chapter 07
"Nyari siapa, Bang?"
Aku menghardik seorang tukang ojek online berjaket hijau yang sedang celingak celinguk di depan pintu rumahku. Aku tidak merasa memesan Gojek sepagi ini. Memang aku berencana untuk pergi keluar hari ini, tapi aku belum memutuskan akan menaiki angkutan apa nanti.
"Oh, maaf." Laki-laki berkumis tipis itu membalikkan badan dan langsung meluncurkan sebuah permintaan maaf. "saya lagi nyari rumah Mbak Sasta," ucap tukang Gojek itu seraya melihat layar ponselnya untuk memastikan sebuah nama yang dicarinya.
"Ya, aku Sasta," sahutku dengan menampilkan ekspresi bingung.
"Oh, kebetulan Mbak Sasta. Ini ada kiriman Go-food dari Ibu... Mira." Tukang ojek itu menatap layar ponselnya sekali lagi lalu mengulurkan sebuah kantung kresek putih ke hadapanku.
Mama?
"Makasih, Bang," ucapku pelan sembari menerima pemberian laki-laki itu. Sebuah kotak makanan jelas terlihat mengisi kantung kresek putih itu.
"Kalau gitu saya permisi dulu, Mbak Sasta," pamit laki-laki itu sopan.
Mama mengirimiku makanan sepagi ini?
Aku melempar lembaran koran pagi yang baru saja kubeli di atas meja ruang tengah begitu saja dan melenggang ke dapur. Padahal aku baru saja pulang dari membeli lontong sayur tak jauh dari rumah dan tahu-tahu ada tukang Gojek mengantar makanan dari Mama. Tumben.
Aku sedikit terkejut begitu membuka kantung kresek yang dikirim Mama. Ada ayam bumbu kuning, capcay, dan beberapa buah dadar jagung kesukaanku mengisi kotak makanan itu. Semuanya terlihat menggiurkan, tapi aku memutuskan untuk tetap memprioritaskan lontong sayur yang baru saja kubeli. Toh, makanan yang dikirim Mama bisa kusimpan di kulkas.
Suara intro lagu EXO menghentikan kegiatanku melahap lontong sayur beberapa menit kemudian. Sebuah panggilan masuk ke nomor ponselku. Dari Mama.
"Halo, Ma."
"Halo, Sayang," balas Mama dari ujung telepon. "sedang apa? Kiriman Mama udah dateng?"
"Ya, Ma. Baru aja nyampek."
"Syukurlah," sahut Mama terdengar lega. "kamu bisa masak nasi sendiri kan, Sayang? Soalnya Mama cuma ngirimin kamu lauk."
"Bisa kok, Ma."
"Kamu udah makan?"
"Ini lagi makan," sahutku seraya menyuap setelah tertunda beberapa saat karena harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang meluncur dari Mama.
"Ya, udah. Kamu ada acara hari ini?" Mama bertanya lagi.
"Ya, Ma. Aku mau keluar melamar kerja," sahutku melirihkan suara.
"Ya, udah kalau gitu. Kamu hati-hati kalau keluar dan jangan telat makan, Sas. Mama lihat kamu agak kurusan sekarang... "
Jadi, karena itu Mama mengirim makanan buatku? batinku sambil menggigit ujung sendok.
Aku meletakkan smartphone-ku setelah mengakhiri sambungan telepon dengan Mama. Setidaknya aku berterimakasih karena Mama masih memperhatikanku. Tapi, ini malah mengesankan jika aku tidak bisa mengurus diri sendiri.
Aku pergi ke beberapa tempat siang ini sesuai alamat yang tertera pada kolom lowongan pekerjaan di koran pagi. Untuk lulusan SMU sepertiku tak banyak pilihan pekerjaan yang bisa kuambil. Hanya pelayan restoran, penjaga toko, sebagian kecil tenaga administrasi, dan asisten rumah tangga. Tapi aku tidak tertarik pada opsi yang terakhir.
Mencari pekerjaan selalu menjadi sesuatu yang tidak mudah bagi siapapun. Keluar masuk berbagai tempat yang menyisakan lowongan pekerjaan, mencari-cari alamat, bergelut dengan panas matahari dan debu, kelaparan, kehausan, kaki pegal karena harus berjalan ke sana kemari, dan aku sedang menjalani hal-hal itu sekarang.
"Air mineralnya satu, Pak," ucapku pada seorang penjual minuman yang mangkal di tepi jalan. Aku mengambil tempat duduk di sebuah bangku kayu yang tersedia di sana.
"Dingin, Neng?" balas penjual itu.
"Ya, Pak."
Aku langsung meneguk air mineral dingin dari botol yang baru saja disodorkan bapak penjual minuman. Rasa sejuk dan segar merayap dengan cepat di dalam kerongkongan lalu bermuara pada lambungku. Menghilangkan semua rasa dahaga yang sejak tadi menggerogoti semangatku. Tapi, tak bisa menuntaskan rasa lapar yang mulai melilit perutku. Lontong sayur yang pagi tadi kukonsumsi tidak bisa bertahan cukup lama di dalam lambungku. Aku lapar.
