahutku membela diri.
"Wajah kamu yang bilang," sahut Robin tak mau kalah. Seolah-olah ia seorang yang pandai membaca ekspresi orang lain. Paling-paling ia cuma asal tebak saja.
Aku sengaja menyunggingkan senyum pahit untuk menertawakan dugaannya. Sebenarnya ia benar soal tidak ikhlas itu, tapi pantang bagiku mengakuinya.
"Ada berapa paket yang harus dikirim?" Aku mencoba mencari topik lain yang lebih masuk akal untuk dibahas.
"Dua belas."
Aku menatap kembali ke arah Robin dengan melotot. Tapi, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku padahal hatiku ingin sekali menyampaikan sederet protes atau unek-unek keberatan perihal dua belas paket yang harus kami kirim. Kenapa paketnya bertambah hari ini?
"Nggak protes?"
Aku tergagap ketika kepala Robin mendadak menoleh dan tatapan mata kami bertemu.
"Protes gimana? Kamu kan bosnya," dengusku seraya mengalihkan tatapan darinya. Aku merebahkan kepala ke sandaran jok dan menghela napas berat. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Toh, aku sudah kepalang tanggung dan sedang on the way melaksanakan misi.
Tawa Robin tiba-tiba meledak di sekeliling ruangan sempit yang berada di bagian depan mobil box yang sedang kami tumpangi. Ia pasti senang dengan sikap pasrah yang baru saja kutampilkan di depannya.
"Kamu itu lucu banget, tahu nggak?" ujar Robin di sela tawanya yang masih berderai pelan.
Mulutku ternganga mendengar ucapan Robin. Itu pujian atau sindiran?
"Lucu di mana?" tanyaku bingung. Aku sudah mencoba untuk mencerna ucapannya, namun gagal. "aku nggak mirip Barbie atau boneka. Lalu apanya yang lucu?"
"Kamu itu selalu menjawab terus setiap aku ngomong," ucapnya dengan sisa senyum yang nyaris memudar dari bibirnya. "dan cuma kamu yang berani menjawab kayak gitu, tahu nggak? Mungkin karena aku temen Radit, jadi kamu menganggap aku temen kamu juga. Tapi kamu harus inget aku ini bos kamu, orang yang bayar gaji kamu dan bukan temen kamu. Paham?"
Aku mendengus seraya menoleh ke arah jendela sekaligus menyembunyikan rasa kesal dari tatapan Robin. Bos belagu.
"Paham nggak?" sentak Robin sejurus kemudian. Ia pasti sudah menunggu jawabanku sejak tadi dan tidak kunjung didapatkannya.
"Iya, paham."
"Bagus."
"Eh, tapi kenapa aku yang harus nemenin kamu nganter paket? Kenapa nggak ngajak Mbak Rin atau yang lain?" cerocosku setelah berhasil ingat sesuatu. Tak peduli status Robin dan aku bukanlah teman, yang artinya harus ada batas-batas jelas di antara kami terutama soal kesopanan dan etika dalam bercakap-cakap.
"Kenapa? Aku mau ngajak siapa juga, terserah aku, kan?" Kedua alis laki-laki itu berkerut saat menoleh sekilas ke arahku.
"Ya, tahu. Karena kamu bosnya," sahutku cepat.
"Nah itu tahu... "
"Tapi Mbak Rin suka sama kamu, loh," ungkapku dengan sengaja untuk memancing reaksi Robin. Aku ingin melihatnya kaget dan terkena serangan jantung ringan.
"Lalu?"
"Kok lalu, sih?" tanyaku heran. Kenapa reaksi Robin biasa-biasa saja? Tak ada indikasi kaget sama sekali. "kamu udah tahu kalau Mbak Rin suka sama kamu?"
"Ya," jawab Robin pendek. Datar.
Malah aku yang kaget mendengar jawaban Robin. "Jadi kamu udah tahu? Terus kenapa kamu nggak ngajak dia, malah ngajak aku? Dia bakalan cemburu sama aku, tahu nggak?"
"Biar."
"Kok biar?"
"Terus aku harus ngajak dia kirim paket, keliling tiap hari, gitu maksud kamu?"
"Ya, gitu."
Robin tersenyum pahit. "Turun dan ambil paket atas nama Bu Yayuk."
Aku mengerjap ketika tersadar mobil box yang kami tumpangi sudah berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua dan berpagar putih.
Laki-laki itu masih ingin aku jadi pesuruhnya? Sialan.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top