5 | gila gila gila


Gila.

Gila. Gila. Gila.

Entah sudah berapa kali Zane menyalakan dan mematikan ponselnya, mengonfirmasi ingatannya pada banyak orang, mulai dari Mamanya yang saat ini berada di Durham—bukan di Sydney, for God's sake!—sampai ke orang tak di kenal yang ditemuinya di warung makan random dekat villa.

Minggu, dua Juli 2017.

Zane sampai sudah kehabisan kata-kata.

"Jadi sarapan di mana?" Rachel jadi orang pertama yang mengusik proses berpikirnya, membuatnya tersadar kalau sejak tadi soto daging yang dipesannya belum tersentuh sama sekali.

Zane menjauhkan ponselnya sejenak dari kuping, menghembuskan satu napas panjang. Jujur dia tidak ingin menjawab pertanyaan apapun, dari siapapun. Tapi entah mengapa impulsnya bertindak melawan suasana hati. "Warung soto deket-deket villa. Mau dibungkusin sekalian nggak? Atau mau makan di hotel aja?"

"Bungkusin sekalian buat Ismail dan lain-lain, ngerepotin nggak? Mereka yang minta tolong gue nelepon elo."

"Enggak, kok. Oke." Zane mengiyakan saja, biar bisa segera memutus sambungan.

"Zane." Tapi Rachel mencegahnya undur diri duluan. "Gue udah kelar siap-siap."

"Oke." Sekali lagi Zane memohon diri.

Selepas ponsel dimatikan, kepalanya yang sudah sakit jadi makin sakit.

Kalau teman-temannya tidak sedang mengerjainya, lalu apa yang sebenarnya terjadi?

Mimpi.

Ya, pasti ini cuma mimpi.


~


Coba tebak, agenda apa yang ada di kalender iPhone X Zane hari ini?

'Acara Rachel di Mariott.' Penting sekali, bukan?

Iya, masih iPhone X.

Zane memang nggak rutin ganti handphone tiap tahun, tapi karena sudah tiga tahun berlalu, apalagi ponselnya kini bukan hanya untuk nelepon doang, wajar jika dia menggantinya dengan yang lebih mutakhir, karena memang butuh ponsel dengan performa lebih mumpuni.

Lalu bagaimana dengan iPhone 13 Pro Max—handphone-nya saat ini? Belum ada!

Bentayga?

Jangan konyol, yang terparkir di depan villa mereka sekarang adalah Pajero! Pajero, woy, mobil sejuta umat! Zane bahkan sudah lupa pernah memiliki mobil itu!

Menangis? Sudah.

Marah-marah? Sudah.

Makan? Sudah.

Mandi, belum sih, soalnya mendadak Rachel perlu menggunakan kamar mandinya lagi.

Sekarang tinggal frustasinya saja.

Ini kenapa mimpi buruknya nggak selesai-selesai, sih?

Zane oke-oke saja bermimpi buruk seperti ini lama-lama. Tapi tidak oke tanpa Sabrina, chat history klien Relevent, dan Bentayga. Tiga hal itu yang paling penting dalam hidupnya saat ini.

Tanpa ketiganya, level anxiety Zane langsung tembus rooftop!

"Ckckck. Siapa suruh mabok? Gila kan lo sekarang!" Iis, yang kamarnya jadi tempat persembunyian sementara Zane, malah memperkeruh suasana.

Jadi, menurut agenda di kalender ponselnya, pagi ini dia akan mengantar Rachel ke Mariott. Cewek itu baru kemarin tiba di Canggu, mampir ke villa yang mereka tempati ini demi memenuhi permintaan Zane.

Flashback, nggak?

Flashback, dong! Biar nggak inget-inget banget, alam bawah sadar Zane seolah bisa mengenali hal-hal yang pernah dia lakukan di masa silam, apalagi jika bertahun-tahun kemudian terulang lagi.

Dan sudah jelas, firasat Zane jelek.

Dia maunya ketiduran di kamar Iis, lalu bangun-bangun sudah kembali ke kamarnya sendiri di Jakarta. Tapi sial sungguh sial, nggak mungkin dia ketiduran ketika ada orang sedang menunggunya, menagih janjinya untuk diantar ke suatu tempat.

Bukannya ketiduran, dia malah makin anxious sambil tidak ada capek-capeknya memelototi layar handphone jelek di tangannya itu.

"Gue nggak minum, Is. Tau sendiri gue nggak pernah minum di hari kerja." Zane membantah tuduhan Iis dengan kesal.

Bukannya di tahun ini, dia adalah teman yang paling dekat dengan Iis? Terutama di antara semua penghuni lain di villa? Tapi kok pagi ini Iis nggak berpihak padanya?!

"Lha tapi kan ini weekend." Iis balas berdecih.

