chapter 10

"Sas."

Aku membuka mata dan menegakkan kepala begitu suara Radit menyapa gendang telingaku. Mataku memindai pemandangan sekitar beberapa detik lamanya.

"Loh, kok kita ke sini?" tolehku pada Radit yang sibuk melepas seatbelt-nya. Aku tertidur selama dalam perjalanan tadi dan ketika membuka mata tahu-tahu mobil Radit sudah terparkir di lantai basement gedung apartemen. Padahal aku tidak menyuruh Radit untuk membawaku pulang ke apartemennya. Aku sedang tidak berselera makan atau ingin meminta makan padanya.

"Kalau gue anter loe pulang, nggak ada yang ngurusin loe ntar. Lagian gue nggak yakin loe bakalan minum obat kalau nggak ada gue, ngerti?" Radit turun dari mobil lalu melangkah ke pintu di sebelah tubuhku. "yuk, turun." Laki-laki itu membuka pintu mobil untukku.

Tahu aja, nih.

Aku turun sesuai perintah Radit. Meskipun ia sering menyerangku dengan olokan-olokan yang menjatuhkan, nyatanya ia bisa menjadi kakak sepupu yang baik dan bisa diandalkan.

"Badan gue lemes, Dit." Aku menggamit lengan Radit dan menyandarkan kepalaku pada pundaknya manja.

"Loe tuh bisa manja juga, ya." Ia malah terkekeh menertawakan kelakuanku.

Setibanya di apartemen Radit, aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Radit yang menyuruhku untuk menempati kamarnya karena merasa kasihan.

"Minum obatnya, Sas." Laki-laki itu datang membawakan sebuah gelas berisi air putih.

Aku melenguh pelan. Aku merasa seperti anak kecil saat Radit mendekatkan mulut gelas ke bibirku setelah mengulurkan tiga butir obat ke atas telapak tanganku. Laki-laki itu juga membantu menata bantal dan juga selimut untukku.

"Gue kangen Reza." Aku menggumam lirih saat kepalaku sudah lekat pada bantal dan Radit sudah selesai membentangkan selembar selimut di atas tubuhku.

"Loe ngigau lagi?" sindir Radit dengan menampilkan wajah datar. Ia berdiri di dekat tempat tidur dan menatapku dengan kesal. "loe masih cinta dia? Ya, ampun, Sas. Cowok kayak gitu juga ngapain diinget? Lupain aja, deh. Tukang selingkuh gitu nggak pantes dikangenin, tahu nggak? Mending loe ngayal setinggi-tingginya ketimbang mikirin Reza," cetus Radit ketus.

Aku hanya mengulum senyum lalu memejamkan mata tanpa menyahut kalimat Radit. Ia benar soal Reza. Hanya aku saja yang terkadang bodoh karena menyinggung soal Reza yang jelas-jelas bukan milikku lagi.

"Sekarang loe tidur aja," suruh Radit sebelum keluar dari kamar. "loe boleh mimpiin Sehun, Suho, Kai, atau siapa aja. Yang penting jangan Reza, oke?"

"Udah pergi sono," usirku sembari menggerakkan tangan sebagai kode agar Radit segera pergi dari kamar.

Aku memejamkan mata kembali. Obat yang beberapa menit lalu kuminum sudah mulai bereaksi pada tubuhku dan mengundang rasa kantuk yang luar biasa ke kedua mataku.

Tidurku sangat lelap dan lumayan lama. Tertidur dibawah pengaruh obat dokter cukup menyenangkan. Aku baru membuka mata ketika hari sudah beranjak sore. Namun, aku sontak terkejut karena di samping tubuhku Mama sedang duduk seraya memperhatikanku.

Aku berusaha bangun dan mencari sosok Radit, namun nihil. Radit tidak sedang berada di dalam ruangan itu. Hanya ada Mama seorang yang ada di sana.

Radit sialan! Bukankah dia sudah janji tidak akan memberitahu Mama soal sakitku?