Lalu lintas yang padat merayap di depanku menjadi sebuah objek pemandangan buatku di sela-sela menikmati air minum dan mengundang rasa kantuk ke kedua mataku. Jika aku bertahan di tempat ini beberapa menit lagi sudah bisa dipastikan aku akan tertidur di bangku kayu milik bapak penjual minuman.
Usai membayar aku bergegas angkat kaki dari lapak penjual minuman itu dan meneruskan langkah. Beberapa saat lalu aku tersadar jika wilayah yang sedang kutelusuri sekarang ini tidak begitu jauh dengan barbershop milik Radit dan ke sanalah kakiku melangkah sekarang. Aku sengaja tidak menumpang angkutan umum saat menuju ke tempat Radit karena aku harus berhemat. Uang di sakuku juga mulai menipis.
Barbershop milik Radit berdiri di tepi jalan besar yang lumayan ramai. Ia beruntung karena bisa mendapatkan tempat yang strategis untuk usaha dan aku yakin Radit harus menebusnya dengan cukup mahal. Tapi sepertinya sebanding dengan usahanya yang bisa dibilang menjanjikan. Setiap kali aku ke sana--meski aku tidak terlalu sering bertandang ke barbershop milik Radit--tempat itu selalu dipadati pengunjung. Area parkirnya selalu penuh, begitu juga saat ini. Aku sudah berdiri di depan barbershop milik Radit setelah berjalan kaki tak kurang dari 20 menit. Lima buah motor dan sebuah mobil terlihat menghuni area parkir, serta mobil hitam milik Radit juga berada di sana.
Aku mendorong pintu barbershop pelan dan celingukan mencari sosok Radit. Sofa tunggu dihuni empat orang laki-laki dan mereka serempak menoleh ke arahku saat pintu terbuka. Tatapan mereka aneh dan aku tak ambil pusing. Paling-paling mereka berpikir jika aku pasti salah lokasi karena tempat itu sarang berkumpulnya kaum Adam. Ketiga pegawai Radit yang sedang bekerja ikut-ikutan menoleh ke arahku dan melempar senyum. Mereka sudah terlalu hafal dengan sosokku sehingga tidak akan terkejut melihat kemunculanku di sana.
"Hai, Sasta!" seru Yogi, salah seorang pegawai Radit. Ia melambaikan tangan dan melempar senyum terbaiknya padaku. "apa kabar? Lama nggak kelihatan? Kirain udah merit," kekehnya sambil terus bekerja memangkas rambut seorang pelanggan.
"Kalau udah merit gue nggak akan ke sini, ngerti?" sahutku jutek. Aku memilih duduk di sudut ruangan. Ada sebuah kursi plastik nganggur di sana. "Radit mana?" Aku celingukan kembali dan sejurus kemudian sosok yang kucari akhirnya muncul juga.
"Tuh si Bos!"
Radit langsung menautkan kedua alisnya begitu menemukan tubuhku duduk di kursi plastik miliknya. "Ngapain loe ke sini?" hardiknya seraya melangkah menghampiri tempat dudukku.
"Nyariin loe. Gue laper," jawabku sambil nyengir. Tangan kananku mengelus perut.
"Dasar loe. Di sini bukan restoran, tahu?" balas Radit. Ia mengambil sebuah kursi lain dan duduk di hadapanku. "dari mana loe?" Laki-laki itu meneliti penampilanku dari atas sampai ujung sepatuku yang sudah berlumur debu kering. Aku pasti kacau sekarang. Keringat yang susah payah ku keringkan tadi pasti sudah melunturkan bedak di wajahku. Pakaianku juga terasa lembab dan membuat tubuhku terasa tidak nyaman.
"Dari ngelamar kerja. Gue capek banget, Dit. Tolongin gue," rengekku seraya memasang wajah memelas. Berharap kakak sepupuku itu akan menaruh iba dan membelikanku seporsi makanan enak.
"Ngelamar kerja? Loe? Beneran, Sas?" ulang Radit dengan membelalakkan kedua matanya.
"Ya, kenapa? Nggak percaya?" sahutku kesal.
"Terus diterima?"
Aku menggeleng. "Belum. Gue kan cuma naruh surat lamaran. Ntar kalau gue diterima pasti akan dihubungi, kan?"
"Yah, mana mungkin diterima. Penampilan loe dekil banget kayak gitu," oloknya mengundang tawa dari seluruh penghuni barbershop.
"Resek loe!" Aku menimpuk punggungnya dengan keras.
"Aww... Sakit, Sas. Loe tuh suka banget nyiksa orang," keluh Radit cemberut.
"Gue laper banget, nih. Ada makanan nggak?" alihku berpura-pura tidak mendengar keluhannya.
"Nggak ada."
"Dit... " Aku menarik ujung kaus yang membalut tubuh Radit dengan memasang wajah mengenaskan.
"Gue pesenin pizza aja, ya."
"Oke." Aku mengembangkan senyum bahagia mendengar janji Radit. Meski ia terkadang menyebalkan, tapi Radit gampang luluh juga kalau kena jurus rayuan gombalku. "I will be waiting."
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top