chapter 04
Laki-laki itu datang ketika aku sedang tiduran di atas sofa, menerawangkan kegelisahanku pada langit-langit ruang tengah, seraya mengabaikan acara televisi yang sedang menyiarkan sebuah acara reality show. Ia berdiri di depan pintu dan menatapku lama. Meneliti perawakanku seperti mengamati seekor serangga langka yang baru saja ia tangkap di pedalaman hutan Amazone.
Nama laki-laki itu Prima. Ia adalah kakak tiriku, putra pertama dari suami baru Mama. Usianya dua tahun lebih tua dariku. Tubuhnya tinggi menjulang seperti tiang listrik dan puncak kepalaku hanya sebatas pundaknya. Bisa dibayangkan aku tampak sangat pendek jika harus berdiri di sebelahnya, bukan?
Prima tampan. Ia memiliki kharisma yang luar biasa menarik, terlebih lagi penampilannya selalu terlihat elegan. Tubuh atletisnya dibalut sebuah setelan jas mahal berwarna hitam dan itu membuatnya mirip seperti CEO muda dalam drama Korea. Jika ia bukan kakak tiriku, mungkin aku akan mengejar cintanya mati-matian. Sayangnya pengandaian itu tidak ada. Prima tetaplah kakak tiriku.
Aku masih bengong di ambang pintu dan belum menyuruh Prima masuk. Kupikir Mama membatalkan niatnya untuk mengirim seseorang guna menjemputku, tapi kenapa ia malah menyuruh kakak tiriku ke sini? Kenapa bukan orang lain saja? Lagipula aku sudah mengatakan dengan jelas kalau aku akan ke sana sendiri, bukan? Apa Mama sudah tahu kalau aku baru saja mengarang sebuah ide untuk membatalkan janjiku untuk datang makan malam, jadi ia menyuruh Prima untuk menjemputku? Padahal ini masih jam empat sore, loh.
"Belum siap?" sentak Prima setelah selesai memindai perawakanku. Rambut berantakan dan belum dicuci selama tiga hari, kaus oblong putih kedodoran yang melekat di tubuhku dan hampir menenggelamkan celana pendek denim yang kupakai, dan ia pasti menikmati pemandangan konyol yang ada pada adik tirinya ini. Dan satu lagi, seharian ini aku belum mandi. Parah, kan? Semoga ia tidak mencium sesuatu yang tidak menyenangkan dari tubuhku.
"Kenapa ke sini?" tanyaku persis seperti orang tolol. Jelas dia ke sini karena ingin menjemputku, tapi aku malah memberondongnya dengan pertanyaan tidak berkualitas semacam itu. "gue udah bilang sama Mama kalau gue bisa pergi ke sana sendiri," imbuhku memberi info.
"Mama takut kamu nggak dateng," ungkapnya seperti perkiraanku.
Mama?
Aku menatap wajah laki-laki itu yang seolah tanpa riak. Bahkan ia dengan entengnya menyebut kata Mama seolah memanggil mamanya sendiri. Padahal aku masih belum bisa memanggil papanya dengan sebutan Papa.
Aku menggigit bibir bawahku. "Masuk dulu, deh," suruhku karena kehilangan akal. Aku menyuruhnya untuk duduk di sofa ruang tengah karena hanya tempat itu yang paling nyaman di rumah ini. Televisi juga masih menyala dan ada sekotak cemilan di atas meja.
Aku pura-pura bersikap cuek ketika Prima menerobos masuk dan mulai meneliti ke sekeliling ruangan sementara aku beringsut ke dapur. "Sorry, gue nggak punya kopi. Mau cokelat panas?" tawarku berbasa-basi. Tapi, aku akan lebih bersyukur jika ia menolak tawaranku.
"Boleh."
Aku mendengus pelan dan mulai menjerang air dalam sebuah panci kecil.
"Nggak takut tinggal sendiri?"
Astaga! Ketika aku memutar tubuh, laki-laki itu sudah berdiri di depanku dan mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur yang lumayan berantakan. Tempat sampah di bawah meja dapur yang dipenuhi dengan kemasan mie instant dan bungkus minuman belum sempat kukosongkan. Beberapa buah gelas kotor juga tampak menggunung di wastafel. Apa pendapatnya tentang semua ini?
"Udah resiko," jawabku sambil mengedikkan bahu. Lagi-lagi berpura-pura cuek dengan benda-benda di sekitarku yang tidak terletak di tempat yang semestinya.
"Kamu nggak kerja?" Prima beralih menyandarkan punggungnya pada dinding tak jauh dari rak piring. Ia bersidekap dan mengawasi gerak-gerikku.
Kalau aku menjawab jujur, pasti jawabanku akan sampai ke telinga Mama. Tapi, kalau aku berbohong pasti akan ketahuan juga.
"Gue udah resign." Aku memilih menjawab sejujurnya karena itu tak beresiko. "sebulan lalu," tambahku lebih jelas.
"Kenapa?"
Aku menyembunyikan seulas senyum pahit dari tatapan Prima. Ia pasti akan mengajukan pertanyaan selanjutnya dan selanjutnya.
"Beneran mau tahu?" Aku mematikan kompor dan mendelikkan mata ke arahnya. "gue sering diomeli sama manager restoran. Jelas?"
Laki-laki itu terbahak cukup keras mendengar ucapanku. Reaksinya persis dengan Radit. Ternyata Prima orang yang cukup menyebalkan juga.
Aku pura-pura tak mendengar tawanya yang kian mereda dan menuang air panas ke dalam gelas yang sudah kuberi bubuk cokelat instan.
"Kenapa kamu nggak mau tinggal bersama kami?"
Langkahku tertahan ketika akan menuju ke kamar mandi. Aku menoleh dan mendapati Prima sudah duduk di atas sofa dan melayangkan tatapan ke arah televisi.
Jika Mama yang mengajukan pertanyaan itu aku akan memakluminya, tapi ini Prima. Ya, Tuhan...
"Gue mau mandi dulu," ucapku bermaksud menghindari pertanyaannya.
"Kami semua sudah menerima Mamamu sebagai bagian dari keluarga. Cuma kamu yang... "
"Gue tahu," ucapku cepat. Sengaja memotong perkataan Prima. "tapi gue butuh waktu. Gue mau mandi dulu." Tanpa menunggu balasan dari bibir Prima, aku kembali pada tujuan awal, pergi ke kamar mandi.
Aku membanting pintu kamar mandi lumayan keras dan bersandar di sana beberapa saat.
Sekali lagi aku butuh waktu. Kenapa mereka tidak memberiku kesempatan sedikit lagi?
"Jangan lama-lama, Sas. Jalanan macet jam segini!"
Ugh.
Sialan. Aku baru masuk kamar mandi dua detik yang lalu dan ia sudah berkoar menyuruhku jangan berlama-lama di dalam kamar mandi. Bahkan aku belum melepaskan pakaianku sama sekali.
"Apa gue nggak usah mandi aja?" Aku membuka pintu kamar mandi dan melongokkan kepala ke arah ruang tengah dengan wajah kesal.
"Terserah."
Dobel sialan! Aku membanting pintu kamar mandi sekali lagi demi mendengar sahutan dari bibir Prima. Menyebalkan!
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top