chapter 11


Aku lumayan terkejut ketika mendapati sebuah colekan mendarat di atas pundak tiba-tiba. Sontak saja aku menghentikan gerakan bibirku yang bersenandung lirih menirukan lagu EXO dan serta merta melepas kedua ujung earphone yang menyumbat sepasang telingaku lalu menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang sudah dengan lancang mengganggu waktu santai siangku.

"Udah baikan?" tegur Prima ketika tatapan mata kami bertemu. Laki-laki itu berdiri di belakang punggungku tanpa kusadari kapan datangnya. Memangnya kapan ia datang?

Aku melenguh pelan. Aku sengaja menyelinap keluar dari kamar karena semua orang sedang pergi untuk bekerja, termasuk Mama yang harus mengecek toko kuenya beberapa jam setiap hari. Aku bisa mati bosan karena terus-terusan mengurung diri di dalam kamar selama tiga hari berturut-turut. Berpura-pura sakit terlalu lama juga bukan keahlianku. Jadi, aku memilih duduk santai di atas kursi kayu panjang yang berada di tepi kolam renang seraya menikmati cuaca siang yang cukup panas.

Aku terperangah ketika mendadak Prima mengulurkan tangannya ke arah keningku. Apa yang akan dia lakukan, Ya Tuhan?

"Udah nggak demam, kok," ucapnya setelah selesai mengukur suhu badanku menggunakan telapak tangannya yang sudah pasti sama sekali tidak akurat. Memangnya ia pikir tangannya seperti termometer? "ngapain?" tanya laki-laki itu dengan mengambil tempat duduk di sebelahku.

"Nyantai aja," sahutku berusaha terlihat cuek. Padahal jantungku mulai berdetak di atas normal ketika jarak di antara kami hanya terpisahkan beberapa inchi saja. Bahkan aku bisa dengan mudah menghirup harum parfum yang dipakai laki-laki itu. "loe kok pulang, sih?" Dan memergoki gue menyelinap keluar kamar di saat semua orang pergi.

"Oh, ini." Prima menunjuk ke jas yang membalut tubuhnya. "tadi ketumpahan kopi, jadi aku pulang untuk ganti."

Kok, kebetulan banget.

"Kamu udah makan?" tanya Prima memecah kebisuanku.

Aku menggeleng. "Belum."

"Kenapa?"

Apa penting memberitahu kenapa aku belum makan?

"Belum lapar." Aku mengalihkan tatapan ke arah kolam renang demi bisa menghindari kontak mata dengan laki-laki itu. Aku bisa kehilangan denyut jantungku jika terus-terusan berada di dekat Prima dan bersitatap dengan kedua matanya.

Dia itu kakak tirimu, Sas. Ingatlah, kamu tidak boleh jatuh cinta padanya. Bahkan sekedar suka saja tetap tidak diperbolehkan!

"Yuk, makan. Aku laper."

Aku tergagap saat tangan Prima tiba-tiba saja menarikku masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu kenapa? Sikapnya terlalu baik dan aku bisa salah sangka padanya. Tolong ingatkan dia, Ya Tuhan...

"Bik, siapin makan siang buat kami, ya!" Setelah mendudukkanku di ruang makan, Prima berseru di depan pintu dapur lalu kembali lagi ke hadapanku. Ia menarik sebuah kursi lalu mendudukinya. "gimana? Kamu udah merasa betah tinggal di sini?"

Aku masih bergeming menatap laki-laki itu bahkan setelah ia duduk persis di hadapanku. Tatapan mata kami beradu dan membuatku tersadar jika ia benar-benar mempesona. Untuk sesaat aku seperti kehilangan kewarasan.

"Nggak juga." Aku berlagak cuek seperti yang biasa kulakukan padanya. Kami sempat berdebat beberapa waktu yang lalu dan aku masih mengingatnya sampai sekarang. Mungkin ia sudah melupakannya.

"Tentu. Kamu seorang yang mandiri, kan?" Ia mendelikkan mata saat meluncurkan sindirannya.

"Lalu kenapa loe bersikap sok akrab sama gue?" Aku balas menyindir. Aku hanya ingin memperingatkan Prima kalau aku bersikap buruk padanya dan ia membalas dengan sebaliknya.

"Karena aku kasihan sama kamu."

Kasihan? Aku mengerutkan kening. "Kenapa mesti kasihan?"

Prima mengedikkan bahu. "Nggak tahu juga. Tapi, aku selalu melihat kesedihan di wajahmu. Entah itu bener atau nggak, cuma kamu yang tahu. Emm... dan juga sepertinya kamu nggak pernah kelihatan tersenyum. Kalaupun tersenyum itu pasti terpaksa atau karena canggung," urai laki-laki itu membuatku terbelalak.

