chapter 13
Sudah 1x24 jam dan belum ada kabar dari Radit. Fuuuhh...
"Kamu nggak suka makanannya, Sas?" tegur Mama menyadarkanku yang sejak tadi hanya sibuk mengaduk isi piring, tapi mataku menatap ke arah ponsel yang kutaruh di atas meja makan. Tatapan Mama dan seluruh penghuni meja makan spontan membuatku risih.
"Nunggu telepon?" Suami Mama, maksudku Papa tiriku ikut-ikutan menegur.
Aku mengangguk.
"Dari pacar?" Kali ini Prima menyahut pelan.
Kenapa semua orang begitu peduli pada urusanku?
"Bukan," sahutku cepat lalu berpura-pura menyuapkan ujung senduk ke dalam mulut. "aku nunggu kabar soal kerjaan," imbuhku kemudian. Kalau tidak dijelaskan secara gamblang seperti ini, Mama dan semua orang akan berpikir macam-macam tentangku.
"Kerjaan?"
Aku menoleh pada Mama ketika suaranya terdengar bertanya. "Aku nyari kerja, Ma." Aku agak terbata saat mengucapkan kalimat itu.
"Kenapa kamu nggak kerja di perusahaan Papa aja?" timpal Papa tiriku mengalihkan perhatian.
Tapi, pendidikanku cuma SMU, Om. Eh, bagaimana aku harus memanggilnya? Papa tiri? Bagaimana aku bisa bekerja di perusahaan periklanan kalau pendidikanku kurang memadai? Apa aku harus jadi office girl atau cleaning service? Hadeh!
"Papa bener, tuh." Rani yang sejak tadi terlihat tenang-tenang saja menekuri isi piringnya tiba-tiba ikut menimpal. Padahal kurasa ini bukan urusan adik tiriku itu, karena ia tidak bekerja di perusahaan papanya. Rani bekerja di salah satu perusahaan penerbitan. "Kak Sasta bisa kerja di perusahaan Papa, ya kan, Kak?" Gadis itu melirik ke arah Prima jelas-jelas untuk mencari dukungan.
"Bener." Prima mengangguk dengan gerakan tegas. "aku bisa mengajari kamu nantinya." Laki-laki itu menatapku.
Mengajariku? Maksudnya apa? Kalau Prima benar akan mengajariku, bukankah itu berarti hubungan kami akan semakin dekat dan peluang kami jatuh cinta akan semakin besar, kan? Aku tidak mau seperti itu. Tidak! Aku harus menolak mentah-mentah rencana keluarga ini.
"Atau kamu bantuin Mama aja," sahut Mama membuatku semakin terlihat terpojok dihadapkan pilihan yang sama sekali tidak kuharapkan.
"Nggak," tolakku cepat dengan menyunggingkan senyum kaku. "aku udah nyuruh Radit buat nyariin kerjaan, kok. Paling bentar lagi juga dapet."
Semua terdiam selama beberapa detik dengan tatapan mengarah ke arahku. Mungkin aku kelihatan aneh, ya? Aku seperti sengaja menghindar dari mereka padahal itu memang benar.
"Ya, udah. Tapi ntar kalau kamu nggak dapet kerjaan atau pingin pindah tempat kerja, kamu bilang sama Papa." Laki-laki di samping Mama tak kehilangan akal untuk menawarkan kebaikannya.
Nah, Sas. Bukankah suami Mama sudah berusaha menunjukkan perannya sebagai seorang ayah yang baik? Lalu kamu sendiri, bagaimana kamu menyikapi semua ini?
"Ya," anggukku lirih.
"Emang kamu mau kerja apa?"
Aku menghela napas. Kenapa si Prima masih ingin melanjutkan perbincangan soal pekerjaan di saat aku ingin mengundurkan diri dari meja makan. Aku merasa menjadi sorotan utama di meja makan kali ini.
"Apa aja. Sesuai pendidikanku," jawabku malas. Aku menyuap kembali padahal aku sudah kehilangan selera makan.
"Misalnya?" tanya Prima seolah ingin terus mendesak. "mungkin aku bisa bantu nyari."
Apa harus menjawab pertanyaannya?
"Di restoran atau sejenisnya." Aku menjawab meski dengan nada pelan. Betapa terhinanya harga diriku sekarang di depan keluarga ini. Prima dan Rani adalah orang-orang terpelajar, sedang aku? Apa yang bisa dikerjakan oleh lulusan SMU sepertiku kalau bukan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan remeh.
"Bisa. Aku punya banyak kenalan yang buka restoran, atau kamu pingin kerja di mal?" Prima menyambar begitu saja.
