chapter 02
Langit di atas rumahku diliputi segumpal awan hitam ketika aku tiba dan menemukan sebuah mobil berwarna hitam milik Radit terparkir di halaman. Aku mengernyit heran menatap kakak sepupuku itu berdiri bersandar pada badan mobil dan menunduk menekuri ponsel di tangannya. Laki-laki itu mengangkat wajah begitu mendengar suara gesekan sandal jepitku dengan tanah.
Radit menautkan kedua alis tebalnya dan meneliti perawakanku seperti sedang melihat alien yang tersesat. Setelah puas menatap wajah dan pakaian yang kukenakan, ia beralih ke arah tas kresek berlogo Indomaret yang menggantung di tangan kananku dan isinya lumayan penuh.
"Belanja?" tegurnya datar.
Aku mengangguk tanpa kalimat. Rasanya sudah lama aku tidak melihat sosok Radit beberapa waktu belakangan, tapi tak ada yang berubah dari penampilan fisiknya. Ia masih sok keren seperti biasa.
"Ngapain loe ke sini?" balasku seraya melangkah mendekat. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir ia bertandang ke rumahku.
Radit menyimpan smartphone miliknya di saku celana jeans dan menatapku. "Kenapa? Loe nggak suka?" cecarnya tersinggung.
Aku mengedikkan bahu dan mengabaikan pertanyaannya. "Yuk, bantuin gue ngangkat jemuran," ajakku dengan melempar kode lewat gerakan ujung dagu.
Radit mendengus cukup keras di belakang tubuhku, namun laki-laki itu tetap menyusul langkahku ke belakang rumah untuk mengangkat jemuran sebelum air hujan mulai berjatuhan. Jemuranku cukup banyak hari ini dan bantuan Radit benar-benar membuatku lega. Sebagai imbalannya aku membuatkannya secangkir cokelat instan yang baru saja kubeli dari minimarket. Aku selalu membeli minuman cokelat instan sebagai persediaan di saat-saat darurat. Misalnya saat suasana hatiku menurun secara drastis atau seperti sekarang, ada tamu yang tidak diundang muncul tiba-tiba di rumah.
"Nggak kerja?" Radit menghempaskan tubuhnya ke atas sofa setelah terlebih dulu menyalakan pesawat televisi dan mencari siaran pertandingan sepak bola.
"Gue nganggur sebulan ini," jawabku santai setelah meletakkan cangkir cokelat di atas meja. Aku duduk bersila di sebelahnya dan ikut-ikutan mengalihkan tatapan ke arah televisi meski siaran sepak bola sama sekali tidak menarik perhatianku.
"What?!" Radit setengah memekik dan tatapannya mengarah padaku sepenuhnya. Heran. "loe nganggur sebulan dan diem aja, nggak ngabarin gue?" tanya Radit mengajukan protes.
Aku melongo melihat ekspresinya yang menurutku sangat berlebihan. "Kenapa gue mesti ngabarin loe?" tanyaku berlagak cuek.
Radit melengkungkan senyum sinis. "Ya, sih. Nggak ada gunanya ngabarin gue. Nggak kerjapun masih ada kartu kredit milik Mama loe, kan?" sindirnya pedas.
"Apaan sih, loe?" Aku berhasil meninju pundaknya dengan sekuat tenaga. Tapi, pukulanku sama sekali tidak membuatnya bereaksi. Malah tanganku yang harus merasakan sakit akibat bersinggungan dengan pundaknya yang teramat keras. "selama ini gue hidup dari tabungan gue, ngerti nggak?" tegasku kesal.
"Terus kartu kredit dari Mama loe dikemanain? Dianggurin gitu aja?" Laki-laki itu mendesakku. Mungkin ia pikir aku tukang bohong.
"Ya," anggukku malas. Memang aku memegang kartu kredit milik Mama, tapi aku bersumpah belum pernah sekalipun memakainya. Aku hidup mengandalkan uang tabunganku yang mulai menipis termasuk untuk membayar imbalan laki-laki yang meneleponku tadi pagi.
"Kalau gitu biar gue yang pegang," ucap Radit sambil mengulurkan tangan ke saku celanaku bermaksud merampas dompet yang bersarang di dalamnya. Namun aku segera menepisnya dengan gerakan secepat kilat.
"Enak aja!" bentakku sewot. "emangnya barbershop loe udah bangkrut, hah? Main palak orang seenaknya aja."
"Amit-amit, deh. Doa loe tuh, jelek banget, tahu nggak?" Radit membungkam mulutku dengan telapak tangannya yang lebar.
Aku buru-buru menyingkirkan tangan Radit dari mulutku dan memasang wajah seram. Dari dulu kami selalu berantem saat ketemu. Karena itulah aku lebih memilih tidak satu sekolah dengan Radit saat SMP dan SMU agar kami tidak terlalu sering ketemu.
