chapter 15
"Gimana menurut loe? Robin lumayan keren, kan?" Radit menyeringai seraya menoleh kepadaku sekilas lalu fokus lagi pada kemudinya. Sepulang dari tempat Robin tadi, kami balik ke barbershop. Aku menodongnya untuk mentraktirku makan siang pizza ukuran jumbo dan es krim selama berdiam diri di tempat Radit. Dan setelah seharian menatap bapak-bapak potong rambut di barbershop aku minta diantar pulang setelah matahari terbenam.
"Keren apaan? Nggak penting juga," sahutku sambil terkantuk-kantuk. Kepalaku sudah rebah ke sandaran jok sejak kami meninggalkan halaman barbershop dan perbincangan dengan tema apapun sama sekali tidak menarik bagiku. Rasanya kami sudah membahas soal Robin sepulang dari minimarkat Go Fresh.
"Dia masih lajang, loh." Radit memberi info padahal aku sudah menanggapinya secuek mungkin. Tapi tampaknya sepupuku itu tidak terpengaruh sama sekali. "kali aja loe suka."
"Bukan tipe gue." Mataku sudah nyaris terpejam, tapi mulut masih ingin menyahut ucapan Radit.
"Tapi produk lokal nggak kalah sama produk luar negeri, loh." Radit menggelakkan tawa cukup keras sengaja ingin menyindirku.
Parah. Reza juga produk lokal, tapi Radit tak pernah berkomentar apa-apa dulu.
"Emang hape, apa?" sahutku cepat. "tapi emang beneran nggak ada temen loe yang punya restoran dan sedang butuh karyawan?" Aku menoleh pada Radit dan menyodorkan topik pembicaraan lain.
"Nggak ada. Temen gue yang punya cafe juga nggak bisa dihubungi. Nomor teleponnya nggak aktif."
"Kenapa loe nggak nyamperin dia ke cafe-nya?"
"Jauh, Neng."
Aku mendengus. Emangnya nama gue Neneng?
"Tapi kenapa loe suka banget kerja di restoran? Bukannya jadi waitress itu capek banget harus bolak-balik ke sana-kemari?" sentak Radit tiba-tiba. Mobil sedang berhenti di perempatan lampu merah.
"Iya, sih. Tapi gue dapet makan gratis," kekehku bangga.
"Tapi kenapa badan masih kurus kayak lidi gitu?" sindir Radit sambil mesem. Ia menjalankan mobilnya kembali saat lampu merah sudah berganti warna.
"Bawaan dari lahir!" sahutku sewot dan langsung mendapat sambutan tawa keras dari Radit. Ia selalu terlihat puas setelah meluncurkan olokan-olokan padaku seolah hidupku pantas untuk dijadikan sasaran empuk bullying.
Mobil Radit mulai melambat ketika masuk ke dalam gang menuju rumahku, maksudku rumah Papa tiriku. Tapi aku melihat sebuah kejanggalan terpampang jelas di depan pintu gerbang rumah.
"Bukannya itu Reza, Sas?" Radit setengah berbisik saat aku berusaha menajamkan penglihatan.
Aku tahu dan baru saja mau bilang seperti itu, batinku.
Seseorang mirip Reza--sepertinya memang laki-laki itu--sedang berdiri di depan pintu gerbang dan kepalanya celingukan ke dalam seperti pencuri. Sebuah mobil berwarna putih terparkir beberapa meter dari tubuhnya. Mantan pacarku itu terlihat sehat wal afiat tak kurang suatu apa. Padahal aku sudah menyuruh seorang preman untuk sedikit menghajarnya waktu itu. Tapi rupanya ia pulih dengan cepat.
"Nyariin gue?" hardikku setelah berhasil turun dari atas mobil Radit. Sepupuku itu juga ikut menghampiri sosok Reza. Ia sudah bersiap pada posisinya bak seorang bodyguard pribadi dan siap melindungiku dari kejahatan macam apapun, terutama dari tukang selingkuh seperti Reza.
Reza menatapku datar. Ia tak menyahut, tapi malah mendekat ke arahku.
"Maksud loe apa nyuruh orang buat mukulin gue?" tanya Reza kalem. Tapi aku melihat laki-laki itu sedang menggertakkan gigi-giginya. Geram. Ia mendekatkan wajahnya padaku dan aura kemarahan terpancar jelas dalam sorot matanya.
