chapter 17

"Gimana hari pertama loe kerja di tempat Robin?" sapa Radit langsung nyerocos ketika aku baru saja menggeser ikon berwarna hijau pada layar ponselku. Ia bahkan melupakan satu kata sandi yang biasa orang-orang pakai saat bertelepon pada umumnya yaitu halo. Atau ia sudah beralih menjadi orang-orang yang tidak umum?

Aku tak langsung menjawab malah merebahkan diri di atas tempat tidur dan menarik napas panjang.

"Gue capek." Aku membuat nada suaraku sedramatis mungkin untuk membuat Radit percaya. Bagaimana tidak capek, seharian ini Robin menyuruhku berkeliling di kebun sayur organiknya. Memetik sayur ini itu, lalu ikut memasukkan media tanam ke dalam polybag, lalu di penghujung jam kerja aku harus menyapu serta mengepel lantai minimarket. "gue heran, kenapa semua orang kepoin hari pertama gue kerja, sih? Emang penting banget, ya?" selorohku sejurus kemudian.

Radit terkikik dari ujung telepon. Sepertinya penderitaanku terdengar sebagai sesuatu yang lucu buatnya. "Masa, sih? Emang siapa aja selain gue yang kepoin loe? Yeah, meski nggak penting tetep aja loe penting buat gue. Kalau nggak ada loe, siapa ntar yang gue kerjain?" Dan meledaklah tawa si bawel Radit Raditya sepupuku yang tidak penting itu.

Huh.

"Dasar resek," gerutuku kesal. Kalau saja ia ada di depanku saat ini, sudah kupastikan wajahnya babak belur. Tapi aku terlalu malas meladeni olokan Radit. Biarlah, dia mau mengataiku apa saja terserah. Aku tidak peduli.

"Emang siapa aja yang kepoin loe, hah?" ulang Radit setelah puas dengan tawa cemprengnya. "Prima?"

"That's right." Aku langsung bangun dan duduk bersila saat teringat kalau beberapa menit yang lalu aku baru saja menyelesaikan makan malam. Dan saat acara makan malam itulah Prima bertanya soal pekerjaan padaku. Laki-laki itu berhasil membuatku kembali menjadi sorotan di meja makan. "dia juga nanya gimana hari pertama gue di tempat kerja. Jangan-jangan kalian sekongkol," tuduhku ngawur.

"Sekongkol dari Hongkong?" tukas Radit cepat. "loe tuh kadang-kadang pedenya kebangetan, tahu nggak?" hardiknya kemudian.

Aku mendengus. "Cariin gue kerjaan lain!"

"What?!" Laki-laki itu berteriak cukup keras sampai-sampai aku harus menjauhkan smartphone kesayanganku dari telinga. "loe tuh, ya. Kerja juga masih sehari udah nyuruh nyariin kerjaan lain. Apa kata temen gue ntar, hah? Emangnya nyari kerja itu gampang? Pokoknya loe jalani aja kerjaan itu, suka atau nggak! Titik!" suara Radit kembali terdengar saat aku mendekatkan ponselku lagi. Laki-laki itu sedang menghardikku habis-habisan.

"Kejam banget sih, loe Dit." Aku tak berani menggerutu lebih keras lagi. Sepupuku itu kalau marah jelek banget. Tapi, aku lumayan takut juga, sih.

"Kejam apanya sih, Sas. Gue udah baik sama loe, nyariin loe kerja. Kurang apa gue sama loe?"

Fuuh. Nih, orang mulai mengungkit kebaikan diri sendiri. Itu kan tidak boleh.

"Iya, iya Radit bawel. Udah, gue mau tidur dulu. Capek banget, nih... "

"Emang loe disuruh ngapain aja sih, sama si Robin?"

"Banyak," sahutku singkat. Karena pertanyaan Radit, aku urung untuk menekan tombol akhiri panggilan."masa seharian ini gue disuruh metik sayur mulu. Udah macam petani sayur aja gue," keluhku lagi.

"Beneran?" tanya Radit seolah tak percaya, tapi sepintar apapun ia menyembunyikan tawa tetap saja telingaku bisa mendengarnya.

