35 | gencatan senjata




35 | gencatan senjata



Berita terburuknya, Zane mengunci pintu kamarnya dari dalam, sehingga Iis tidak bisa membuka dari luar tatkala cewek itu capek menggedor-gedor untuk membangunkan.

Biasanya, 'apes itu nggak ada di kalender', tapi apes yang ini jelas ada! Tertulis bold, italic, underlined, dalam puing-puing ingatan. Bisa-bisanya Zane lupa!

Kalau kemarin dia santai-santai saja menerima bogem nyasar, sekarang dia panik sendiri. Masa habis ini dia juga yang sekarat dan terpaksa dipulangkan ke Jakarta, bahkan sebelum magangnya selesai?? Dia yang tidak berdosa ini harus menanggung dosa-dosa Ismail?? Di mana letak keadilan di muka bumi ini???

Zane ingin misuh-misuh seandainya bisa. Sayang, yang mampu dia lakukan saat ini hanyalah menatap sayu ke arah pintu yang tak kunjung terbuka.

"Zane, udah bangun belum? Udah siang, niiih!" Suara melengking Iis terdengar, tapi mulut Zane masih kaku. Badannya tidak bisa digerakkan. Dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin.

Fuck.

Fuck Ismail.

Fuck Regina-beserta lakinya.

Fuck Bimo dan Sabrina yang membuat Zane emosi selama ini.

Fuck everyone.

Zane mau kembali ke 2021 sekarang juga. Zane tidak merasa pantas mengalami rentetan kesialan semacam ini.

This world doesn't even deserve him.


~


"Kenapa, Mbak? Lukanya yang kemarin infeksi?"

Sayup-sayup Zane mendengar suara Sabrina-suara yang paling dia harapkan di saat-saat seperti ini.

"Enggak tau. Masih nunggu hasil lab. Semoga aja nggak ada masalah serius."

Kemudian suara Iis-suara sahabat terbaiknya.

"Mbak udah hubungin keluarganya?"

Suara Sabrina terdengar lagi, tapi kemudian tidak terdengar lagi jawaban dari Iis. Mungkin cewek itu hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala.

Sadar betul dia yang menjadi objek pembicaraan, dengan amat susah payah, Zane pun membuka mata. Tidak terlalu terkejut saat menyadari dirinya telah berada di sebuah ruang perawatan dengan banyak sekali tempat tidur berjajar-jajar-mungkin IGD sebuah klinik atau puskesmas-yang sebagian besar kosong.

Baik Sabrina maupun Iis tidak ada di dekat situ. Zane celingukan, dan akhirnya menemukan mereka berdiri di luar, dekat pintu yang tidak tertutup rapat.

Zane hanya bisa mendesah pelan karena tidak punya energi untuk memanggil.

"Administrasi udah beres semua, ya? Kalau gitu, biar gue aja yang jaga. Mbak masuk aja. Bolos tiba-tiba, ntar dapet sanksi, loh!"

Zane terharu sekali mendengar penuturan Sabrina itu.

Tumben-tumbenan tuh cewek perhatian?

"Administrasi udah gue urus, sih." Iis terdengar bimbang. "Abis ini tinggal nunggu hasil lab aja. Kalau nggak ada apa-apa, kemungkinan bisa pulang cepet, nggak perlu rawat inap."

"I know." Sabrina paham. "Lo sebenernya nggak pengen bolos, kan? Udah, tinggal aja. Percaya sama gue. Gue nggak sejahat itu buat ninggalin temen lo sendirian nggak keurus di sini."

"Oke, oke. Thank you banget. Gue tinggal sebentar, ya. Kalau sampe lunch break masih di sini, nanti gue samperin lagi."

Setelahnya, pintu tadi terbuka dan tampak Iis masuk dari sana.

"Is ...." Zane membuka mulut, tapi seperti tidak mendengar suara apa-apa.

"Zane." Iis terlihat semringah melihat temannya sudah sadar. "Lo pingsan tadi. Gue panik banget waktu lo dipanggil nggak nyahut-nyahut. Mana Bli yang jaga villa susah banget disuruh buka pintu kamar lo pake master key." Iis bersungut-sungut sebentar, tapi kemudian sadar bahwa dia harus segera pergi. "Anyway, di luar ada Sabrina. Sorry banget nih, gue harus nitipin elo ke dia sebentar."

Zane hanya mengangguk-angguk. Tidak keberatan sama sekali.

"Nanti gue ke sini lagi pas lunch break, ya." Iis berpamitan untuk terakhir kali. Setelah itu dia mengambil tasnya yang diletakkan begitu saja di kaki ranjang yang ditempati Zane, dan kemudian keluar.

Sekian detik berselang, ganti Sabrina yang muncul dengan sebuah ringisan tipis.

