chapter 18

Nyaliku langsung menciut ketika mendapati sosok Robin sedang berdiri tegak di depan pintu Go Fresh lengkap dengan celemek berwarna hijau membalut kemeja putih polosnya. Kedua tangan terlipat ke depan dada dan tatapannya yang sedatar papan pencucian mengarah lurus ke arahku. Laki-laki itu bersiap menghakimi keterlambatanku!

Bukan salahku jika aku terlambat bangun pagi ini. Salahkan Reza yang akan menikah dengan bintang ftv itu. Kenapa? Karena berita pernikahannya sangat mengganggu pikiranku semalam dan imbasnya aku terkena insomnia akut. Aku baru bisa tertidur sekitar jam dua pagi dan ujung-ujungnya aku terlambat bangun. Buntutnya lagi aku terpaksa melewatkan acara sarapan dan tawaran baik dari Prima untuk mengantarku berangkat kerja juga kutolak pasalnya abang Gojek yang ku order sudah stand by di depan rumah. Sebenarnya bukan karena salah abang Gojek sih, tapi lebih baik aku menjaga jarak dengan kakak tiriku itu mulai sekarang sebelum terjadi sesuatu yang biasa disebut sebagai cinlok.

"Jam berapa ini? Kenapa baru datang?" hardik Robin begitu langkahku berhenti tepat di hadapannya. Padahal aku hanya terlambat 10 menit dan sepertinya ia ingin membuat perhitungan denganku.

"Maaf, Bos." Memang mulutku berucap kata maaf, tapi kepalaku masih tegak seperti tak bersalah.

"Jangan mentang-mentang kamu sepupu Radit, terus kamu seenaknya kayak gitu," ucap Robin dengan melancarkan tatapan angker ke wajahku. Sungguh, wibawanya meningkat dobel dua kali lipat dari biasanya. Malah terlihat cenderung galak. Bos belagu.

Aku memutar bola mata jengah. Dalam hidup, aku sudah terbiasa dimarahi guru, bos, dan Radit. Jadi, aku tidak akan kaget kalau Robin juga melakukan hal yang sama padaku.

"Setiap keterlambatan pasti ada alasannya. Kamu nggak ingin tanya?" delikku dengan tampang pura-pura bodoh. Sengaja berbelit-belit agar laki-laki itu sedikit melupakan kemarahannya.

Tapi sialnya Robin menggeleng. "Apapun alasannya itu pasti bukan sesuatu yang enak didengerin, kan?" Nada suaranya masih sedatar sebelumnya.

Aku menghembuskan napas kuat-kuat. Percuma. Orang seperti Robin sepertinya tipikal yang tidak mudah untuk dirayu.

"Ya, udah." Aku bergumam sangat lirih sembari melempar tatapan ke arah lain dengan sengaja agar suaraku tersamarkan angin.

"Kamu tahu, Pak Mahmud kurir kita nggak masuk hari ini karena sakit," beritahu Robin sesaat kemudian. Beralih topik pembicaraan dan aku bersyukur ia tidak mendengar gumamanku sedetik yang lalu.

"Lalu?" pancingku cepat. Apa hubungannya kurir denganku? Tidak mungkin aku menggantikan tugasnya, bukan? Aku kan tidak bisa menyetir. Dan aku bangga dengan ketidakbisaanku ini.

"Aku yang mau gantiin tugas Pak Mahmud ngirim barang hari ini. Dan kamu temenin aku... "

"What?" Virus Radit, nih. Aku menjerit kecil mendengar kalimat Robin. Maksudnya? Aku disuruh menemani dia mengirim barang keliling kota hari ini? Bukannya aku tidak senang bisa berkeliling dan terbebas dari tugas petik memetik sayur, tapi menemani kurir sama saja beralih profesi menjadi tukang angkut-angkut barang, kan? Dengan tulang lengan sekecil ini berapa berat beban yang sanggup kuangkat, hah?

"Nggak mau?"