"Loe ngetawain gue?" tanyaku sewot.

"Siapa yang ketawa, heh?" balasnya sengit. "eh, tapi kan enak bisa metik sayur gitu. Nambah pengalaman juga, kan? Jadi loe bisa mengenal macem-macem sayur yang ada di Indonesia plus ngecengin cowok-cowok di kebun itu. Robin juga boleh tuh dikecengin. Dia kan lumayan keren buat nambal hati loe yang bolong... "

"Radit!!!"

Sungguh, aku tidak peduli dengan jeritanku yang menggelegar di dalam kamar. Emosi di dalam dadaku tiba-tiba bergolak dan siap dimuntahkan demi mendengar ucapan Radit barusan.

"Apaan sih, teriak-teriak? Kayak lagi di lapangan bola aja," maki Radit sewot minta ampun. Wajar dong, kalau aku marah? "gue bener, kan? Emang hati loe nggak bolong denger Reza mau nikah sama bintang ftv itu?"

"Nikah?" ulangku dengan bibir gemetar. Jantungku juga mendadak berdenyut tak karuan. Tak senormal biasanya, tapi kupikir ini bukan sakit jantung. "sama Yolanda?" Aku sama sekali belum mendengar kabar itu.

"Yup. Emang loe nggak lihat di tivi? Oh, iya gue lupa. Seharian ini loe ada di kebun sayur... "

"Gue nggak tahu," tandasku lirih.

"Ya, ampun Sas. Kasihan banget loe. Jadi, selama ini loe jagain jodoh orang, tahu nggak? Dari dulu gue emang nggak pernah setuju loe jadian sama Reza. Tapi gue nggak sampai hati ngelarang loe pacaran sama dia, karena gue lihat loe cinta mati sama Reza. Sekarang terbukti kalau feeling gue bener. Dia emang bukan jodoh loe, Sas... "

Jodoh?

Aku menelan ludah. Semua ocehan Radit tentang Reza dan feeling-nya tentang mantan pacarku itu memang benar. Selama ini aku memang menjaga jodoh orang dan nyatanya istilah itu berlaku padaku. Dan Radit benar soal hatiku. Ada sebuah lubang besar tak kasat mata di dadaku yang tak bisa dilihat siapapun. Tapi sakitnya bisa kurasakan sampai ke dalam ulu hati.

Aku patah hati.

"Sas, Sasta. Loe masih denger gue, kan?"

"Ya, gue denger," sahutku pelan tanpa semangat. Nada suaraku sudah anjlok beberapa tangga dari sebelumnya.

"Loe nangis?"

Aku menggeleng dan malah menyunggingkan senyum pahit meski tahu Radit tidak akan pernah bisa melihat wajahku sekarang. "Nggak," jawabku akhirnya.

"Gue siap minjemin pundak gue buat loe, Sas," ucap Radit sejurus kemudian. Mungkin aku akan meletakkan kepalaku dan menumpahkan air mata ke atas pundak Radit tanpa sungkan jika saja ia ada di sini sekarang. Tapi, sayangnya ia tak ada di sini seperti harapanku. "bagaimanapun juga gue nggak rela kalau ada orang yang nyakitin hati loe, tahu nggak?"

"Ya, gue tahu. Gue nggak pa pa, Dit. Gue baik-baik aja," ucapku mencoba menguatkan hati juga meyakinkan Radit jika aku adalah gadis yang tegar. Meski sesungguhnya aku ingin sekali menangis sejadi-jadinya saat ini. Aku yang terkhianati, kenapa Reza yang lebih dulu mengecap kebahagiaan? Apa itu adil?

"Ya, udah. Mending loe lepasin semua beban di hati loe dan pergi tidur. Besok loe harus kerja lagi, kan?"

Aku mengangguk tanpa sadar. "Bye."

Ada yang pernah bilang hidup memang tidak adil. Kita yang sudah tersakiti, tapi malah orang lain yang mendapat kebahagiaan. Sementara kita harus berkubang dalam penderitaan beberapa lama. Namun justru karena itulah kita menjadi pribadi yang tangguh dan sabar.

Lepaskan semuanya dan mari kita tidur...

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top