chapter 14
Go Fresh.
Aku membaca dalam hati sebaris tulisan berwarna hijau di dekat pintu masuk minimarket yang sejak tadi diceritakan Radit dengan sangat antusias sepanjang perjalanan. Ornamen selembar daun menjadi pemanis pada huruf terakhirnya dan entah mengapa begitu aku turun dari atas jok--mengikuti jejak Radit--perasaanku berubah tidak enak. Bukan karena aku memiliki indera keenam atau apa, tapi sejak awal aku memang sama sekali tidak tertarik dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sayuran. Kalau masalah buah-buahan aku masih bisa mentolerir karena aku adalah salah satu penggemar bengkoang, tapi tidak dengan sayuran. Harusnya dulu Mama memaksaku untuk melahap berbagai jenis sayuran meski aku menolaknya.
"Dit, pulang aja yuk." Aku menarik lengan Radit tepat selangkah sebelum kaki kami menapaki lantai teras. Tanganku masih menahan lengannya agar laki-laki itu berhenti melangkah dan mempertimbangkan usulku.
"Ngapain pulang?" Radit berhenti dan menatapku dengan pandangan horor.
"Perasaan gue nggak enak, nih," keluhku dengan bibir mengerucut.
"Nggak enak gimana? Kita udah sampai di sini dan loe ngajak pulang? Yang bener aja, Sas?" Radit melotot seolah biji matanya ingin melompat keluar. "yuk, masuk."
"Tapi, Dit... "
Aku sudah berusaha bertahan pada pijakanku, tapi tangan Radit yang kokoh sedang memamerkan kekuatannya. Laki-laki itu ganti menarik lenganku dengan paksa masuk ke dalam minimarket sayuran organik Go Fresh.
Tempat itu tidak begitu luas, sama seperti minimarket-minimarket lainnya lengkap dengan raknya. Hanya saja rak-rak itu dihuni berbagai macam sayuran yang masih segar dan beberapa jenis buah-buahan. Seorang gadis yang lumayan cantik dan bercelemek hijau berdiri di belakang mesin kasir yang berada tak jauh dari pintu minimarket. Sementara dua orang gadis lainnya--yang juga memakai celemek senada--terlihat sedang sibuk menata sayuran pada rak yang tersedia. Minimarket itu tampak sepi pengunjung saat aku dan Radit masuk ke sana.
Aku masih berdiri kaku di belakang punggung Radit dengan pandangan beredar ke sekeliling saat seseorang mendadak muncul dari pintu belakang minimarket.
"Hei, Radit!"
Seorang laki-laki bertubuh tinggi--aku memperkirakan tingginya 180 centi--melambaikan tangan kanannya lalu menyalami Radit dengan gaya khas kaum Adam. Penampilannya oke dari atas sampai bawah. Rambut cepak rapi dan klimis, selembar kaus polo berwarna putih polos, celana hitam panjang, dan sepasang sepatu sneakers Nike hitam putih. Sehelai celemek hijau bertuliskan Go Fresh membalut tubuhnya yang lumayan berotot. Wuih.
"Hai, Bro. Apa kabar?" balas Radit terlihat girang. Aku hanya melenguh dan membuang muka saat keduanya saling memeluk satu sama lain. Lebay! Atau jangan-jangan mereka gay? Oh, No!
"Aku pikir kamu nggak jadi dateng," ucap laki-laki itu setelah berhasil melepaskan tubuh saudara sepupuku. Ia bahkan sama sekali tidak memandangku yang sedang berdiri di belakang punggung Radit. Apa aku makhluk tak kasat mata, hah?
"Nih, gue ada di depan loe," sahut Radit dengan gaya sok keren. Penyakit lama. "oh, ya. Nih, kenalin adik sepupu gue, Sasta." Radit menarik tubuhku ke depan untuk diperkenalkan pada temannya yang mungkin saja seorang gay.
"Oh." Laki-laki itu langsung mengubah ekspresi wajahnya yang semula girang dan ceria menjadi datar. Bola matanya langsung bergerak menelusuri penampilanku dari atas sampai bawah dan aku bisa menyimpulkan jika ia tidak menyukai fashion yang menempel di tubuhku hari ini. Sehelai kaus putih, cardigan hitam, celana jeans biru tua, rambut kuncir kuda, dan pastinya aku sudah mandi. Juga mencuci rambutku. "Robin," ucap laki-laki itu setelah selesai dengan pengamatannya. Ia mengulurkan tangan kanannya ke depanku.
