chapter 20

"Kamu beneran laper banget atau rakus?"

Aku mengangkat dagu, mengalihkan pandangan. Tinggal beberapa suap nasi yang menghuni piringku dan sepotong paha ayam yang juga nyaris tinggal tulangnya. Robin yang sedang duduk di hadapanku, lebih tepatnya sedang duduk bersandar dengan gaya tenang dan kedua tangannya terlipat ke depan dada. Ia melemparkan tatapan matanya kepadaku dengan sangat serius. Seperti tidak pernah melihat orang makan saja. Harusnya tadi ia ikut makan dan bukannya memesan secangkir kopi lalu memelototi segala tingkah polahku saat melahap makanan.

"Aku laper. Banget." Aku menggumam malas. Orang bisa menjadi rakus saat kelaparan dan itu berlaku buatku.

Robin mengulas senyum tipis. "Radit nggak pernah bilang kalau kamu makannya banyak," ujarnya kemudian.

Aku tak begitu saja menyahut ucapannya dan memilih mengais sisa-sisa daging yang masih melekat pada tulang paha ayam di atas piringku.

"Radit cerita apa aja tentangku?" tanyaku sesaat kemudian. Tulang paha ayam sudah bersih dari sisa daging dan aku meneguk jus jeruk usai mencuci tangan.

"Nggak ada. Dia nggak bilang apa-apa," sahutnya datar. Aku bahkan hanya sekali melihatnya menyesap isi cangkir kopi di atas meja. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengawasiku makan. Membuatku ilfil.

Aku mengernyit. "Beneran Radit nggak bilang apa-apa?" tanyaku hanya ingin memastikan. Aku tidak bisa langsung percaya begitu saja kalau Radit tidak cerita apapun pada Robin. Sepupuku itu mulutnya seperti ember yang isinya bisa meluber ke mana-mana, tak pandang situasi, kondisi, dan cuaca. Apalagi hal tentangku. Bisa saja kan, ia menjelek-jelekkan namaku di depan Robin atau mengatakan kalau aku baru saja patah hati demi bisa mencarikan aku pekerjaaan.

Robin menggeleng pelan, tak membuatku yakin padanya. "Emangnya kamu pingin Radit bilang apa sama aku? Kalau kamu nggak suka sama lalapan, gitu?"

Aku melenguh saat kedua mata Robin melirik ke atas piringku yang menyisakan daun kemangi, dua buah irisan mentimun, kubis mentah segar, dan beberapa butir potongan kacang panjang yang kusingkirkan ke tepi piring saat akan melahap makananku. Nggak penting banget.

"Sayuran mentah bagus buat tubuh kamu, tahu nggak?"

"Aku tahu," tukasku cepat.

"Terus kenapa nggak dimakan?"

Hei, hei. Siapa sih, loe? Kok gue ngerasa kalau loe memberi gue sedikit perhatian yang nggak penting. Kayak gue pacar loe aja...

Aku menelan kalimat yang melintas di pikiranku. Kata-kata itu sangat tidak pantas untuk diucapkan, bukan?

"Aku nggak doyan," ucapku kemudian. "kita nggak balik ke Go Fresh?" tanyaku sekadar mengalihkan topik pembicaraan. Aku tidak mau topik sayuran membuatku memuntahkan kembali ayam bakar yang sudah menghuni lambungku.

"Oke. Kita balik."

Aku menarik napas dengan lega begitu Robin menyetujui usulku dan mulai beranjak dari kursinya.

Aku sudah menempati jokku dengan posisi duduk manis dan berusaha tidak memancing percakapan apapun di saat ini. Terutama saat perutku kenyang. Lebih tepatnya kekenyangan. Dan berita buruknya aku mulai mengantuk.

Aku baru sadar setelah pundakku diguncang Robin entah berapa menit kemudian. Tapi, yang pasti ketika membuka mata pertama kali yang kulihat adalah sebuah papan nama berukuran besar bertuliskan Go Fresh. Faktanya aku tertidur selama dalam perjalanan dan ini sangat memalukan. Semoga aku tidak ngiler tadi.