"Jangan di mal, Prim." Papa menyahut cepat. Ia tampak tidak rela jika aku bekerja di mal. "di mal gajinya nggak seberapa. Waktu hari-hari besar juga nggak bisa libur, kan?"
Aku melongo menatap kedua laki-laki itu secara bergantian. Suami Mama sepertinya sangat tahu bagaimana derita orang-orang yang bekerja di mal. Dari mana ia tahu soal itu?
"Papa bener juga." Prima membenarkan.
Kenapa sih, mereka repot-repot banget berdebat soal pekerjaan yang pantas buatku?
Aku melempar ponsel ke atas tempat tidur begitu makan malam usai dan aku kembali ke kamar.
Dasar Radit! Kenapa sampai saat ini ia belum menelepon juga?
Aku terloncat kaget dan buru-buru memungut kembali ponselku dari atas tempat tidur ketika suara intro Baby don't cry terdengar mengalun dengan nyaring.
"Halo." Aku menyapa duluan setelah menggeser ikon berwarna hijau di layar smartphone milikku.
"Sas... "
"Gimana? Udah ada kerjaan buat gue belum?" serbuku memotong perkataan kakak sepupuku itu. Sungguh, dadaku sudah meletup-letup karena tak sabar menunggu kabar dari Radit.
"Udah nggak sabar nih, ye?" Tawa Radit membahana di dalam telingaku dan nyaris membuatku ingin melemparkan ponsel di tanganku kalau saja tidak ingat jika benda itu harganya lumayan mahal.
"Radit!" Tanganku mengepal saking kesalnya. Ia sengaja ingin mengerjai dan membuatku penasaran. Kebangetan, kan?
"Iya, iya. Kenapa, Sas?"
"Udah dapet belum kerjaannya?" tanyaku mencoba bersabar. Aku menjatuhkan pantat di atas tepian tempat tidur dan melipat kedua kaki, bersila senyaman mungkin.
"Ada, sih. Tapi gue nggak yakin kalau loe bakalan suka." Suara Radit terdengar berat dan ragu. Ada helaan napas setelahnya. Sepertinya ia sangat yakin kalau aku akan menolak mentah-mentah tawaran pekerjaan darinya.
"Kerjaan apa emang?" Aku ikut-ikutan tidak bersemangat. Aku sudah kehilangan antusiasme karena mendengar suara ragu Radit.
"Di minimarket sayuran organik."
"Minimarket sayuran organik?" Aku mengulangi kalimat Radit dengan intonasi yang berbeda. Keningku terasa berkerut. "emang ada tempat kayak gitu? Setahu gue minimarket kalau nggak Indomaret ya Alfamart..." Apa gue yang kurang update, ya? batinku sambil memegang kening, menelusuri kerut-kerut yang terbentuk di sana dan belum hilang sampai detik ini.
"Loe tuh nggak gaul banget sih," olok Radit membuatku gemas. Bukannya segera menerangkan soal minimarket sayuran organik, malah meledekku. "emang temen gue baru buka usaha itu setahun belakangan. Tempat itu kayak minimarket biasa, cuma bedanya mereka menjual sayur dan buah organik. Melayani penjualan online dan offline," ulasnya singkat setengah berpromosi.
"Emang nggak ada temen loe yang punya usaha lain, apa?"
"Ada sih, cuma katanya masih belum ada lowongan." Radit memberi jeda beberapa detik sebelum melanjutkan perkataannya. Kedengarannya ia meneguk air minum. "loe coba aja dulu sebulan. Kali aja loe betah, kalau nggak ya nyari yang lain. Katanya loe butuh banget kerjaan? Lagian temen gue itu masih lajang, loh. Siapa tahu kalian jodoh." Radit ngakak setelahnya.
"Gue tuh nyari kerja, bukan nyari suami!" Aku menghardiknya dengan nada tinggi, tapi Radit malah ngakak lebih keras dari sebelumnya. Menyebalkan!
"Sambil nyelam minum air, Sas," celutuk laki-laki usai menuntaskan tawa garingnya. "dia lumayan ganteng, loh. Tapi masih tetep ganteng gue."
"Nggak penting!"
Aku menutup telepon dengan kasar karena tawa si bawel itu meledak kembali dan nyaris memekakkan telingaku. Dasar kepedean!
Satu sms masuk tiga menit kemudian. Dari Radit. Kakak sepupuku itu menyuruhku datang ke barbershopnya besok siang. Itupun kalau aku bersedia menerima pekerjaan yang ia dan temannya tawarkan padaku.
Ugh.
Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan helaan napas panjang. Haruskah aku menerima pekerjaan yang sama sekali tidak menarik itu? Sayuran organik? Aku kan paling tidak suka makan sayur apalagi berkutat dengan benda itu setiap hari.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top