"Sasta." Aku menerima jabat tangannya dengan mengulas senyum kaku yang dibuat-buat.
"Jadi kamu yang mau kerja di sini?" tanya laki-laki yang bernama Robin itu setelah kami selesai melakukan ritual jabat tangan.
"Ya." Radit menyahut super cepat padahal Robin jelas-jelas sedang bertanya padaku.
Aku melirik Radit kesal. Aku kan belum setuju mau bekerja di tempat itu?
"Boleh," sahut Robin datar. "kalau kamu mau, kamu boleh kerja di sini mulai besok. Jam kerjanya mulai jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Satu bulan pertama nggak ada libur karena masa training dan soal gaji, ntar kita lihat gimana kinerja kamu di sini. Gimana?"
Aku terpaku selama mencerna kalimat per kalimat yang meluncur bebas dari bibir Robin. Aku paham, kok. Tapi, sejak awal aku sudah bilang, kan kalau perasaanku tidak enak saat pertama kali melihat tempat ini. Jadi, hatiku merasa gamang jika harus menyetujui untuk menerima pekerjaan ini.
"Sas." Radit menyikut lenganku pelan hanya untuk menyadarkanku dari kebisuan panjang. "loe kelamaan mikir, tahu nggak? Oh, apa loe kerja aja di perusahaan abang loe itu?" bisik Radit persis di dekat telingaku.
Aku tersentak dan otomatis menganggukkan kepala setelah mendengar Radit menyebut nama Prima. "Ya, gue mau," ucapku cepat dan seperti dikontrol oleh sebuah remote. Sumpah, aku tidak punya pilihan lain detik ini selain menerima pekerjaan apapun yang Robin dan Radit tawarkan. Lagipula aku hanya akan menjalani pekerjaan ini sebulan saja kalau aku tidak betah, bukan?
"Oke. Besok kamu dateng jam 7, ya. Jangan sampai telat," ucap Robin berpesan padaku. Gayanya sudah seperti bosku saja.
Aku mengiyakan saja ucapan laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Deal?" Radit menatap Robin dan aku dengan bergantian. "kalau gitu gue sama Sasta mau balik dulu, deh. Masih banyak kerjaan di barbershop," pamitnya buru-buru. Gayanya sudah seperti orang sibuk sungguhan saja.
"Kok buru-buru? Nggak mau mampir minum jus dulu?" tawar Robin sambil menunjuk ke belakang dengan jari jempolnya. Mungkin di balik pintu belakang minimarket itu ada sebuah ruangan khusus atau semacamnya untuk istirahat karyawan. Entahlah.
Tapi Radit menggelengkan kepalanya dengan gerakan tegas.
"Thanks banget, tapi beneran gue harus balik sekarang. Mungkin lain kali gue bisa mampir lagi," tolak Radit seraya menderaikan sebaris tawa renyah.
"Oke, oke." Robin ikut tertawa. "hati-hati di jalan." Laki-laki itu kembali menjabat tangan Radit dengan gaya sok akrab. Tapi ia sama sekali tidak menjabat tanganku.
Aku mendahului langkah Radit keluar dari minimarket Go Fresh dengan hati mendongkol.
"Kenapa kita nggak mampir dulu sebentar tadi? Gue haus, tahu nggak?" protesku setelah berhasil duduk di atas jok sebelah kemudi.
"Gue nggak!" cengir Radit sengaja ingin mengerjaiku lagi. Seperti biasa.
"Sialan!" makiku sambil melayangkan kepalan tinju ke pundaknya. "beliin gue minum ntar," paksaku kemudian.
"Di barbershop ada air segalon tuh," timpal Radit datar. Laki-laki itu menjalankan mobilnya pelan-pelan keluar dari halaman minimarket Go Fresh.
Fuuhh. Males gue jawabnya.
Aku diam dan tak menyambung perdebatan di antara kami. Lebih baik melihat pemandangan jalan daripada sibuk meladeni si bawel itu.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top