chapter 01
"Bos."
Telinga kananku dapat menangkap dengan jelas suara parau di ujung sana. Suara laki-laki. Dia terang-terangan memanggilku bos tanpa rasa sungkan sedikitpun.
"Ya?" sahutku malas. Kepalaku masih lekat dengan sarung bantal yang sedikit berbau keringat karena sudah dua minggu tidak tersentuh air plus deterjen. Kedua mataku juga kembali terpejam setelah menempelkan permukaan smartphone ke telinga kanan. Bagiku masih terlalu pagi untuk meninggalkan tempat tidur meski dari balik celah-celah ventilasi udara yang terpasang pada dinding, matahari yang mulai merangkak perlahan bisa mengintip ke dalam kamar. "ada apa?"
"Kerjaan udah kelar, nih. Tolong cepet ditransfer bayarannya, Bos." Sekali lagi suara laki-laki itu memanggilku dengan sebutan yang sama.
Demi mendengar berita yang baru saja disampaikannya, aku langsung membuka mata dan terduduk seolah rasa kantuk yang sempat bergelayut di mataku menguap entah ke mana.
"Yang bener?" tanyaku ingin memastikan. "loe nggak ngapa-ngapain dia, kan?"
"Nggak. Bos tenang aja, dia nggak pa pa. Cuma bonyok dikit. Paling-paling dua hari juga sembuh," sahut suara laki-laki di ujung telepon. Nada suaranya terdengar sangat percaya diri dan sepertinya ia memang bisa diandalkan untuk pekerjaan yang kuberikan padanya.
Aku menghembuskan napas lega. "Oke. Loe kirim nomor rekening loe ke hape gue, ntar siang gue transfer sesuai perjanjian. Gimana?"
"Oke, Bos."
Laki-laki itu menutup sambungan telepon setelah berdecak dengan senang hati karena aku berjanji akan mengirimkan sejumlah uang ke dalam rekeningnya siang nanti sesuai dengan kesepakatan kami.
Huft.
Aku menatap ke arah jendela yang masih tertutup selembar tirai untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghempaskan kepalaku ke atas bantal, bermaksud melanjutkan pelayaranku ke dunia mimpi. Tapi, itu tidak semudah yang kupikirkan sebelumnya. Memang sih, kedua mataku terpejam erat, tapi pikiranku malah mengembara ke mana-mana dan menguapkan rasa kantuk yang tadi bergelayut di sana.
Aku memutuskan untuk membuka mata dan turun dari atas tempat tidur. Keranjang yang menghuni sudut kamar tidurku dan dipenuhi dengan pakaian kotor menguarkan sedikit bau tidak sedap ke segenap penjuru ruangan. Kurasa aku akan melakukan sedikit kesibukan hari ini, pikirku sejurus kemudian sembari mengangkat keranjang pakaian kotor itu keluar kamar.
Tinggal di rumah sendiri bukannya membuatku semakin rajin malah membuatku malas minta ampun. Pakaian kotor yang menumpuk, lantai yang diselimuti debu tebal, meja dan kursi yang juga bernasib tak jauh beda, tidak serta merta membuatku iba pada mereka. Aku akan membersihkan rumah dan mencuci pakaian-pakaian kotor jika aku sedang ingin saja. Tapi, untungnya aku tidak memiliki piring kotor yang menggunung di wastafel. Karena aku lebih suka makan di luar atau membawa makanan yang dibungkus. Jadi, aku tidak perlu mengorbankan piring bersih di dalam rak dapur.
Aku tidak memungkiri jika semenjak Mama menikah dan tinggal di rumah suami barunya, aku selalu dirundung rasa kesepian di rumah. Tinggal di rumah sendiri, makan, dan melakukan semuanya sendiri. Aku tidak merasa keberatan melakukan hal apapun sendiri mengingat umurku yang nyaris menyentuh angka 25 tahun, tapi jujur aku kehilangan satu-satunya orang yang kubutuhkan saat aku merasa sendirian dan terluka. Seperti saat ini.
