chapter 06

"Ternyata kamu keras kepala juga, ya."

Memang.

Aku hanya melirik wajah Prima yang berhiaskan senyum pahit. Laki-laki itu fokus pada kemudinya sedang aku masih pada posisi semula, bersandar senyaman mungkin di jok. Berpura-pura tuli.

"Oh, ya. Kalau kamu butuh kerjaan, aku bisa bantu... "

"Nggak usah," potongku ketus. Berapa banyak kebaikan yang akan kuterima nantinya jika aku tinggal di rumah mereka dan mendapat pekerjaan lewat perantara Prima? Aku sama sekali tidak mau melibatkan orang lain dalam urusanku. Tapi mereka bukan orang lain, Sas. Mereka keluargamu.

"Kenapa?" Prima menoleh sekilas.

"Nggak pa pa," jawabku acuh. "lagian mana ada kerjaan yang cocok buat lulusan SMU kayak gue." Aku mengalihkan pandangan keluar jendela saat mengucapkan kalimat itu. Agar ia tak mendengar ucapanku dengan jelas.

"Ada." Ia menyahut dengan cepat seperti sengaja ingin mengundang perhatianku dengan cepat. "kamu mau?"

"Nggak." Aku menggeleng saat menoleh padanya. "makasih." Setahuku mereka memiliki perusahaan periklanan dan mana mungkin ada posisi yang pantas untuk lulusan SMU sepertiku di sana. Paling-paling juga jadi petugas kebersihan atau office girl. Dan sayangnya aku sama sekali tidak tertarik dengan salah satu posisi itu.

"Kenapa kamu begitu keras kepala? Udah nggak mau tinggal di rumah kami, ditawarin pekerjaan juga nggak mau. Sebenernya mau kamu apa sih?"

Oh. Sepertinya emosi Prima mulai terpancing.

"Udah, deh. Nggak usah ngurusin gue dan nggak usah ngebahas soal ini, oke?" pintaku dengan sangat. Mungkin terdengar setengah memaksa.

Aku seperti tersengat tawon saat Prima menghentikan mobil mendadak. Untungnya sabuk pengamanku terpasang dengan baik dan mencegah sesuatu yang buruk terjadi padaku.

"Loe mau bunuh gue?!" hardikku kesal setengah mati. Aku melotot tajam pada Prima.

"Kami semua peduli sama kamu, Sas. Tapi kayaknya kamu sama sekali nggak menghargai kami, kamu nyadar nggak?" Laki-laki itu balas menatapku lebih tajam. "berapa umur kamu sekarang? 25 kan? Tapi sikapmu sangat kekanak-kanakan, persis anak kecil. Labil. Harusnya kamu bisa lebih bersikap dewasa. Rani aja bisa bersikap dewasa, kenapa kamu nggak?"

Aku melongo menatap Prima yang baru saja menguraikan hasil penilaian singkatnya tentangku. Dan hasilnya sangat menggelikan!

Kenapa aku dibandingkan dengan Rani? Tentu saja Prima akan membela Rani karena dia adalah adiknya!

"Ya, gue emang labil, egois, kekanak-kanakan, dan sangat nggak dewasa." Kedua tanganku mengepal, tapi aku masih mencoba untuk tidak berteriak di dalam mobilnya. Tanpa menambah volume suaraku pun dia sudah bisa menangkap maksudku dengan sangat jelas. "dan... gue emang nggak pantes jadi adik loe."

Aku melepaskan sabuk pengamanku sejurus kemudian, membuka pintu mobil, dan keluar dengan tergesa. Aku sudah melihat adegan semacam ini dalam film dan baru pertama kali mempraktekkannya.

Dengan kesal aku melangkah menjauh dari mobil seraya terus mengomel dalam hati. Memaki laki-laki itu dengan segala jenis kata-kata terburuk.

"Sasta!"

Tiba-tiba tubuhku berputar 180 derajat dan Prima sudah berada di hadapanku. Tatapan mata kami saling bertumbukan dan aku nyaris menyentuh tubuh Prima yang menguarkan aroma harum maskulin.

Aku limbung selama beberapa detik dan baru tersadar jika tangan laki-laki itu masih mencekal lengan kananku. Jantungku memacu lebih cepat dari biasanya, bahkan aku bisa merasakan hangat tubuh Prima dalam jarak sedekat ini. Reaksi tubuhku sangat berlebihan dan ini tidak normal, Ya Tuhan...

"Kamu nggak bisa seenaknya keluar dari mobil kayak gini," ucapnya membangunkanku dari sensasi aneh yang mulai menjalari peredaran darahku. Aku mengalihkan tatapan ke arah lain, menghindari sorot sepasang matanya yang terus mengarah ke wajahku yang mulai memanas.

Aku mendengus dan mencoba melepaskan cekalan tangan laki-laki itu. "Gue bisa pulang sendiri," ucapku sewot karena tak berhasil menyingkirkan tangannya dari lenganku.

"Aku tahu," sambungnya cepat. "kamu terbiasa mandiri, melakukan apa-apa sendiri, nggak butuh orang lain. Tapi singkirin keras kepala dan egois dari otak kamu, ngerti?"

Aku terperangah ketika Prima mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. Membuat otakku semakin tak bisa mengendalikan detak jantung, peredaran darah, metabolisme tubuh, dan napasku serasa tercekik. Karena Prima!

"Yuk, aku anter pulang."

Di saat aku bimbang dengan pikiranku sendiri, Prima menyeretku untuk segera masuk kembali ke dalam mobil dan mengakhiri perdebatan singkat kami di pinggir jalan yang lumayan sepi karena waktu sudah lewat jam 10 malam.

Aku tak berkutik melawan kehendak laki-laki itu dan kembali ke tempat dudukku semula tanpa kata. Aku memilih bungkam sembari bertanya-tanya dalam hati. Bukan soal pertengkaran kami tadi, tapi tentang perasaan aneh yang kurasakan saat tubuh Prima begitu dekat denganku. Aku tahu reaksi tubuhku sangat berlebihan tadi dan hal itu tidak pernah kualami sebelumnya. Bahkan pada Reza sekalipun. Atau Radit. Jelas saja tubuhku tidak bereaksi pada Radit karena dia adalah kakak sepupuku dan aku mengenalnya sejak lahir. Kami jarang sekali akur dan lebih suka berbagi olok-olokan.

"Kamu nggak mau turun?"

Aku menoleh ke sekeliling dan tersadar jika kami sudah sampai di depan rumah. Lalu sialnya aku masih bergeming di atas jok tanpa menyadari kewajibanku untuk segera turun dari mobil Prima.

"Cepet istirahat," pesan Prima ketika aku membuka pintu mobil. Aku mendelik tajam ke arahnya. Lucu sekali, batinku. Laki-laki itu tiba-tiba menjadi perhatian padaku setelah mengataiku kekanakan.

Aku mendehem dengan sengaja dan membanting pintu mobil Prima keras-keras. Aku berjalan ke arah rumah dengan langkah-langkah lebar. Menjauh dari Prima secepatnya akan membuatku jauh lebih baik.

Setelah menyalakan lampu ruang tengah, aku menjatuhkan diri di atas sofa dan segera menyambar remote televisi. Aku memilih sebuah tayangan drama misteri secara acak lalu berbaring dengan menumpukan kepalaku pada bantal sofa.

Aku tertidur tak lama kemudian...

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top