chapter 12

Aku berlari menghambur ke pintu gerbang ketika mobil hitam milik Radit datang dan laki-laki itu membunyikan klakson cukup keras sebanyak dua kali. Padahal ia sudah tahu aku sedang susah payah mengayunkan kedua kakiku ke arahnya, tapi masih saja membunyikan klakson. Norak banget, kan?

Aku membuka pintu gerbang agar mobil Radit bisa masuk tanpa perlu ia turun.

"Gue langsung meluncur ke sini saat loe bilang mau bunuh diri kalau gue nggak cepet dateng. Ada apa, sih?" serbu Radit setelah berhasil turun dari atas jok dan menutup pintu mobilnya. Aku bergegas menariknya menjauh dari teras agar tidak ada satupun anggota keluargaku yang bisa mendengar pembicaraan kami. "kita mau ke mana, nih?" Aku berhasil membuatnya kebingungan.

"Udah, pokoknya ikut aja," paksaku masih menyeret lengannya. Aku baru berhenti dan melepaskan lengan Radit setelah kami tiba di bawah pohon palem yang berjarak satu meter dari pagar.

Radit melenguh dan meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Ada apaan, sih?" tanya Radit kembali. Karena pertanyaannya yang pertama tadi kuabaikan.

"Cariin gue kerja."

"What?!" Laki-laki itu berseru cukup keras seolah apa yang baru saja kukatakan adalah sesuatu yang sangat mengejutkan. Padahal itu hanya sesuatu yang biasa-biasa saja, kenapa reaksinya berlebihan seperti itu?

"Jangan lebay, deh," tukasku cepat. Dan sebuah tepukan kulayangkan ke arah pundaknya.

"Loe minta gue nyari kerjaan buat loe? Nggak salah loe, Sas?" Radit menatapku dengan heran.

"Yup, bener banget." Aku melukis senyum palsu di atas bibir. "loe punya banyak temen yang bisa nampung gue, kan?"

Radit tidak langsung menyahut, malah menghela napas kuat-kuat. Menampilkan ekspresi jengah yang berlebihan. Ia jago berakting dalam hal seperti ini.

"Bukannya loe nggak mau gue cariin kerja?" Radit mencoba mengingatkan aku pada tawaran baiknya yang dengan senang hati sudah kutolak mentah-mentah.

"Yah, waktu itu loe kan nyuruh gue kerja di barbershop loe. Nggak mungkin gue maulah. Bisa-bisa loe nginjek-nginjek harga diri gue di depan karyawan-karyawan loe yang genit itu," ucapku bersungut-sungut. Jika membayangkan hal itu hatiku langsung kesal tanpa bisa ditawar.

Radit tergelak mendengar kalimatku. Ya, mungkin baginya itu terdengar sangat lucu, tapi bagiku adalah sebuah musibah.

"Mana mungkin gue setega itu sama adik sepupu sendiri, sih," kekehnya seolah ingin menjatuhkan harga diriku. Tapi, tangan kanannya mendadak terulur ke atas kepalaku dan ia berhasil mengacak rambutku sedetik kemudian.

Aku melotot dan memasang wajah angker padanya. "Omongan loe mana bisa dipercaya?"

"Kenapa nggak?"

Aku menggeleng kuat-kuat sebagai tanda penolakan yang tegas atas penawarannya. "Gue mau kerja di tempat lain. Kalau bisa secepatnya. Gue butuh banget, Dit." Jurus rengek-merengek mulai kuluncurkan dengan memasang wajah melas di hadapannya. Kali ini ujung kemeja putih Radit jadi sasaran tarikan tanganku. Eh, tumben ia memakai kemeja putih. Pantas saja aku merasa ada yang sedikit berbeda darinya. Harus kuakui Radit lumayan tampan hari ini. Cuma hari ini saja!

"Ya, ntar gue cariin," ucapnya kemudian.

"Yes!"

"Eh, tapi kenapa loe ngebet banget pingin kerja? Loe butuh duit?" tebaknya seraya menyipitkan kedua mata sebagai tanda penasaran. "loe bisa minta sama Mama atau Papa loe, kan?"

Aku menggeleng cepat. "Bukan. Alasannya lebih dari sekedar butuh duit," ujarku sembari memutar bola mata ke atas.