Aku terperangah. Bukan lumayan kaget lagi, melainkan sangat kaget setengah mati.
"Loe ngomong apa, sih?" balasku menghardik balik. Pura-pura bego, pura-pura tidak tahu, dan pura-pura tidak bersalah. Aku berusaha memasang ekspresi polos. "gue nyuruh siapa, mukulin siapa?" ulangku seolah dilanda kebingungan.
Reza mendengus marah. "Bukannya loe yang nyuruh orang buat mukulin gue di parkiran apartemen gue? Ngaku aja, deh." Tangan Reza menunjuk ke wajahku untuk menjadikanku sebagai tersangka.
Aku mundur dua langkah. "Loe tuh jangan nuduh orang seenaknya," sahutku tidak terima. Meskipun aku bersalah, aku tidak akan pernah mengaku.
"Apa-apaan sih loe, Za?" Radit menengahi. Sepupuku itu menahan tubuh Reza dengan tangan kanannya. "loe tuh udah nyakitin hati Sasta, sekarang malah nuduh dia yang nggak-nggak. Loe punya perasaan nggak?!"
"Diem loe! Ini bukan urusan loe!" Ucapan Radit berhasil memancing emosi Reza dan kalau saja aku tidak bertindak cepat, mereka bisa saling pukul atau saling bunuh setelah ini.
"Stop!" Aku berteriak kencang dan mengambil posisi tepat di antara mereka berdua dengan tangan terbentang untuk memisahkan jarak. Aku menarik napas sebelum bicara. "mendingan sekarang loe pergi dari sini sebelum Radit mukulin loe, Za. Dan gue sama sekali nggak tahu menahu soal pemukulan loe, jelas?" tegasku dengan menampilkan raut wajah yang meyakinkan. Kedua tanganku berusaha mendorong tubuh Reza agar segera menjauh. Aku juga perlu menjaga keselamatan diriku dari amukan Reza.
Reza mendengus keras-keras dan menatapku tajam. Tanpa bicara sepatah katapun, laki-laki itu beranjak dari hadapanku dan Radit. Pastinya ia sedang memendam amarah yang luar biasa parah karena aku sempat mendengar Reza membanting pintu mobilnya sangat keras. Biar saja, toh itu mobilnya sendiri bukan mobilku. Terserah mau diapakan juga, aku tidak peduli.
Kami hanya terpaku menatap mobil Reza yang bergerak menjauh menyisakan asap tipis yang bersumber dari knalpotnya. Bagiku, semakin cepat dan jauh ia pergi itu jauh lebih baik. Rasa yang pernah kurasakan padanya dulu bahkan sama sekali tak berbekas dalam hatiku. Semuanya lenyap terkikis kebencian yang perlahan menggerogoti perasaan. Ia sudah pergi membawa hatiku, lalu apa lagi yang tersisa?
"Kok dia bisa nuduh loe, sih? Emang bener loe yang udah nyuruh seseorang buat mukulin dia?" Suara Radit menyentak kesadaranku. Setelah berhadapan dengan Reza, aku harus menghadapi sepupuku sendiri. Laki-laki itu bersidekap dan mengarahkan tatapan penuh kecurigaan padaku.
"Loe percaya sama yang dia omongin?" Aku tak berani menjawab iya atau tidak. Hanya sebuah pertanyaan untuk berkelit menghindar dari segala kecurigaan yang Radit tuduhkan padaku. "masa sih, gue tega ngelakuin hal konyol kayak gitu?" Aku berusaha menampilkan wajah polos tanpa dosa.
Radit mengedikkan bahu. "Kadang-kadang loe bisa ngelakuin hal diluar nalar, Sas. Gue tahu banget itu. Tapi gue nggak yakin loe setega itu pada Reza. Yeah, meski itu pantes buat dia."
Aku menanggapi ucapan Radit dengan seulas senyum kecil. "Udah, sebaiknya loe pulang sono. Gue kebelet pipis, nih," usirku sejurus kemudian. Tanganku bersiap mendorong punggung Radit agar segera pergi.
"Nggak ditawarin makan malam, nih?"
"Lain kali aja."
Radit yang terlihat ogah-ogahan segera melangkah menuju mobilnya setelah kudorong sekuat tenaga. Aku melambaikan tangan dengan girang setelah ia berhasil duduk di atas jok kemudi dan mulai menjalankan mobilnya perlahan.
Fuuhhh. Hari yang melelahkan.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top