34 | memang sudah sepaket
34 | memang sudah sepaket
Sabrina mengerjap.
Bulu-bulu mata yang panjang dan lentik saling beradu dan berpisah dalam hitungan sepersekian detik, membingkai cantik sepasang iris matanya yang cokelat jernih.
Wajahnya merona kemerahan, mengkilat karena kebanyakan terpapar panas matahari. Dan Zane baru sadar, pada masa-masa ini Sabrina belum mengenal pensil alis ataupun lipstik. Alisnya masih botak, dan bibirnya hanya terpulas lipbalm tanpa warna.
Ini berbahaya, karena melihatnya sedekat ini membuat Zane merasakan dorongan yang besar untuk memagut bibir mungil di depannya itu.
He wonders what teenage Sabrina's lips taste like—of course, Zane segera sadar bahwa itu adalah pikiran yang bejat, mengingat usia mereka berdua yang terpaut makin jauh sekarang.
"Duduknya jangan deket-deket bisa, nggak?" Zane terpaksa menyalak, demi kemaslahatan umat.
Sudah sekacau ini hidupnya, bodoh saja kalau dia masih ingin menambah perkara, ya kan?
"Berisik banget sih! Mata gue rabun, tau nggak?? Kalau duduk jauh-jauh nggak kelihatan!" Tentu saja, bukan Sabrina kalau tidak tersinggung disensiin.
Setelah balas menyembur begitu, yang terjadi detik selanjutnya adalah sesuatu yang sungguh tidak Zane sangka-sangka: Sabrina dengan sengaja memencet luka di wajahnya keras-keras, membuat Zane sontak berdiri dari tempat duduknya sambil misuh-misuh.
Tanpa merasa bersalah, Sabrina tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut segala.
Sialan.
Untung cantik. Kalau enggak, udah Zane lempar kepalanya pakai galon.
"Udah sana, kelarin kerjaan lo. Gue tunggu." Sabrina berkata, mengingatkan Zane bahwa jam kantor masih belum berakhir. Cewek itu menutup kembali tube salep yang telah selesai dia pakai untuk mengolesi memar Zane.
Zane mendengus pelan. Hidungnya kembang kempis. "Haven't I said I need privacy? Ngapain nunggu segala? Gue nggak bakal ngasih tau, mau pindah ke mana."
"Udah sana!" Sabrina ikut berdiri dan mendorong Zane turun dari gazebo. Mengoper kembali ice pack di meja ke tangan si cowok.
Seakan-akan kehilangan kontrol atas gerak tubuhnya sendiri, sambil mencaci maki, Zane pun meninggalkan tempat dan kembali ke ruang kerjanya.
~
Pukul lima, urusan sortir-menyortir bahan yang akan diedit menjadi video dokumenter itu akhirnya selesai.
Cold pack yang tadi diberikan Sabrina padanya sudah tidak dingin lagi. Tidak aneh, karena memang sudah hampir dua jam berada di suhu ruang.
Sambil berdiri untuk mengemas ranselnya dan memasukkan cold pack tersebut ke salah satu kantong samping tas, Zane melirik ke luar jendela.
Sabrina sudah tidak ada di gazebo.
Well, Zane tidak berharap mendapati cewek itu masih setia menunggunya juga sih. Karena hal itu jelas bakal merepotkan.
Kalau hanya pulang sendirian, dia bisa menggunakan ojek motor. Sedangkan kalau Sabrina ikut bersamanya, otomatis harus menggunakan taksi, yang mana sudah bisa dipastikan bakal terjebak macet di jalan. Belum lagi, Zane harus repot mencarikan makan malam yang sesuai dengan selera si cewek. Kan nggak mungkin, Zane membiarkan bocil seperti dia pulang dengan perut kosong, setelah membuatnya menunggu berjam-jam?
"Akhirnya keluar juga."
Jantung Zane seperti mau copot saat melihat Sabrina tiba-tiba muncul di depan pintu kantor, bertepatan dengan dirinya yang hendak keluar.