"Hai, Bang. It seems you have no other choice but to stay with me for a while," katanya, sebelum kemudian duduk di pinggiran ranjang Zane, karena tidak ada kursi penunggu di situ. "We are usually equal opponents when fighting. Now that I see you powerless like this, to be honest, I'm a bit concerned."

Sumpah, Zane sedang tidak bertenaga. Tapi berhubung Sabrina duduk di dekatnya, mudah saja bagi Zane untuk mengulurkan tangan dan menjewer pipi gembul cewek itu.

Sabrina mengaduh dan menepis tangannya.

Zane hampir tertawa, tapi rahang dan perutnya sakit sekali, jadi dia menahannya.

"Iis yang nyuruh lo ke sini?" Zane mengusahakan sebuah tanya walau dia lebih ingin tidur saja saat ini.

Sabrina menggeleng. "Gue ngirim text duluan. Ke elo. Basa-basi aja nanyain kabar, berhubung kemarin sore lo kelihatan nggak baik-baik aja. Eh, Mbak Iis yang bales. Bilang kalau lo pingsan dan dibawa ke sini. Tapi yang lain udah pada berangkat ngantor. Jadi gue doang yang bisa dateng."

Zane tidak bertanya-tanya lagi. Dia memejamkan mata karena silau oleh lampu tabung di langit-langit.

"Dengan penunggu pasien Zane Abram?"

Zane membuka matanya lagi dan menemukan seorang perawat tengah berbicara dengan Sabrina.

"Iya, saya." Sabrina berdiri dari kursinya.

Suster tadi kemudian berkata, "Hasil tes darah sudah bisa diambil di laboratorium sekarang ya, kak. Setelah itu segera dibawa kemari untuk dievaluasi."

Sabrina mengangguk dan segera pergi.

Belasan menit berselang, Zane melihat cewek itu kembali duduk di sisinya.

"I guess I owe you a lot." Zane menggumam.

Sabrina menipiskan bibir. "Yes, of course." Cewek itu kemudian memasang wajah menyebalkan, seperti biasa. "Gue denger lo abis beli Bentley. Boleh lah, salah satu besi tua yang nggak kepake di garasi lo dihibahin ke gue. Nggak perlu Pajero. Honda yang murah meriah juga nggak apa-apa."

"Kayak punya SIM aja." Zane merasa rahangnya sakit lagi menahan geli.

"Balik dari sini, gue bikin SIM. Deal?"

Zane mengulurkan tangan untuk mencubit pipi cewek itu lagi. Tapi kali ini si cewek tidak menepisnya. "Pacar lo itu gue apa Bimo? Kok minta ke gue?"

"Ya kan Bimo nggak berhutang apa-apa ke gue."

Melihat Sabrina mencebikkan bibir, Zane mencubit pipinya sekali lagi sebelum kemudian menarik tangannya kembali.

Zane hanya bisa mesem-sudah cukup puas karena hari ini Sabrina tidak mengibarkan bendera permusuhan.

"Oh iya, Bang. Soal cowok yang mukul lo kemarin ... actually we still don't know what happened. Kemarin Regina nggak masuk kantor. Kosan dia juga kosong. Anehnya, orang-orang kantor taunya dia lagi ada workshop di Jakarta. Workshop gimana? Wong subuh-subuh dia masih ada di kamar Bang Mail!"

Zane tidak menjawab, karena kemudian dokter jaga IGD yang menanganinya datang untuk memberikan penjelasan bahwa dia mengalami hipoglikemia, tidak memerlukan rawat inap, dan bisa segera pulang setelah infus habis sekitar dua jam lagi. Dokter tersebut juga mengedukasi dirinya untuk menjaga pola makan, yang didengarkan Zane dengan setengah hati karena suntikan glukosa yang diterimanya tadi serasa belum terlalu berpengaruh.

Dua jam berselang, Sabrina mengantarnya pulang dengan taksi.

"Gue udah ngabarin yang lain kalau Abang udah balik dari IGD. Terus, yang lain pada mau ke sini pas lunch break." Sabrina memberitahu seraya menuntun Zane masuk ke dalam villa.

Zane mendengus pelan. "Bilangin nggak usah."

"Tapi ...."

"Gue cuma lemes karena kurang gula." Zane mendengus lagi, mengedik ke arah sofa supaya Sabrina membantunya berjalan ke sana.

"Bimo dan yang lain khawatir banget, tau ...." Sabrina membantu Zane duduk. Kemudian bergeming di depannya, tidak ikut duduk.

"Nggak usah lebay." Zane memotong sebelum Sabrina sempat membuat alasan lain. "Dan soal Regina, nggak usah dicari-cari. Ntar juga muncul sendiri dalam beberapa hari. Kalau udah clear, baru Mail suruh telpon gue."

Zane mendengar Sabrina menghela napas panjang, tapi si cewek tidak memprotes lagi.



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top