chapter 08
"Gue boleh mampir ke apartemen loe?" Aku melirik Radit sekilas dan memasang sabuk pengaman pada tubuhku. Laki-laki itu melakukan hal yang sama.
"Tumben." Ia tersenyum sinis. "biasanya juga loe ogah mampir ke tempat gue," sindirnya.
"Gue mau minta makan," jawabku jujur. Mobil yang kami tumpangi mulai melaju meninggalkan area parkir barbershop. "loe bisa masakin gue sesuatu, kan? Pasta misalnya... "
"What?" Radit berseru takjub. Ia sempat tergelak singkat. "loe udah makan seporsi pizza dan sekarang loe minta makan? Beneran loe masih lapar, Sas?"
Aku menghembuskan napas kuat-kuat lewat mulut. Berlagak jengah. Sebenarnya aku tidak menghabiskan seporsi pizza seperti kata Radit. Aku membagi pizza itu dengan ketiga pegawai barbershop dan Radit juga ikut mencicipinya juga, kok.
"Itu kan siang tadi," sahutku dengan gaya cuek. "sekarang udah sore kali, Dit."
Tawa Radit menggema di sekitar telingaku. "Loe tuh kasihan banget, sih." Tangan Radit menjulur mengusap puncak kepalaku.
"Apaan sih," gerutuku seraya menyingkirkan tangan Radit. Aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil yang manja.
Radit hanya mengulum senyum tipis melihat reaksiku. "Eh, kok banyak polisi di depan, ya?" gumam Radit tiba-tiba. Laki-laki itu memperlambat laju kendaraan yang kami tumpangi. "kayaknya ada razia, deh."
Polisi?
"Razia apa?" tanyaku bingung.
"Mana gue tahu." Radit mengedikkan bahu. "razia narkoba mungkin. Atau mereka sedang mencari buronan, penjahat, nggak tahu deh... "
"Buronan? Penjahat?" ulangku mulai panik. Aku merundukkan kepala dengan gerakan refleks begitu mobil Radit kian dekat pada segerombol polisi yang sedang berdiri di depan kami.
"Ada apa, Pak?" tanya Radit pada salah seorang polisi yang paling dekat dengan mobil setelah menurunkan kaca jendela di samping tubuhnya. Ia melongokkan kepala keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Ada kecelakaan, Mas. Silakan lewat pelan-pelan," sahut salah seorang polisi yang bertugas mengatur laju kendaraan yang melintas di jalan itu. Ia memberi isyarat agar Radit melanjutkan laju mobilnya pelan-pelan.
Radit melajukan mobilnya pelan-pelan seperti instruksi polisi tadi dan memang benar ada sebuah mobil yang terlihat menabrak tiang listrik, tapi tampaknya tidak terlalu parah. Hanya bagian depan mobil yang mengalami kerusakan, sementara lainnya masih dalam kondisi baik. Mungkin juga pengemudi malang itu tidak mengalami luka yang cukup parah. Aku tidak tahu.
"Loe kenapa, Sas?" kejut Radit menyadarkan bahwa posisi kepalaku masih merunduk padahal mobil yang kami tumpangi sudah menjauh dari tempat kecelakaan dan polisi-polisi itu.
"Nggak pa pa," sahutku kaku. Aku mengangkat kepala dan memperbaiki posisi duduk menjadi normal seperti semula lalu mendehem untuk mengusir rasa canggung.
"Kenapa kayaknya loe gugup gitu?" desak Radit dengan gaya penasarannya.
"Nggak. Siapa yang gugup?" elakku sembari mencoba tersenyum, tapi hasilnya sangat canggung. "kita udah mau sampai, kan?"
"Loe ada masalah sama polisi? Setahu gue loe nggak punya trauma sama polisi, deh." Radit harus menoleh ke arahku berkali-kali demi bisa memojokkanku. Padahal aku sudah mengalihkan tema pembicaraan kami, tapi ia bersikukuh kembali pada pembahasan semula.
"Nggak ada. Gue mana ada masalah sama polisi," elakku membela diri.
Radit tak langsung menyahut. Laki-laki itu kembali fokus ke depan karena gedung apartemen di mana ia tinggal sudah semakin dekat. Dan aku bersyukur ia tidak menyinggung masalah polisi lagi bahkan sampai kami keluar dari mobil dan menaiki lift menuju ke lantai 10.