"Nggak usah bangun, Sayang," cegah Mama cepat. Wanita itu dengan sigap mendorong punggungku agar kembali rebah ke atas tempat tidur.

Aku tak melawan perintah Mama dan kembali pada posisi semula. "Kenapa Mama bisa di sini?" tanyaku bingung.

"Tadi ada panggilan masuk ke hape loe pas loe tidur." Tiba-tiba Radit menyeruak masuk ke dalam kamar dengan membawa sebuah nampan berisi makanan. "gue lihat dari Mama loe, jadi terpaksa gue angkat," jelas Radit dengan nada menyesal. Ia meletakkan nampan bawaannya di atas meja tak jauh dari tempat tidur.

"Ya, Sas." Mama mendukung pernyataan Radit seolah ingin mengatakan kalau kakak sepupuku itu sama sekali tidak bersalah. "kamu sedang sakit dan nggak ngasih tahu Mama. Kenapa?" tanya Mama memojokkanku.

Aku menelan ludah. Pahit. "Maafin aku, Ma. Aku cuma nggak mau ngerepotin Mama." Dan dibilang nggak bisa mengurus diri sendiri, imbuhku dalam hati.

Mama menghela napas dan tidak memperpanjang obrolan. Wanita itu mengambil mangkuk dari atas nampan lalu mengaduk isinya. "Makan, Sayang," suruhnya sembari mengulurkan kepala senduk ke dekat bibirku.

Sungguh, mulutku terasa pahit dan aku tidak berselera makan saat ini. Sama sekali.

"Sasta." Mama menyebut namaku seolah ingin membangunkanku dari kebungkaman.

Baiklah.

Aku membuka mulut meski dengan terpaksa dan mengunyah bubur buatan Radit pelan. Rasanya tetap saja pahit.

"Mama akan membawamu tinggal bersama Mama meski kamu menolak," tandas Mama tegas dan nyaris membuatku menyemburkan bubur yang sedang kukunyah.

Tinggal bersama Mama? Maksudnya?

"Itu lebih baik, Tante." Suara Radit menyahut. Aku menoleh ke arahnya dengan melempar tatapan kesal. Kenapa ia mesti ikut campur dan mendukung Mama? Bukankah seharusnya ia ada di pihakku? Apa ia sudah bosan hidup, hah?

"Tapi, Ma... "

"Sas." Suaraku tertahan ketika Mama berusaha memotong. "Mama mohon, Sayang. Mama nggak akan tega membiarkan kamu sendirian lagi terlebih dalam keadaan seperti ini. Kamu lihat sendiri, kan? Kamu sakit dan nggak ada yang jagain kamu. Mama nggak bisa ngontrol apa saja yang kamu makan sampai-sampai kamu keracunan makanan seperti ini. Jadi tolong, Sas. Mama melakukan ini semua demi kebaikan kamu dan juga Mama," urai Mama panjang.

"Tapi aku bukan anak kecil lagi, Ma... " Aku menatap ke dalam sepasang mata teduh milik Mama. "aku bisa jaga diri... "

"Kalau loe bisa jaga diri, loe nggak akan sakit, Sas." Lagi-lagi Radit menyahut. Kakak sepupuku itu minta dilempar dengan mangkuk rupanya. Aku hanya bisa melotot kepadanya. Mungkin lain kali aku bisa menghajarnya habis-habisan.

"Radit betul, Sayang." Mama menyetujui ucapan Radit. Kupikir mereka berdua sudah bersekongkol sebelum aku bangun. "setelah ini kita akan pulang ke rumah. Biar nanti Mama suruh seseorang untuk mengemasi baju-baju kamu dan Mama nggak suka ditolak, ngerti?" tegas Mama. Tampaknya kali ini ia bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Setelah sekian lama ia mengalah pada pendirianku, akhirnya Mama memutuskan untuk memaksakan kehendaknya juga untuk menyeretku ke rumah suami barunya.

Radit tampak nyengir ketika aku melirik ke arahnya. Tampaknya ia bersukacita atas apa yang menimpa pada diriku. Awas, Dit!



###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top