chapter 05

"Kamu nggak mau menginap di sini?"

Aku menelan makananku dengan pelan. Takut tersedak akibat pertanyaan Mama yang terdengar seperti sedang menyudutkan posisiku di meja makan. Karena semua mata sedang menatap ke arahku sekarang.

"Ya, Kak. Sekali-sekali nginep di sini kan nggak pa pa." Rani, adik tiriku yang berusia 23 tahun, ikut nimbrung dan melempar seulas senyum ke arahku. Tampaknya ia sudah menjadi pendukung Mama. Aku tidak tahu pasti seberapa dekat hubungan mereka sekarang.

Bagus. Aku benar-benar terpojok sekarang. Mau mengajukan dalihpun rasanya tidak mungkin dan pasti akan terlihat dibuat-buat.

"Akan lebih baik lagi kalau Sasta ikut tinggal bersama kita."

Kali ini aku mengalihkan pandangan ke arah suami Mama dan menatapnya dengan tak percaya. Apa yang baru saja ia katakan? Jadi, semua orang itu sudah menjalin sebuah ikatan keluarga dan hanya aku seorang yang belum melakukannya? Betapa canggungnya diriku di depan mereka. Aku yang selalu menghindar dan menjaga jarak dengan mereka, sementara mereka bersikap sangat baik dan berusaha mendekat ke arahku. Itu sama sekali tidak adil, bukan?

Lalu bagaimana dengan waktu yang selalu kuminta untuk bisa menerima semuanya?

"Maaf." Aku menatap satu per satu penghuni meja makan. Dengan rasa bersalah, aku harus mengatakan permintaan maafku. "mungkin lain kali aku akan menginap, tapi nggak hari ini." Aku tidak sadar jika bisa berkata begitu sopan dan pelan di depan mereka. Dan sepasang mata Prima menatapku dengan tajam. Sore tadi ia mendengarku bicara gue dan sekarang kata itu tergantikan oleh aku. Sebenarnya bagaimana diriku yang sebenarnya?

Aku terus menunduk menekuri makananku dan menjawab pertanyaan mereka ala kadarnya saat mereka bertanya sesuatu. Mencoba mengusir rasa canggung meski sulit dan aku sedang berusaha mengupayakannya.

"Jangan pulang dulu, Sas." Mama menghampiriku usai acara makan malam. Wanita itu mencengkeram pundakku. "ada sesuatu yang pingin Mama omongin sama kamu."

Aku tak bisa menolak ketika Mama menyeret lenganku ke teras samping rumah. Ada sepasang sofa yang menghuni teras dan menghadap ke arah kolam renang. Kami memutuskan untuk duduk di sana.

Kolam renang yang terlihat tenang dan hanya diterangi lampu taman, menjadi satu-satunya objek tumpuan tatapan mata aku dan Mama. Kami saling terdiam dan sesekali mendesah pelan selama beberapa menit lamanya. Tidak ada yang ingin kutanyakan pada Mama dan aku hanya menunggunya bicara. Sementara Mama mungkin sedang menyusun pertanyaan yang akan ia ajukan padaku.

"Bagaimana kabar Reza?" Mama menoleh setelah membisu beberapa menit lamanya.

Aku menelan ludah. Mama pasti sudah melihat berita infotainment di televisi dan pertanyaan itu hanyalah sebuah kalimat halus untuk memancing pengakuanku soal Reza.

"Kami sudah putus." Aku tidak ingin berbasa-basi. Lagipula siapapun pasti akan lebih memilih Yolanda ketimbang aku yang tidak cantik dan bukan siapa-siapa di muka bumi ini.

"Kapan?" desak Mama. Ia tidak terlihat terkejut sama sekali mendengar pengakuanku.

"Dua bulan yang lalu." Dan harusnya aku mengatakan hal itu sejak awal, bukan?

Mama menyentuh punggung tanganku. "Kamu nggak pa pa, kan?"