Radit beralih melipat kedua lengannya lalu menyunggingkan senyum tipis penuh misteri. "Alasan apa emang?" Ia meneliti perawakan dan kaus oblong yang kupakai. Memang sih, kausku sudah seperti barang yang dijual di pasar loak, tapi aku menyukainya. "loe tuh anak orang kaya, tapi masih belagu, ngerti nggak? Kayak nggak punya baju bagus aja," oloknya dengan melempar tatapan sinis.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menghalau rasa kesal yang mulai menggerogoti kesabaranku. "Denger, Dit." Aku menarik tangan Radit dan mengajaknya untuk berjongkok. "loe tahu si Prima, kan?" Aku memelankan suara.

Radit mengerutkan kening sesaat lalu mengangguk. "Prima abang loe? Kenapa emangnya?"

"Ceritanya panjang kalau mau diceritain," ucapku seraya melirik ke arah pintu rumah. Aman. Pintu itu masih dalam keadaan tertutup rapat dan belum ada seorangpun yang keluar rumah.

"Ya dibikin singkat, dong," timpal Radit sembari mendorong keningku dengan ujung jari telunjuk kanannya.

"Oke." Aku menarik napas panjang dan mulai menceritakan kejadian siang tadi lengkap dengan percakapannya.

"What?!" Radit berseru lagi seperti biasa. Tapi, kali ini lebih keras dari sebelumnya dan aku telat untuk membungkam mulut si bawel itu. "loe takut Prima jatuh cinta sama loe?" bisik Radit dengan nada meledek. Ia ikut-ikutan melirik ke arah teras rumah beserta pintunya.

Aku mengangguk dengan sangat yakin. Dan gue juga takut jatuh cinta padanya, batinku.

"Sok kecantikan banget sih, loe," olok Radit dengan memamerkan senyum penuh mengejek. "loe itu sama sekali nggak ada cantik-cantiknya atau manis-manisnya, ngerti nggak? Loe itu tomboy, dekil, jarang mandi, jarang keramas, nggak fashionable. Jadi, kalau ada cowok yang mau jatuh cinta sama loe harus mikir seribu satu kali, tahu nggak? Loe masih inget pas kelas dua SD, loe nangis sampai guling-guling di lantai karena pingin punya tas gambar Spiderman yang sama dengan punya gue? Inget nggak loe?"

Plak.

Aku melayangkan sebuah pukulan kecil ke atas kepala Radit dengan gerakan cepat. Mungkin jika jenis kelamin kami sama aku sudah melakukan smack down pada saudara sepupuku itu.

"Nggak usah diingetin juga gue masih inget," geramku kesal. "pokoknya loe cariin aja gue kerjaan supaya gue punya kesibukan dan nggak selalu ada di rumah. Kalau bisa yang seharian full," lanjutku penuh dengan paksaan.

"Ntar gue cariin." Radit menyahut dengan nada datar, sedatar ekspresi wajahnya saat ini.

"Jangan ntar-ntar," tukasku tidak sabar. "kalau bisa secepetnya. Atau kalau bisa besok langsung kerja, oke?"

Radit memelototkan matanya dan siap memuntahkan hardikannya. "Loe tuh minta tolong, tapi main paksa orang seenaknya aja. Emangnya loe pikir nyari kerja itu gampang apa? Kalau loe maksa terus ntar gue malah males nyariin loe kerjaan," cetus Radit sewot.

"Iya, iya. Gitu aja ngambek," ucapku dengan nada lirih. "jangan ngambek dong, Dit." Aku melengkungkan kembali seulas senyum palsu di bibirku dan menarik ujung kemeja Radit.

Radit hanya mendehem ringan dan bersikap sok cuek. Apa ia mau beradu akting denganku?

"Radit! Kapan dateng? Kok nggak diajak masuk, Sas?"

Aish. Mama tiba-tiba muncul dari balik pintu dan berteriak cukup kencang sehingga percakapan kami otomatis terhenti sudah.

"Ya, Ma!" Aku balas berteriak dan melangkah dengan gontai ke arah teras disusul Radit.

"Yuk, makan bareng kami," ajak Mama begitu aku dan Radit menginjakkan kaki di lantai teras.

"Radit udah makan kok, Ma," sambarku secepat mungkin sebelum Radit menjawab terlebih dulu.

"Belum kok, Tante."

Aku meringis karena tangan Radit yang usil sudah berhasil mencubit pinggangku tanpa ampun. Ia sukses membalaskan dendamnya padaku.

"Ya, udah. Yuk, masuk. Kita makan bareng-bareng... "

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top