Sialan.
"Kenapa masih di sini? Nggak denger tadi gue bilang jangan nunggu?" Zane bertanya ketus.
Tapi ternyata Sabrina tidak peduli.
Cewek itu, dengan senyum manisnya, malah salah fokus dan bertukar sapa dengan para orang kantor lainnya yang hendak pulang.
Zane memutuskan meninggalkannya dan berjalan duluan ke halaman, sambil mengeluarkan ponsel. Setengah hati merutuki keteledorannya yang tidak memesan kendaraan sejak tadi.
"Mau order ojol?" Sabrina bertanya di belakang punggung Zane.
Tanpa menghentikan langkah, Zane menjawab, "Ya iya, lah. Lo mau jalan kaki ke Canggu? Ya silakan aja."
"Entar dulu. Jangan order sekarang." Sabrina kesusahan menjajari langkah Zane, kemudian nekat menggamit lengan kemeja Zane supaya berhenti berjalan. "Kita mampir ke Bu Mangku dulu. Jalan kaki aja. Cuma 650 meter."
"Ngapain ke Bu Mangku?"
"Bantuin cuci piring." Dan tanpa melepaskan tangannya dari lengan kemeja Zane, dia membawa si cowok berjalan menuju ke gerbang depan.
Tidak ada pilihan lain, Zane terpaksa mengikuti langkahnya.
"I know you. Elo pasti bakal mager nyari makan. Nunggu Mbak Iis laper dan ngajakin lo makan nanti malem, bisa-bisa gerd lo kambuh duluan."
"Yang punya gerd itu kan elo."
Sabrina menoleh dan meringis. "Ya udah, sih. Tetep nggak mengurangi niat baik gue buat nraktir lo makan, kan?"
Menggemaskan. Bisa-bisanya dalam suasana hati yang nggak baik begini, Zane tiba-tiba merasa kangen melihat Sabrina meringis begitu.
Mana sok-sokan mau menraktir, lagi. Memang uang saku bulanan dia berapa??
Lalu, dengan bulolnya, Zane membiarkan tangan Sabrina tetap menggamit lengan kemejanya selama mereka berjalan bersisian. Membuat dia pasti terlihat konyol di mata orang-orang yang berpapasan.
Tiba di rumah makan yang mereka tuju, jika biasanya sesama wisatawan sama-sama cuek, maka sore ini Zane merasa menjadi pusat perhatian.
Sekali-dua kali dia berusaha mengabaikan dan fokus melihat menu. Tapi saat semua orang di sekitarnya bergantian menoleh ke meja yang dia tempati, mau tidak mau dia jadi sadar diri.
"Shit." Zane baru ingat. Pasti muka bonyoknya ini yang bikin orang-orang terheran-heran. "Ayo takeout aja." Zane hampir berdiri, tapi Sabrina dengan cepat menggamit tangannya.
"Dih? Ngapain? Keburu laper." Sabrina memprotes. "Udah terlanjur pesen buat dine in juga."
"Nggak liat, orang-orang pada ngeliatin gue?"
Sabrina menoleh ke kanan dan kiri, berlagak sedang mencari bukti. "Mana? Nggak usah kegeeran, deh. Mereka tuh ngeliatin gue, bukan elo. Sambil ngebatin, kok mau cewek secakep ini jalan sama cowok jelek?"
Cewek sok kecakepan itu mesem dengan pedenya.
Ya Tuhan, tolong berikan Zane banyak-banyak kesabaran.
~
Tentu saja sore-sore begini taksi mereka terjebak macet.
Tidak ikut murung seperti Zane, Sabrina melewati kemacetan dengan mem-video call Bimo serta mengirimkan live location pada cowok itu, membuat Zane dan Pak Sopir terpaksa mendengarkan obrolan menjijikkan mereka.