Setelah memasukkan semua pakaian kotor ke dalam mesin cuci, aku menekan tombol ON dan beranjak ke dapur untuk mencari sesuatu guna mengganjal perut. Dua buah bungkus mie instan kutemukan sedang bersembunyi di sudut laci dapur dan selebihnya tak ada. Kulkas kosong tanpa penghuni. Hanya beberapa botol air mineral tanpa teman. Aku sudah lama tidak keluyuran ke supermarket atau minimarket. Padahal di ujung gang ada Indomaret yang buka 24 jam dan siap menerima kedatanganku kapan saja. Atau kios-kios kecil di dekat rumah juga ada, tapi aku belum sempat mengunjungi tempat-tempat itu. Kenapa? Karena aku malas!
Sebenarnya Mama sudah puluhan kali menyuruhku untuk tinggal bersamanya. Tapi aku menolak. Sampai detik ini aku masih belum siap memanggil suami baru Mama dengan sebutan Papa. Terus terang aku belum bisa menerima orang lain sebagai pengganti almarhum Papa yang menurutku tidak bisa digantikan oleh siapapun juga, sebaik apapun dia. Aku yang terbiasa dibilang anak semata wayang juga belum siap jika tiba-tiba mempunyai seorang kakak dan adik tiri. Dan karena ketidaksiapan itulah aku memilih untuk tinggal di rumah lama kami meski harus sendiri.
Mie instan rebusku sudah matang setelah beberapa menit berlalu. Hanya saja tak ada telur ceplok yang biasa menjadi lauk pelengkapnya. Aku sudah lama tidak membeli telur dan sayuran. Sembari menunggu cucianku selesai, aku melahap mie-ku di ruang tengah.
Ada beberapa hal yang akan kulakukan hari ini selain mencuci pakaian kotor. Setelah menjemur, aku akan membersihkan lantai dan mengepel ala kadarnya lalu pergi ke minimarket di ujung gang. Aku akan berbelanja beberapa barang kebutuhan sehari-hari dan mentransfer sejumlah uang kepada seseorang yang meneleponku tadi pagi atas pekerjaan yang sudah kami sepakati sebelumnya. Orang itu sudah mengirimkan nomor rekeningnya ke smartphone-ku beberapa menit yang lalu. Dan masih ada satu pesan lagi yang masuk setelahnya. Dari Mama.
Wanita itu menanyakan kabar seperti yang biasa ia lakukan. Seolah itu adalah kegiatan rutin yang wajib dilakukan seorang ibu pada putri kandungnya yang tinggal sendirian. Kuakui semenjak kami pisah rumah, perlahan ada jarak tak kasat mata yang mulai terbangun di antara kami berdua. Entah siapa yang bergerak menjauh, tapi intensitas pertemuan kami semakin minim terlebih beberapa bulan belakangan. Aku mulai terbiasa dan nyaman dengan kondisi yang lebih kusebut sebagai kemandirian meski faktanya aku tidak terlalu pecus mengurus diri sendiri. Mama juga tampaknya sibuk mengurusi suami dan anak-anak tirinya juga bisnis toko kue yang mulai digelutinya dua bulan terakhir.
Aku tidak pernah menyalahkan pernikahan kedua Mama. Ia juga wanita yang butuh kasih sayang dan perlindungan dari seorang laki-laki, sama seperti kebanyakan wanita lain. Ia butuh tempat bersandar dan menggantungkan hidup di usianya yang sudah tidak muda lagi. Memang, laki-laki yang dinikahi Mama tergolong orang kaya dan aku benar-benar tidak tahu menahu motifnya menikah. Apakah murni cinta ataukah karena materi mengingat ekonomi keluarga kami yang pas-pasan. Mungkin itu juga salah satu alasanku enggan untuk tinggal dengan keluarga baru Mama. Aku hanya tidak mau memanfaatkan situasi ini dan ikut menikmati harta milik suami baru Mama. Karena sebelum ini Mama hanya seorang sales perusahaan asuransi dan gajinya tidak pernah cukup untuk membiayaiku kuliah. Aku hanya lulusan SMU dan itu merupakan pencapaian yang luar biasa untuk seorang single mother seperti Mama. Dan sayangnya sampai detik ini aku masih belum bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Aku perlu waktu.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top