chapter 21

Aku menyuap dengan sesekali melirik ke arah kursi yang biasa ditempati Prima dan kini sedang kosong tanpa pemiliknya. Tidak biasanya laki-laki itu absen dari acara rutin makan malam keluarga seperti saat ini. Ia selalu pulang sore atau berusaha untuk kembali ke rumah sebelum jam makan malam tiba saat ada urusan penting. Tapi, kali ini sepertinya Prima akan melewatkan makan malam.

Mama dan yang lain terlihat tenang dan belum membahas soal kakak tiriku itu. Belum ada yang membuka percakapan walau itu cuma basa-basi tentang pekerjaan seperti saat aku pertama kali bekerja di minimarket. Prima bertanya bagaimana hari pertamaku bekerja saat itu. Dan setelahnya tidak ada satupun yang tertarik dengan pekerjaanku. Meski hatiku bertanya-tanya, tapi pantang bagiku untuk mencari tahu tentang Prima. Bukan gayaku bertanya tentang laki-laki itu pada mereka. Malah akan terlihat sangat aneh kalau aku tiba-tiba sok peduli pada Prima.

"Mau nambah ayamnya, Sayang?"

Aku hanya menggeleng pelan menanggapi pertanyaan Mama yang sudah berhasil mengusik pikiranku tentang Prima. 

"Kapan Kak Prima akan menikah, Pa?" Suara Rani terdengar sesaat setelah aku kembali menyuap. Tak ada yang berinisiatif membuka percakapan sampai adik tiriku itu membuka mulut. Tapi, apa yang baru saja ia tanyakan tadi? Prima? Menikah? Dengan siapa? Aku tidak pernah tahu kalau ia punya pacar.

Aku mematung menunggu salah seorang dari mereka menjawab pertanyaan Rani. Membiarkan sendok dalam genggamanku terdiam di atas piring dan belum menyuap kembali.

"Papa nggak tahu. Biar mereka saja yang memutuskan," sahut laki-laki yang biasa Rani panggil sebagai Papa. "toh, mereka sudah sama-sama dewasa. Mungkin juga sekarang mereka sedang membicarakan hal itu."

"Kalau menurut Rani sih, lebih cepat lebih baik, Pa. Nunggu apalagi? Mereka udah lama pacaran, Kak Prima juga udah punya pekerjaan yang mapan. Ntar kalau kelamaan pacaran malah banyak berantemnya, cemburu-cemburuan... " Rani mengoceh dan aku jatuh dalam lamunanku sendiri.

"Jangan-jangan kamu ngomong seperti itu karena kamu pingin segera menyusul kakakmu?" delik laki-laki itu menunjukkan kecurigaannya. Tapi malah kekehan yang didapatnya dari bibir Rani. Bukan jawaban.

Kenapa sebelah hatiku merasa tidak rela jika Prima menikah secepat itu? Iya, aku tahu jika ia adalah kakak tiriku, dan aku juga tidak akan pernah bisa memilikinya. Perasaan ini juga sudah susah payah kucegah, tapi sampai saat ini belum berhasil kuenyahkan dari dalam dadaku.

"Rani benar, Pa." Kali ini Mama menyahut. "Mama juga pingin segera gendong cucu," kekeh Mama sejurus kemudian diamini suaminya. Sepertinya Mama sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyatukan dirinya dalam keluarga ini. Dan upayanya berhasil. Sedang aku lebih suka diam dan menikmati apa saja yang masuk ke dalam mulut dan telingaku. Bersikap pasif adalah pilihanku.

Aku nyaris tersedak mendengar penghujung kalimat Mama. Harusnya akulah yang berhak memberi Mama cucu karena Prima bukan darah dagingnya. Tapi apa boleh buat. Aku saja baru dicampakkan oleh laki-laki yang pernah kuanggap sebagai jodohku. Bagaimana aku bisa mewujudkan keinginan wanita itu sesegera mungkin?

"Papa juga sama, Ma." Laki-laki itu mengulas senyum tipis dan menatap ke arah Mama. Namun, entah kenapa justru perasaanku terluka mendengar percakapan ini. Prima akan menikah, begitu juga dengan Reza. Terus aku kapan???

"Habiskan makanannya, Sas." Mama menyadari jika aku sudah berhenti menyuap setelah beberapa menit lamanya. Isi di dalam piringku bahkan masih menyisakan setengah dan bukan kebiasaanku tidak menghabiskan makan malam seperti ini, terlebih lagi ada ayam goreng favoritku sebagai lauk nasi.

"Aku udah kenyang, Ma," sahutku beralasan. Padahal aku bicara pada Mamaku sendiri, tapi aku merasa canggung luar biasa. "aku balik ke kamar dulu," pamitku seraya mengangkat pantat dari atas kursi. Aku tidak akan sanggup mendengar kalimat-kalimat selanjutnya yang mungkin akan keluar dari bibir mereka.

"Ya, udah. Tapi, jangan langsung tidur dulu. Kamu kan baru makan," ujar Mama merelakan kepergianku dari meja makan.

Aku mengangguk dan buru-buru mengayunkan langkah ke kamar sebelum mereka sempat melanjutkan obrolan tentang Prima dan hatiku akan tercabik kembali.

Entah kenapa tiba-tiba aku sangat merindukan almarhum Papa. Aku rindu melihat senyum di wajahnya, mendengar suaranya. Aku ingin menumpahkan segenap keluh kesah padanya, berbagi semua cerita, dan bersandar di pundaknya dengan manja. Aku merindukan semua itu, Ya Tuhan...

Dari semua orang di dunia ini, aku yakin Papa-lah orang yang paling ingin melihatku menikah. Memakai gaun pengantin dan menggandeng seorang laki-laki yang mencintaiku dengan segenap jiwa raganya, memberinya seorang cucu yang mungil dan menggemaskan. Tapi, takdir berkehendak lain. Papa harus pergi sebelum aku sempat mewujudkan impian Papa untuk menjadi seorang pengantin. Bahkan aku malah dicampakkan oleh laki-laki yang dulu sangat kucintai.

Maafkan Sasta, Pa...

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top