Di tengah panggilan, seperti bapak-bapak bicara ke anaknya, Bimo mengingatkan Sabrina, "You didn't forget to apologize to him, right?"
Di sebelah Zane, Sabrina manyun sedikit, kemudian mengarahkan layarnya sehingga muka Zane ikut muncul di sana. "I bought him a cold pack and ointment, then treated him to a meal. I've done enough to apologize, haven't I? Masalah dimaafin atau enggak, itu terserah Bang Zane."
"Kamu tanya dong, udah dimaafin apa belum?" Bimo mendesak dengan kurang ajarnya.
Sabrina menoleh ke Zane. Mengerjapkan mata sok cantik beberapa kali.
Terpaksa Zane menjawab, "Hmm."
"'Hm' means 'yes'?"
"Hmm." Zane menggumam lagi tanpa menatap Sabrina atau pun Bimo di layar ponsel.
Melihat muka kecut temannya, terdengar nada puas Bimo di seberang. "Okay, Babe. I'm so proud of you for being such an adult. Makasih udah berusaha. Urusan dimaafin atau enggak, emang udah bukan di tangan kamu."
Sabrina mengangguk-angguk sok manis, membuat Zane berdecih mendengar cewek itu mendapatkan segala macam pujian dari pacarnya.
Jenuh mendengar suara Bimo, Zane mencoba tidur.
Hampir sejam lamanya, akhirnya taksi mereka berhenti di depan sebuah villa dengan halaman cukup luas, muat empat mobil. Dan motor Zane yang tadi pagi masih ada di villa Kayu Tangan, kini telah berpindah ke situ.
Selesai membayar argo, Zane turun duluan.
Tapi ternyata Sabrina malah ikut turun.
"What are you doing?" tanyanya heran. "Lo udah tau gue turun di mana, dan gue udah bayar lebih, buat nganter lo sampe Kayu Tulang."
"How do I know you didn't get dropped off at a random villa?" Sabrina balik bertanya.
"Astaga ...." Zane agak tidak habis pikir. Tapi akhirnya dia memilih pasrah saja.
Sebenarnya nggak ada faedahnya juga dia memaksa merahasiakan tempat tinggal barunya. Toh, Bimo dan yang lain-lain juga nggak akan tiba-tiba menyatroninya—kecuali mereka kurang kerjaan banget.
Zane mendorong pintu masuk kayu yang tidak terkunci. Kemudian melangkah melewati undak-undakan.
Menyeberangi taman yang cukup luas, dia kemudian tiba di bagian depan villa yang berdinding kaca, menampilkan living room yang muat untuk party lima puluh orang di baliknya.
Sabrina mengekori langkah Zane, tidak bisa menutupi keheranannya melihat ada villa maksimalis di tengah-tengah kawasan super padat begini.
"Will you be staying here alone?" Sabrina bertanya.
Zane memutar bola mata, mengedikkan dagu ke arah payung-payung di pool area. "Iis segede gitu nggak kelihatan?"
Sabrina mengikuti arah pandangnya dan menghela napas berat. "Jadi, bakal berduaan aja sama Mbak Iis di sini sampai bulan depan, selesai magang?"
Zane malas menjawab.
Sebenarnya, dia dan Iis hanya akan tinggal di sini hingga lusa, hingga tamu berikutnya yang sudah mem-booked villa ini tiba.
Mungkin nanti dia dan Iis akan mencari kosan atau guest house yang juga dekat dengan tempat magang Iis. Tapi Sabrina dan yang lain-lain tidak perlu tahu kalau dia dan Iis masih luntang-lantung begini.
"Kenapa?" Tiba-tiba Zane ingin menggoda Sabrina. "Mau ikut tinggal di sini juga? It's six bedrooms, by the way."
"Enggak." Sabrina menjawab cepat. Membiarkan Zane menyapa Mbak Iis sebentar.
"Serius, cuma berdua?" Sabrina kembali bertanya saat Zane telah menemukan ransel bajunya di living room dan memasangnya ke punggung.