"Loe agak kurusan, ya." Radit meletakkan cangkirnya di tempat semula usai menyesap isinya sedikit. Ia menoleh sekilas dan itu saja sudah cukup membuatku tersinggung.
"Gue diet," jawabku ngawur. Aku pura-pura tidak peduli dengan penilaiannya saat menatapku dengan pandangan menginterogasinya.
"Beneran loe udah putus dari Reza?" desaknya sedetik kemudian.
Aku mendesah pelan. Mau ditutupi seperti apapun, berita itu pasti akan sampai juga di telinga Radit, Mama, dan semua orang yang mengenalku. Terus apa hubungannya tubuhku yang kurus dengan Reza?
"Sas." Radit mengubah posisi duduknya sehingga berhadapan denganku. "gue udah lihat di infotainment kalau Reza pacaran sama Yolanda, pemain ftv itu. Dan loe tahu, apa alasan gue nyamperin loe ke sini padahal gue sibuk banget?" Tatapan matanya mengarah tepat ke wajahku.
Aku memutar bola mata ke atas, memasang wajah kesal. Aku tahu dia sibuk dengan barbershop sialan itu, tapi apa perlu disebutkan sejelas itu? Nggak penting!
"Apa?" tanyaku malas. Aku menatap layar televisi demi menghindari tatapan mata Radit yang berubah jadi horor.
"Reza dipukulin orang semalam," ujarnya dibuat serius. "dan gue lihat di tivi dia melaporkan kejadian itu ke polisi. Dan loe tahu kenapa berita itu masuk infotainment? Karena dia bareng Yolanda waktu dateng ke kantor polisi," beritahunya dengan menggebu-gebu.
Aku tak bereaksi terkejut atau tertarik dengan kabar itu. Pacaran dengan seorang artis otomatis akan menyeret Reza masuk ke dalam berita infotainment, kan?
"Lalu apa hubungannya sama gue?" tanyaku datar. "gue udah bukan pacar Reza lagi, kan?"
"Emang nggak ada. Tapi, loe harus tahu berita ini."
Aku mendesah dan mengalihkan kembali pandanganku ke arah televisi. Bersyukur Radit tidak menaruh curiga padaku soal pemukulan Reza.
"By the way, kenapa loe keluar dari kerjaan loe?" Radit berganti topik pembicaraan. "kalau loe mau gue bisa call temen-temen gue buat nyariin loe kerjaan."
"Loe tahu sendiri kan, kerja di restoran itu capeknya minta ampun. Gue nggak sanggup, Dit. Lagian manager restoran itu suka ngomelin gue," keluhku dengan wajah bersungut-sungut. Bekerja di restoran cepat saji sungguh melelahkan dan itu bukan impianku sejak dulu. Jadi, aku memutuskan berhenti sebelum tulang belulangku remuk.
Radit menderaikan tawa renyah ke sekeliling ruang tengah padahal tidak ada yang lucu dari kalimatku.
"Kalau gitu loe kerja aja di barbershop gue. Jadi cleaning service," tawarnya masih dengan sisa tawa.
"Ogah banget," tolakku dengan mengerucutkan bibir. Aku tidak bisa membayangkan jika Radit akan menginjak-injak harga diriku habis-habisan di depan ketiga pegawainya. Itu pasti sangat memalukan.
Radit memang lebih beruntung ketimbang diriku. Ia dilahirkan di keluarga yang kemampuan ekonominya cukup tinggi, tak sepertiku yang pas-pasan.
"Mama loe nggak pernah ke sini?" Laki-laki itu mulai mengorek kehidupanku setelah berhasil menyingkirkan sisa tawa dari wajahnya.
Aku menggeleng lemah. Tadi aku sempat berpikir jika Radit disuruh Mama untuk memantau kondisiku karena barber shop dan rumah hanya berjarak 20 menit perjalanan. Sedang rumah Mama lumayan jauh dari sini.
"Kenapa sih, loe nggak ikut Mama loe aja, Sas? Kan enak. Loe nggak usah capek-capek hidup kayak gini... "
"Dit." Terus terang aku tersinggung dan benci dengan pembahasan ini. Radit dan semua orang yang kukenal sudah tahu jika aku tidak mau tinggal di rumah suami baru Mama. "bisa nggak, kita nggak ngomongin masalah ini?"
"Oke, oke." Ia menyahut dengan cepat sebelum aku bertambah kesal. "gue tahu banget kalau loe marah jelek banget," oloknya dengan mencibir.
"Sialan loe!" Aku memukul pundaknya kembali dengan sekuat tenaga. "kapan sih, loe nggak ngajak gue berantem, hah?"
Radit terbahak dengan keras dan tampak sekali jika ia sangat puas sudah membuatku kesal hari ini. Suasana hatiku yang semula baik-baik saja mendadak menurun karena Radit. Huft.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top