Bagaimana aku bisa bilang tidak mau kalau tatapan mata Robin horor begitu? Seolah-olah mata itu bilang, ikut temenin gue atau loe mati. Sangar, kan?

"Ada bayaran lebih, kan?" delikku malu-malu. Malu-maluin tepatnya. Baiklah, sebenarnya aku tidak terlalu perhitungan soal materi karena aku memegang kartu kredit milik Mama dan bisa menggunakannya kapanpun aku mau. Tapi, aku hanya ingin minta kompensasi jika setelah menemani Robin mengirim barang hari ini tanganku pegal-pegal. Sebut saja uang untuk membeli minyak gosok atau balsem.

Robin melengkungkan salah satu ujung bibirnya dan terbentuklah seulas senyum sinis. Tatapan matanya juga terlihat merendahkanku. "Kamu perhitungan banget, ya," ledeknya pedas. Tapi aku sudah kebal dengan ledekan-ledekan semacam itu. Radit sudah melakukannya terlebih dulu dan lebih sering. Juga lebih parah.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Orang kerja buat nyari duit, kan?"

"Oke,"sahut Robin terlihat tak masalah. "masuk dulu, gih. Kita prepare barang yang mau dikirim."

Aku menyusul langkah Robin setelah ia membalikkan badan dan mulai menapaki lantai keramik Go Fresh dengan langkah malas.

Mbak Rin yang berdiri di belakang meja kasir hanya melempar tatapan sinis ketika aku melangkah masuk minimarket. Melihat lagaknya yang sok senior itu membuatku lumayan jengah. Aku memang masih baru di tempat ini dan bukan karyawati yang bisa menjunjung tinggi disiplin seperti dirinya. Ah, masa bodohlah.

"Hei, telat?" Adi, si playboy yang punya tingkat percaya diri setinggi langit itu menyapa dengan berbisik ketika aku sampai di ruang preparing. Laki-laki itu sedang menata orderan pelanggan ke dalam sebuah kardus yang nantinya akan dikirim oleh Robin dan aku.

Aku mengangguk dan menyempatkan diri melirik Robin yang sedang sibuk mengecek laptop di atas meja. Mungkin sedang melihat orderan yang masuk.

"Kamu kebagian tugas ngirim barang sama Bos?" Adi berbisik kembali karena merasa situasi masih aman. Mata Robin masih sibuk menekuri laptopnya.

"Kok tahu?" sahutku ikut berbisik.

"Dia bilang tadi."

Oh. Aku hanya mengangguk pelan dan sama sekali tidak tertarik untuk melanjutkan percakapan dengan berbisik-bisik semacam itu.

"Udah kelar, Di?" Robin mendadak sudah berdiri di dekat tempat Adi berjongkok dengan sebuah kardus di depannya. Aku dan Adi tidak tahu kapan laki-laki itu berpindah dari tempat duduknya. Langkah-langkahnya tidak tertangkap oleh telingaku. Mungkin Adi juga. Nah, horor lagi kan? Jangan-jangan dia nggak napak di lantai. Hii...

"Udah, Bos. Ada orderan lagi?" tanya Adi penuh dengan rasa hormat. Ia melirik selembar kertas yang sedang dipegang Robin.

"Iya, nih." Robin menyerahkan selembar kertas di tangannya kepada Adi. "cepet siapin, ya. Sepuluh menit lagi aku kirim."

Sepuluh menit?

"Kamu jangan bengong aja, dong. Bantuin Adi, gih. Gimana barang mau siap dalam sepuluh menit kalau kamu cuma berdiri aja di situ?" Suara Robin menyentak lamunanku dan berhasil membuatku seperti orang tolol di hadapan Adi. Untungnya beberapa orang laki-laki yang bertugas di area itu sedang sibuk di kebun sayur dan tidak melihat betapa malunya diriku sekarang.

"Ya," sahutku pendek dan penuh dengan rasa kesal yang menggerogoti dada. Mungkin aku bisa melampiaskan kekesalan ini pada Radit suatu saat nanti.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top