Chapter 7 - Not Okay
Sometimes we don't say what we feel,
not because we don't want to,
but because we don't know how.
***
Ketika sampai di kelas, Erga tentu saja langsung menghampiri Yara yang nyaris cekik-cekikan dengan Asa. Ia mengulurkan tangannya, menawarkan beberapa roti coklat yang dibawanya dari kantin.
"lo nggak perlu repot-repot dong." Itu... Asa. Pria lancang yang tangannya langsung ditepis Erga ketika hendak mengambil salah satu rotinya.
Erga beralih mengambil tangan Yara lalu memberikan roti-rotinya pada gadis itu,"nih. Gue tau lo belum sarapan. Makan gih, ntar maag lo kumat lagi." Ucapnya dengan wajah yang masih sedikit kesal karena ditinggalkan di kantin tadi. Yara tersenyum lalu membuka bungkus rotinya."gimana resensinya ?"
Gadis itu mengunyah roti dulu sebelum menjawab,"65%. Gue pasti selesaiin."
Erga mengangguk-anggukkan kepalanya, tangannya terangkat untuk membenarkan beberapa helai rambut Yara yang sedikit berantakan. Gadis-gadis dikelas langsung histeris. Mulai bergosip sepeti biasa.
"itu si Erga beneran suka apa sama Luna ?"
" masa suka sama Luna, tapi perhatiannya ke Yara ?"
" kasian tuh si Yara. kalo gue jadi dia sih gue udah baper maksimal. Gila aja Erga tingkahnya kayak gitu."
Yara dan Erga memutar bola matanya malas. Bagaimana bisa mereka bergosip didepan orang yang mereka bicarakan ? gadis-gadis sekarang mulai gila. Meski Yara merasa sedih mendengar gossip-gosip itu, ia tetap memarahi kelompok tukang ghibah itu dan bilang kalau semua yang mereka katakan itu tidak benar.
Ia tidak bisa terus berbohong seperti ini.
Terutama ketika melihat Erga yang kini memandang Luna yang tersenyum kearah pria itu.
TOK TOK TOK
Semuanya memandang kearah pintu kelas.
" anak-anak, Miss Mina nitip tugas Bahasa Inggris, kelompoknya bisa lihat disini," jelas Pak Retno –guru PPKN khusus anak IPS- lalu menempelkan selembar kertas di papan tulis. Semua anak langsung berkumpul didepan ketika Pak Retno pergi. Tak terkecuali Yara yang baru saja duduk dibangkunya. Dengan memanfaatkan tubuh mungilnya gadis itu berhasil berada didepan.
Ia mengurutkan nama anak-anak kelas satu persatu.
Kelompok 3 : Make 3 Poetry. One person, one Poem.
Nayara Puteri Kirana (12)
Ergantara Saputera (6)
Luna Aulia (10)
Yara menepuk keningnya.
Really ?
***
jam dinding sudah menunjukkan pukul 4 sore. Pelanggan Petrichor tetap ramai seperti biasa. Apalagi gerimis diluar semakin bertambah parah. Jadi ada banyak sekali orang yang singgah baik untuk berteduh maupun memang ada janji temu dengan teman-temannya. Sama seperti Erga dan Luna yang kini sibuk dengan lembar oretan mereka.
Beberapa kali mereka membuka kamus, berusaha mencari kata yang pas untuk setiap bait puisinya. Sama seperti sebelum-sebelumnya, membuat puisi adalah hal yang sulit jika tidak terbiasa dan tidak punya bakat. Ah, seharusnya mereka sekarang sibuk mempersiapkan ujian, bukan malah memutar otak mencari kalimat yang cocok.
" ini gimana sih, Ga ? kok nggak masuk akal banget," tunjuk Luna pada coretannya. Erga yang sempat serius mencari kosakata langsung mendongak melihat puisi setengah jadi milik Luna.
" AHAHAHAHHAHAHA" tawanya menggelegar seantero café, bahkan gadis penjaga kasir yang anggun itu sampai tersentak kaget ketika membuat latte. Untung saja ia tau diri untuk meminta maaf kepada pengunjung yang merasa terganggu." Sorry, sorry Lun," sesalnya sambil masih tersenyum geli.
Luna cemberut lalu menarik kembali bukunya," aneh banget ya ?" tanyanya malu.
Erga menyeka air matanya lalu menggelengkan kepalanya dan menunjuk bagian mana yang membuat dia tertawa. " terus gue ganti pake apaan dong ? bentar deh." Luna kembali mencoret-coret lembarannya. Nyatanya masih banyak struktur kata yang kurang pas. Membuat puisi tidak pernah mudah. Kadang-kadang membuat kita nyaris menyerah ketika dipaksa.
Erga masih terkekeh.
Ia terdiam melihat wajah serius Luna. Menghela nafas lalu melihat keluar melalui jendela transparan café. Hujannya bertambah deras. Tidak terlalu besar namun cukup membuat orang lain kebasahan jika terus berada dibawahnya." Naya kok nggak dateng-dateng sih ? nggak bener banget. Padahal udah gue bilangin kerja kelompoknya disini,"decaknya sebal.
Luna memandangnya." Tadi dia bilang nggak bisa dateng, mau ada keperluan lain." jelasnya. Ia dapat melihat rahang Erga mengeras.
" gue bahkan tau hari ini dia nggak ada les atau kegiatan lainnya. Nggak bertanggung jawab," gumam Erga lalu menyeruput coffee floatnya." Udah yuk, kerjain lagi."
Luna mengangguk lalu meneruskan usaha membuat puisinya.
***
Ditempat lain Yara berjalan cepat menyeberangi jalan. Kemeja putihnya bahkan sampai sedikit kebasahan karena hujan.mau bagaimanapun, setidak ingin apapun ia menjadi obat nyamuk antara Erga dan Luna, ia harus bertanggung jawab pada tugas Kelompoknya.
Namun sayang, ketika ia sampai didepan Petrichor café, ketika ia memegang pintu kaca café, hendak masuk,
Ia melihat Luna mencondongkan tubuhnya lalu Erga yang dengan sabar membaca tulisan di kertas yang disodorkan Luna. " AHAHAHAHHAHAHA" ia mendengar Erga tertawa keras. Nyalinya semakin ciut. Erga bisa tertawa lepas bersama Luna. Lalu sekarang apa yang tersisa ? apa yang ia punya ?
To : Luna
Lun, gue ada keperluan mendadak. Tugasnya gue kerjain sendiri aja.
Ia menyerah, lantas berbalik arah.
Kini ia tau rasanya ketika Tinkerbell melihat Peter membawa Wendy ke Neverland. Karena Tinkerbell pasti tau kalau Wendy dapat menggantikan posisinya lebih baik daripada ketika Peter Pan bersamanya. Ia tau pasti kalau ia akan tersisihkan.
Di dongeng, Peter Pan pergi dari Neverland.
Tapi disini, saat ini, Yaralah yang memilih pergi, membiarkan Erga dan Luna bersama.
Meninggalkan Erga, sebelum Erga yang meninggalkannya.
Tetap saja,
Suatu saat nanti, ia harap Peter Pan-nya mengharapkannya kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top