chapter 16
"Yang bersih ya, Dek."
Aku menghentikan gerakan gagang pel dalam genggaman dan menoleh ke arah Mbak Erli yang baru saja melangkah di depanku dan melempar sapaan manis. Bahkan ia sempat mengusap kepalaku pelan. Seniorku itu terkikik ketika aku menatapnya dengan cibiran kesal. Sepertinya anak baru di Go Fresh bakalan menjadi sasaran empuk bullying. Dan ini mengingatkan aku pada Radit. Aku sudah terlalu kenyang diperlakukan semacam itu. Lagipula sejak kapan aku menjadi dedek-dedek? Huh!
Aku melanjutkan kembali pekerjaanku setelah Mbak Erli menghilang di balik pintu belakang minimarket.
Hari ini adalah hari perdanaku bekerja di minimarket Go Fresh. Sudah kubilang kan, aku tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran pekerjaan dari Radit dan Robin. Toh, aku hanya perlu menjalani semua ini sebulan. Itu jika aku tidak betah bekerja di sini.
"Udah sarapan, Sas?" tegur Mbak Juni tiba-tiba. Wanita itu sudah berdiri di sebelahku dan ditangannya terdapat sebuah keranjang berisi sayur sawi yang siap dipajang di atas rak minimarket. Dia juga salah satu seniorku di sini. Usianya beberapa tahun diatasku. Sepertinya begitu.
"Udah, Mbak." Aku menyahut dengan sopan. Padahal ini bukan gayaku, loh. Hanya karena aku junior di sini, jadi aku harus menjaga image. Biasanya juga nggak!
"Kamu taruh sawi ini di atas rak, ya," suruhnya sembari mengangsurkan keranjang berwarna putih ke hadapanku. Dagunya bergerak menunjuk ke arah rak yang memajang sawi dan bersebelahan dengan bayam.
"Ya, Mbak." Aku patuh. Dan setelah menyimpan alat pel di belakang, aku bergegas mengerjakan tugas yang diberikan Mbak Juni.
Aku tidak terlalu menyukai sawi dan hanya memakannya saat makan mie ayam. Itupun kalau abang-abang penjual mie ayam lupa memasukkan sawi ke dalam mangkuk pesananku. Bukan aku anti dengan sayuran, ya. Tapi, rasa sayur sawi terkadang pahit, kan?
Entah siapa lagi yang ingin mengerjaiku kali ini, tapi di saat aku sedang asyik meletakkan sawi-sawi segar itu ke atas rak, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Otomatis aku menolehkan kepala ke belakang dan mendapati seseorang yang sama sekali belum kupikirkan hari ini. Robin!
"Sibuk?" tegur Robin tanpa ekspresi. Laki-laki itu baru saja datang karena aku belum mendapati selembar celemek hijau membalut tubuh tinggi besarnya. Jika dilihat dengan seksama, Robin lumayan juga. Wajah lokalnya cukup ganteng. Kulitnya yang kecokelatan, gaya maskulin, dan didukung postur yang mirip pemain bola voli, membuatnya berkharisma dan memiliki daya tarik tersendiri. Tapi, seperti yang kubilang dari awal dia bukan tipeku. Radit saja yang resek ingin mencarikanku jodoh.
"Oh, nggak. Ini hampir selesai," sahutku seraya menunjuk isi keranjang di tangan. Masih tersisa dua tangkai sawi di dalam sana dan tak butuh waktu semenit untuk meletakkan benda itu di atas rak.
"Oke. Kalau udah selesai, kamu ikut aku ke belakang," ucap Robin sambil menunjuk ke arah pintu belakang minimarket dengan ujung jempol kanannya.
Aku hanya mengangguk dan bergegas menaruh sawi terakhir ke atas rak lalu mengikuti langkah Robin ke arah pintu belakang sesuai petunjuknya.
Dibalik pintu belakang minimarket terdapat sebuah ruangan yang tak terlalu luas dan pada sudutnya dihuni sebuah meja lengkap dengan peralatan komputer yang berfungsi untuk melayani semua pemesanan via online. Sementara di sisi lain terdapat rak-rak besi yang berdiri merapat ke dinding tempat meletakkan keranjang-keranjang besar dan kecil, kardus-kardus, dan beberapa peralatan lain. Tempat itu difungsikan untuk packing pengiriman online, beristirahat, dan prepare stok. Ruangan itu berbatasan langsung dengan sebidang tanah yang lumayan luas semacam green house tempat menanam berbagai jenis sayur mayur. Ratusan polybag berjajar dengan rapi di sana dan beberapa orang laki-laki tampak sedang memetik sayur, sebagian lagi sibuk melakukan perawatan tanaman.
"Kamu bantuin Adi metik tomat," suruh Robin sambil menyodorkan sebuah keranjang berukuran sedang ke tanganku.
Aku menerima keranjang itu dengan tidak ikhlas. Aku harus memetik tomat? Bagaimana nanti kalau ada ulat? Geli banget kan?
"Kamu petik yang udah merah, ya. Jangan yang hijau karena masih belum mateng," pesan Robin sejurus kemudian.
Aku mengangguk. Lagi-lagi dengan terpaksa.
Di barisan polybag yang berisi tanaman tomat yang sudah berbuah, seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak biru sedang sibuk memanen buah merah itu. Ia belum terlalu tua, mungkin sepantaran denganku. Tadi Robin bilang namanya Adi.
"Adi."