Aku menghempaskan tubuh ke atas sofa biru tua di ruang tamu apartemen milik Radit begitu kami tiba. Menganggap tempat itu milikku sendiri. Sedang Radit hanya menggeleng ringan melihat kelakuanku dan melenggang santai ke kamarnya.
Aku menyandarkan kepala dan punggungku senyaman mungkin pada sandaran sofa seraya mengganti chanel televisi lalu berhenti pada salah satu saluran yang menyiarkan acara reality show. Aku melirik sebentar pada Radit yang sedang melangkah keluar dari kamar menuju ke dapur. Ia sudah berganti selembar kaus tanpa lengan berwarna hitam dan celana pendek bermotif army. Laki-laki itu pasti akan memasak sesuatu buatku, batinku senang. Dan aku kembali menekuri acara televisi meski kantuk mulai menggelayuti kedua mataku.
"Sas."
Tangan Radit mengguncang tubuhku perlahan entah berapa menit kemudian. Tapi yang pasti ia membuatku tersentak dari rasa kantuk yang sudah melelapkan kedua mataku.
Aku membuka mata dan mendapati dua porsi pasta sudah tersaji di atas meja plus dua gelas jus strawberry.
"Yuk, makan," tawar Radit. Ia mengambil tempat duduk persis di sebelahku dan mulai melahap pasta bagiannya. "loe nginep di sini aja. Lagian udah malem. Loe bisa tidur di kamar gue, ntar gue biar di sini aja."
Aku menoleh ke arah Radit dan membiarkan helaian pasta menjulur keluar dari mulutku. "Tumben loe baik banget." Keningku sampai berlipat ganda karena terlalu heran melihat reaksi kakak sepupuku.
"Gue tuh kasihan sama loe, lontang lantung nggak jelas. Badan sampai kurus kayak gitu juga," ledek Radit habis-habisan. Tapi dia memasang wajah kesal dan sepasang matanya melotot. "loe masih inget kapan terakhir kali makan nasi, hah?"
Oh. Aku nyaris menyemburkan kunyahan di dalam mulutku ke wajah Radit, tapi untungnya hal itu tidak sampai terjadi.
"Emangnya gue makan apaan kalau nggak makan nasi, heh?" balasku tidak terima. "gue makan nasi kemarin malam di rumah Mama, tahu nggak?"
"Nah, tuh. Apa gue bilang," sahut Radit menyebalkan. "loe tuh nggak bisa ngurus diri sendiri, Sas. Jangan sok-sokan mandiri, deh. Mending loe tinggal sama Mama loe atau loe nikah aja biar ada yang ngurusin loe. Ngerti?"
Aku terbelalak mendengar saran konyol yang baru saja meluncur dari bibir Radit barusan. "Enak aja nyuruh-nyuruh orang nikah. Terus gue nikah ama siapa coba?"
Radit bungkam dan hanya mengedikkan bahu cuek. Ia melanjutkan suapannya. "Loe mau gue kenalin sama temen-temen gue? Kali aja ada yang cocok... "
"No!" Aku menyahut dengan cepat dan tegas. "emangnya gue Siti Nurbaya?" gerutuku sewot. Tapi aku masih terus melahap makananku.
"Eh, gue bilangin, ya. Di zaman apapun perjodohan bakalan tetep ada, tahu nggak? Entah itu dikenalin ama orang tua, saudara, atau temen, namanya juga dijodohin. Dan asal loe tahu, biasanya orang yang mau dijodohin itu adalah orang yang serius mencari pasangan, bukan cuma nyari pacar doang. Ngerti nggak loe?"
Aku tidak tertarik untuk menyambung pembicaraan kami dan lebih memilih menekuri isi piringku sampai tandas tak bersisa. "Biar gue yang nyuci piringnya," tawarku sambil beranjak dari atas sofa. Aku memungut piring bekas Radit juga dan membawanya ke dapur untuk dicuci.
Aku yakin semua wanita di dunia ini menginginkan bertemu belahan jiwanya melalui cara yang normal. Maksudku bertemu dengan cara yang wajar seolah tanpa sengaja, bukan diperkenalkan oleh seseorang yang kita kenal. Melalui proses yang alamiah dan bukan dijodohkan karena sensasi rasanya pasti berbeda.
Radit memang konyol.
Aku mulai membasahi piring kotor bekas kami makan lalu membilasnya dengan sabun dan segera mengenyahkan sisa lamunan dari pikiranku.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top