"Loe cenayang?" sindirku sambil melengkungkan senyum sinis. "sok tahu," umpatku sambil memutar bola mata kesal.

"Kamu masih belum bisa nerima keluarga kami?" desak Prima lebih serius dari sebelumnya. "emang nggak gampang nerima orang lain sebagai bagian dari hidup kamu, tapi bukan berarti kamu nggak bisa melakukannya. Kamu harus mencobanya, Sasta." Ia menjulurkan tangan untuk mengusap puncak kepalaku.

Aku terperangah menerima perlakuannya. Sungguh, ia berhasil membuatku risih. Tapi, untung saja pelayan datang membawakan makan siang kami dan menghentikan percakapan yang sangat membosankan buatku.

"Kamu nggak seneng punya kakak?" tanya Prima saat laki-laki itu siap menyuapkan ujung sendok ke dalam mulutnya.

Harusnya begitu kalau kakak tiriku tidak setampan kamu. Aku lebih suka punya kakak tiri yang gendut karena aku tidak akan merasa risih saat berada di dekatnya.

"Gue nggak biasa punya saudara." Aku pura-pura sibuk mengaduk isi piringku lagi-lagi untuk menghindari kontak mata dengannya.

Kudengar Prima tersenyum kecil. "Tapi sekarang harusnya udah mulai terbiasa, dong."

Kenapa sih, Prima sepertinya ngotot banget?

"Nggak juga." Aku mulai menyuap dan memasang wajah cuek. Ini adalah kali pertama aku makan di luar kamar sejak tiba di sini tiga hari yang lalu.

"Ternyata kamu masih keras kepala juga, ya," kekehnya.

Dasar orang aneh. Apa ada bagian dari kalimatku yang terdengar lucu? Tidak ada, kan?

"Apa loe juga akrab banget sama Rani kayak gini?" tanyaku mulai mengorek kehidupan pribadi kakak tiriku.

"Nggak." Ia menggeleng dengan menggumam lirih. "kami nggak terlalu akrab."

"Kenapa?" Aku mulai menyerangnya dengan pertanyaan.

Laki-laki itu mendesah panjang dan meletakkan sendoknya di atas piring padahal makanannya masih tersisa separuh. "Nggak pa pa."

Aku mengulum senyum pahit. Dasar orang aneh. Bagaimana bisa ia tidak akrab dengan adiknya sendiri dan malah mencoba akrab denganku?

"Tapi kenapa ekspresi loe kayak gitu?" delikku tajam. Aku menemukan sesuatu yang janggal pada diri Prima dan sedang berusaha keras ia sembunyikan.

"Kamu mengingatkan aku sama seseorang," ungkap Prima seraya melemparkan tatapan tajam ke arahku. Sorot matanya sedang menelusuri keseluruhan bagian wajahku.

Aku terperangah. Gerakan tanganku berhenti sebelum mengangkat senduk. "Siapa? Pacar loe?" desakku dirundung penasaran.

"Bukan," gelengnya. "dia temen SMU."

"Terus kenapa loe jadi melankolis kayak gitu?" pancingku. "loe menyukainya?"

Dagu Prima mengangguk. "Kasih yang nggak sampai," tandasnya lirih dan nadanya pilu. "dia udah nikah sekarang."

Oh. Aku turut bersimpati akan kisah sedih yang menimpa laki-laki itu. Tapi, jika dipikir-pikir dia mendekatiku karena aku mengingatkannya pada seseorang, apa tidak menutup kemungkinan kalau Prima bisa menyukaiku kelak? Itu kan tidak boleh! Meski aku juga punya perasaan khusus padanya. Hadeh.

"Dia tahu kalau loe menyukainya?" Aku khawatir dengan segala kemungkinan yang baru saja melintas di dalam kepalaku, tapi masih saja melayangkan pertanyaan pada laki-laki itu.

Prima menggeleng. "Nggak. Dia nggak pernah tahu bahkan sampai sekarang."

"Oh." Aku menggumam pelan lalu menyuap kembali. Aku sama sekali tidak tertarik untuk memperpanjang percakapan dengan Prima. Lebih baik menjaga jarak dengannya daripada terjadi apa-apa dengan hati kami. Bisa saja ia menyukaiku, bukan? Dan perasaanku sendiri juga terlalu rapuh apalagi pada laki-laki setampan Prima. Oh, Tuhan... Jauhkan perasaan terlarang kami.

"Kamu udah selesai?" Prima mengerutkan kedua alisnya saat melirik isi piringku yang masih bersisa seperempat bagian.

"Gue udah kenyang. Gue mau balik ke kamar," pamitku buru-buru bangun dari kursi.

"Jangan tidur habis makan!" seru Prima berpesan sebelum aku berhasil menjangkau kenop pintu kamar.

"Ya!"

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top