Laki-laki itu menoleh sewaktu aku mendekat dan menyebut namanya. Aku mencoba tersenyum semanis mungkin.
"Hei," balasnya ramah. Ia mengembangkan senyum untuk mengimbangi keramahanku. "kamu anak baru, ya?" Ia menelusuri wajah dan sekilas menatap perawakanku yang sebagian tertutup celemek hijau khas Go Fresh.
"Ya," anggukku. "tadi aku disuruh sama si Bos buat metik tomat," jelasku.
"Oh, silakan," ucapnya ramah. "sini aku ajarin." Adi menarik keranjangku agar lebih mendekat ke arahnya.
Aku menuruti perintah Adi dan mulai memperhatikan gerak-geriknya dalam mempraktekkan cara memetik buah tomat yang baik. Ia juga memberi penjelasan karakter buah tomat yang siap panen dan berkualitas bagus.
"Petik tomat yang udah merah nggak ada warna hijaunya, ya. Itu tandanya tomat belum mateng. Kalau dibikin sambel juga kurang enak. Terus.... petik tomat sama tangkainya juga. Ngerti kan?" urai Adi.
Aku hanya mengangguk pelan. Kayaknya nggak penting, deh infonya, batinku.
"Oke, good." Adi mengusap puncak kepalaku pelan.
Duh, kenapa aku merasa menjadi anak-anak lagi saat semua orang memperlakukanku seperti ini? Menjadi junior beneran nggak menyenangkan.
Aku mulai mengerjakan tugasku memetik buah tomat sesuai petunjuk yang Adi berikan. Kalau cuma metik tomat mah, gampang. Sambil merem juga bisa!
Keranjangku sudah terisi separuh saat Adi menghampiriku kembali. Padahal sesaat lalu kulihat ia baru saja memanen cabai besar di sisi lain di kebun ini karena tugasnya memetik tomat sudah kugantikan.
"Oh, ya. Tadi kita belum kenalan, kan?" ucap Adi mengingatkan. Ya, kami sudah berbincang, tapi hanya aku yang sudah mengetahui namanya.
"Aku Sasta," ucapku memperkenalkan diri. Untuk sesaat mari kita lupakan bahasa loe-gue.
"Nama yang bagus. Pas sama orangnya." Laki-laki itu terkekeh memamerkan sebuah senyum tengil.
Aku mengerutkan kening. "Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Ya, pas. Nama kamu bagus, orangnya juga cantik," puji Adi tanpa merasa canggung.
Beneran?
"Masa sih?" tanyaku tak percaya. Karena selama ini Radit selalu bilang aku tidak ada cantik-cantiknya atau manis-manisnya sama sekali. Mungkin saja penglihatan Adi jauh lebih baik dari Radit, ya?
"Hm," angguk Adi. "emangnya nggak ada yang bilang kalau kamu itu cantik?"
"Nggak gitu," gelengku. Hanya saja aku sudah terlanjur tersugesti dengan pernyataan Radit dan itu membuatku sedikit tidak mempercayai apa yang ada dalam diriku. "tapi biasanya orang yang suka muji kayak gitu playboy," ucapku asal. Barangkali tebakanku benar. Masa orang baru kenalan sudah berani memuji seperti itu?
"Apa? Playboy? Masa tampang keren kayak gini dibilang playboy, sih?" tanya Adi dengan ekspresi wajah bodoh dan ingin membuatku meledakkan tawa seketika.
"Emang!"
Eh, bukan aku yang menyahut, loh!
Aku dan Adi kompak terkejut mendengar suara asing yang menengahi obrolan kami. Robin?
"Kalian berdua dibayar untuk bekerja bukan untuk ngobrol, ngerti nggak?" Robin mendelik ke arahku dan Adi bergantian. Wajahnya terlihat datar, tapi sorot matanya sungguh mematikan. Tajam dan sarat dengan kharisma.
"Ngerti Bos," angguk Adi dengan cengiran bodohnya. "aku metik cabai dulu, Bos." Adi langsung terbirit-birit sebelum Robin sempat menjawab.
"Loe juga." Robin mendadak menoleh kepadaku di saat aku belum puas menatap punggung Adi yang bergerak menjauh. Laki-laki itu masih sempat melempar senyum tengil ke arahku saat Robin tak menatapnya. "loe kan anak baru di Go Fresh. Baru pertama masuk udah cari perhatian, loe mau kerja atau nyari cowok?"
Aku melongo mendengar tuduhan Robin. Siapa yang cari perhatian, heh?
Sungguh, ini bisa disebut sebagai dilema berat. Di satu sisi aku karyawan Robin dan di sisi lain ia teman Radit, aku harus bagaimana menyikapi hal ini?
"Nggak, Bos." Hanya kata itu yang mampu terucap dari bibirku. Memang, aku sudah terbiasa ceplas ceplos di depan Radit karena aku sudah mengenalnya sejak lahir dan ia sangat bawel, jadi otomatis aku ikut terbawa sifatnya beberapa persen. Tapi, jika berbicara di depan orang lain aku sedikit berbeda apalagi dengan seseorang yang baru saja kukenal.
"Oke. Loe selesaikan kerjaan loe dulu, ntar tunggu perintah dari gue," tandas Robin dengan gaya seorang bos besar. Laki-laki tanpa ekspresi itu memutar tubuh dan pergi dari hadapanku.
Aku menghela napas dan melanjutkan pekerjaanku. Tapi aku sempat mencibir punggung Robin saat laki-laki itu bergerak pergi dari hadapanku.
Bos belagu.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top