"Kamu tidur?"

Aku tersentak mendengar teguran Robin. "Ah, nggak. Cuma ketiduran," cengirku dengan gaya bodoh. 

"Udah, turun," suruhnya.

Baru beberapa langkah memasuki minimarket tiba-tiba tanganku diseret Mbak Erli dengan paksa. Tentu saja setelah Robin menghilang di balik pintu belakang.

"Ada apa?" Aku menurut saja ketika Mbak Erli membawaku ke sudut minimarket, dimana tidak ada satupun mata yang bisa melihat kami. Bos dan yang lainnya sedang sibuk di belakang, sementara di meja kasir Mbak Juni yang menggantikan tugas Mbak Rin tampak menganggur karena minimarket sepi pengunjung.

"Gimana jalan-jalannya sama Pak Robin? Asyik nggak?" bisik Mbak Erli. Tatapan matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang besar. 

"Hah?" Untuk sedetik lamanya aku hanya bisa melongo menatap mata Mbak Erli yang mengerjap genit. "siapa yang jalan-jalan?" Aku balik menatapnya dengan kesal.

Mbak Erli mengukir senyum tipis. "Sama aja, Dek. Nganterin paket sama juga jalan-jalan, kan?"

"Ya beda, Mbak."

"Terus gimana? Asyik, nggak?"

Aku melenguh pelan. Mbak Erli tidak tahu aku hanya bertindak sebagai tukang angkut barang selama setengah hari ini, bukan jalan-jalan seperti yang dipikirkannya. Ya, meski aku mendapat makanan gratis, sih.

"Biasa aja. Kenapa?" Aku hanya memasang wajah datar karena menurutku sama sekali tidak ada yang menyenangkan bepergian bersama Robin.

"Tahu nggak? Mbak Rin jeaulous sama kamu, loh... "

Mbak Rin? Si tukang kasir yang melihatku dengan tatapan tidak suka itu?

"Jeaulous kenapa?" tanyaku bingung.

"Karena Pak Robin ngajak kamu nganter paket. Tahu nggak, Mbak Rin sebenernya naksir sama Pak Robin sejak dulu, loh," beritahu Mbak Erli masih dengan berbisik. Sepasang matanya jelalatan ke sana kemari untuk memastikan situasi aman dan terkendali. Maksudnya tidak ada Robin dan Mbak Rin yang bisa menangkap suara kami.

Tapi, kenapa aku tidak kaget ya?

"Jadi gitu," gumamku pelan. "pantesan Mbak Rin selalu sinis melihatku. Terus ke mana orangnya?"

"Mbak Rin lagi istirahat nyari makan."

"Oh."

"Tapi... emang selama ini Pak Robin nggak pernah ngajakin kita-kita nganterin paket loh, Dek. Cuma kamu doang. Paling-paling kalau dia mau nganter paket ya, ngajak Adi atau Raka. Nah, makanya Mbak Rin uring-uringan dari tadi," papar Mbak Erli. Kali ini aku agak terkejut dengan keterangannya.

"Tapi aku diajakin nganter paket karena aku telat, Mbak Er. Dan itu hukumannya, kok. Ngapain juga cemburu sama aku," celutukku cuek. "ada-ada aja."

"Tapi Mbak Rin suka cemburu sama siapa aja yang coba deketin Pak Robin, Dek. Ngerti nggak? Aku aja pernah dicuekin Mbak Rin gara-gara deket-deket sama Pak Robin waktu packing sayuran. Waktu itu anak-anak lagi keluar makan, jadi terpaksa aku bantuin bagian packing, deh." Mbak Erli sedikit menerawang saat menuturkan pengalaman buruknya. Apalagi kudengar Mbak Rin adalah senior tertua di tempat ini. Pastinya junior-junior di tempat ini merasa sungkan padanya. "bubar, yuk. Takut ketahuan Mbak Rin."

Mbak Erli mendorong tubuhku menjauh darinya. Padahal ia sendiri tadi yang memaksa menyeret tanganku ke tempat itu. Dasar Mbak Erli...

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top