Aku mencoba mengukir sebuah senyum yang menggambarkan kalau hati dan jiwaku sedang baik-baik saja. Meski kenyataannya aku baru saja hancur dan sedang dalam berada dalam tahap menata hidup. Aku dalam proses yang mereka sebut sebagai move on.

"Lalu kenapa nggak bilang sama Mama kalau kamu udah berhenti kerja?" desak Mama mengalihkan topik tiba-tiba. "kamu bahkan nggak memakai kartu kredit yang Mama kasih sama kamu. Kenapa, Sas?"

Aku terpojok oleh pertanyaan dan tatapan angker yang dilancarkan Mama padaku. Pertama soal putusnya hubunganku dengan Reza lalu soal pekerjaan. Dan aku sama sekali tidak ingin memberitahunya tentang masalah pribadi pada Mama.

"Mama seperti nggak mengenali kamu lagi, Sas."

Kalimat Mama menyentak kebisuanku. Wanita itu berhasil membuatku dalam posisi yang benar-benar tidak nyaman. Ini lebih dari sekadar terpojok. Ini mengenaskan!

"Sasta." Mama menyentuh permukaan pipiku yang mulai memanas. Selembar kabut tipis tiba-tiba menghalangi pandanganku ke wajah Mama. Jangan sekarang, Sasta.

Aku mengerjapkan mata dan mengulas senyum meski teramat sulit kulakukan. "Maafin aku, Ma." Aku tertunduk setelahnya. Aku hanya tidak ingin membagi masalahku pada siapapun, tak terkecuali Mama.

"Mama selalu ada buat kamu, Sas." Mama mengangkat daguku. "tinggallah bersama kami, Sayang. Agar Mama bisa jagain kamu, biar kita bisa sama-sama seperti dulu lagi. Ya?"

Aku bergeming menatap sepasang bola mata milik Mama. Tempat itu masih seteduh dulu. Juga penuh dengan ketulusan. Tak ada yang berubah darinya. Sama sekali.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menggeleng pelan. "Aku harus pulang sekarang, Ma." Aku bangkit dari atas sofa dengan gerakan tiba-tiba. Seperti ada kekuatan yang mendorongku agar segera menjauh dari Mama. Dan dari rumah itu. Tempatku bukan di sana, tapi di rumahku sendiri.

Mama ikut berdiri meski sempat terlihat kaget. Wanita itu mencekal lenganku tepat di saat aku berpikir akan memulai langkah. "Mama mencintainya," ungkap Mama membuatku tercekat. "maksud Mama laki-laki yang Mama nikahi. Dia baik dan mau menerima Mama apa adanya. Dia berhasil meyakinkan Mama untuk menikah dengannya. Dan kamu harus tahu, Mama menikah dengannya bukan semata-mata karena harta, tapi cinta," imbuhnya lagi.

Sungguh, itu bukan urusanku. Itu murni urusan Mama dan aku tidak berhak ikut campur di dalamnya.

"Aku nggak pernah menentang pernikahan Mama. Hanya saja... " Aku menelan ludah. Kalimatku seperti mengganjal di tenggorokan dan teramat sulit untuk dikeluarkan. "aku butuh waktu, Ma."

Mama mendesah berat. Ia pasti sudah berkali-kali mencoba untuk memahami sikapku sepanjang setahun belakangan. "Mama mengerti," ujarnya.

"Aku pamit dulu, Ma."

"Biar Prima yang nganterin kamu pulang." Tanpa sempat kucegah, Mama sudah beranjak ke dalam rumah dan samar-samar aku mendengar suaranya memanggil Prima. Tak lama kemudian wanita itu muncul dengan sosok Prima di belakangnya.

Prima sudah terlanjur bersiap untuk mengantarku pulang dan aku tak punya kesempatan untuk menolak.

"Jaga diri kamu, Sayang."

Aku membiarkan kedua pipiku dicium Mama sebelum pulang ke rumah lama kami, tempat di mana aku merasa nyaman dan di sanalah seharusnya aku tinggal.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top