Oh iya, Zane lupa.

Zane gila, lebih tepatnya.

"Lo mau ke mana, sih? Tumben, rapi." Tidak sengaja menoleh ke penampilan sang teman yang saat ini sedang makeup-an di depan meja rias kecilnya, Zane mendengus pelan tanpa sadar. "Mending ikut gue ke Mariott."

"Ogah. Gue mau ke Beachwalk sama Agus."

"Ngapain?" Zane melotot. Di saat dia sedang galau, teganya Iis mau bersenang-senang dengan Agus?

"Nonton."

"Tapi kan bukanya masih nanti, jam sebelas."

"Kan bisa jalan-jalan dulu di art market."

"Naik apa?"

"Lo bapak gue, Zane?" Iis kelihatan sepet juga meladeninya. "Nanya kok nadanya kayak lagi nginterogasi!"

Zane mau nangis lagi.

"Please lah, ikut gue nge-drop Rachel di Mariott dulu. Gue mau ikut kalian nonton juga."

"Tiketnya udah sold out. Gue sama Agus aja dapet tempat duduknya nggak strategis."

"Ya nonton yang lain, lah!"

"Maksa banget sih. Nggak mau ya nggak mau. Lagian semalem lo ngomong apa? Didatengin cewek lo jauh-jauh dari Jakarta, masa nggak dimanfaatin sebaik mungkin? Cih! Jangan deket-deket gue lo, sono pergi nonton berdua Ismail!"

Kenapa dia jadi dijodoh-jodohin sama Ismail?

Lagian mana Zane ingat semalam dia ngomong apa, kalau semalam yang dimaksud Iis adalah tanggal satu Juli, tiga tahun lalu!


~


Zane mengetuk pintu kamarnya dengan perasaan makin gundah.

Tapi ada satu yang dia syukuri.

Rachel nggak menaruh perasaan apapun padanya, jadi kalaupun ada perubahan yang mencolok antara dirinya tiga tahun lalu dengan yang sekarang, maka harusnya nggak terlalu jadi masalah.

Tapi tetap saja awkward.

Kemarin siang kan mereka habis melakukan sesuatu. Di countertop dapur di bawah.

Iya, Zane ingat, soalnya itu termasuk yang paling gila dalam hidupnya.

Kalau dulu dia ditanya bagaimana perasaannya, tentu dia sangat bahagia.

Tapi kalau sekarang ditanya lagi? Jujur kalau bisa mengulang, dia lebih memilih untuk tidak melakukannya.

Lagian, kenapa setting mimpinya kali ini bukan di tanggal sebelumnya, sih, biar dia bisa membuat alur yang berbeda? Brengsek, memang! Atau sekalian saja setting-nya sebelum mereka semua berangkat ke Bali, biar dia bisa mencegah Sabrina ikut bersama mereka. Atau biar dia sekalian nggak usah sok-sokan mau serumah dengan yang lain. Pokoknya bukan hari ini, di saat hampir semua hal yang dia sesali telah terjadi!

"Rach?" Zane menyapa temannya yang sudah rapi.

Rachel yang sedang menggulung kabel catok rambut menoleh dan tersenyum padanya.

Perut Zane bergejolak tanpa dipersilakan.

Jadi itu cewek yang amat dia sukai tiga tahun lalu? Ya Tuhan ... berat banget hidup Zane.

"Elo kelihatan linglung banget. Masih ngantuk, ya? Kalau gitu gue ke Mariott-nya naik taksi aja, deh." Cewek itu memberikan alternatif yang ingin diiyakan Zane.

Tapi lagi-lagi mulut brengseknya berkehendak lain. "It's okay. Masa lo jauh-jauh mampir ke sini ditelantarin? Ke Legian doang, nggak bakal lah gue ketiduran di jalan. Apalagi kalau duduknya samping elo."

Rachel mengangguk, sebuah senyum lebar tersungging di bibir. "Gue tunggu di bawah, ya."

"Oke, gue mandi kilat."


~


Seperti yang diharapkan, Zane melihat Regina di lobby Mariott.

Seperti yang juga samar-samar ada dalam ingatannya, pacar Ismail itu lewat di depan mata bersama dengan cowok lain—cikal bakal dari masalah yang terjadi di masa lalu.

Apakah Zane melakukan sesuatu, seperti menyapa atau menegurnya?

Tidak, terima kasih.

Yang Zane harapkan adalah, dirinya tidak menimbulkan masalah apapun, lalu kembali ke villa dengan tenang. Setelah itu, dia akan mencoba tidur selama mungkin, sampai ketika bangun, semuanya sudah kembali seperti semula.


#TBC

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan, mantemans.

Btw, kalo puasaan gini paling enak update jam berapa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top