"What's the matter?" Satu alis Zane terangkat. Masih konsisten dengan ekspresi jenuhnya.
Sabrina menghela napas berat. "Yang lain pasti nggak bakal setuju kalau tau."
"Apa gue dan Iis perlu izin mereka? For the record, bukan gue atau Iis yang nyari gara-gara sampai kita harus keluar dari kontrakan dan nyari tempat tinggal baru."
Sabrina mencebikkan bibir, dalam hati agak merasa tersindir. "Ortunya Mbak Iis juga pasti bakal khawatir."
Zane berdecih. "Keep your worries to yourself. Daripada ortunya Iis, bukannya lebih masuk akal kalau ortu lo yang khawatir? Are they truly cool with you living with your boyfriend and a bunch of his male buddies?"
Sabrina mendesah pelan.
Zane melangkah ke bagian belakang living room dan kemudian berhenti di tengah-tengah. "Kenapa masih di sini? Mau ikut naik ke kamar gue?"
Tanpa menjawab, Sabrina sudah berjalan duluan menuju ke tangga. "Oh, jadi lo beda lantai sama Mbak Iis? Masih mending lah, kalau gitu."
Membiarkan Sabrina memimpin di depan, Zane menaiki tangga dengan kening mengeryit.
Di pangkal tangga, Sabrina menepi, meminta Zane memberitahu harus berjalan ke mana.
Zane mendorong salah satu pintu yang ada di situ, kemudian masuk ke dalam. Meletakkan dua ranselnya begitu saja ke sofa yang ada. Kemudian balik badan untuk melihat cewek yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
"So this is your room?" Sabrina manggut-manggut sendiri tanpa menunggu jawaban Zane.
Satu alis Zane terangkat, penasaran ingin tahu apa gebrakan Sabrina selanjutnya.
"Oke, deh. Selamat istirahat." Sayangnya, hal mengejutkan yang dinanti-nantikan Zane tidak terjadi. Sabrina malah tiba-tiba pamit. "I just want to make sure you're okay. You looked terrible until this afternoon, but after feeding you, I'm sure you were just hungry. Now you look good, and I no longer have to feel guilty."
Cewek itu pun pergi. Menutup pintu kamar Zane dari luar. Meninggalkan Zane terbengong-bengong dengan perasaan yang mendadak kosong.
What was that?
Sabrina sangat menyebalkan hari ini, tapi mengapa Zane lebih senang diganggu olehnya daripada dibiarkan sendirian begini?
Although he acknowledges his feelings for her, isn't this going too far?
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Zane.
"Sabrina udah cabut barusan." Iis memberitahu. "Lo pengen makan apa? Biar gue yang pesen."
Zane gelagapan.
Tapi hanya sesaat.
Berikutnya, dia segera tahu harus bilang apa. "Nggak usah cari di luar, Is. Gue udah makan barusan. Gue bungkusin Bu Mangku buat lo. Ada di meja makan."
"Oh?" Iis cengengesan. "Gue jadi nggak enak hati."
"Dih?" Zane ketawa dan mengikuti temannya turun. Menemani Iis sampai selesai makan, biar nggak sepi-sepi amat.
Benar kata Sabrina, nggak seharusnya dia tinggal berduaan dengan Iis di sini—walau sebenarnya nggak berduaan juga, karena ada staf villa yang standby dua puluh empat jam di maid corner.
Bukan karena Zane khawatir akan terjadi apa-apa, karena Zane jelas tidak berniat macam-macam pada sahabat cewek di hadapannya ini. Tapi karena sesederhana tempat ini terlalu lengang untuk ditinggali berdua.
"Sepi banget ya, Is?" Zane bertanya ke Iis yang masih sibuk makan.
Iis menelan suapan di mulutnya dulu, baru kemudian menggeleng. "Gue sih seneng, lumayan buat detoks, setelah ribut mulu sama anak-anak. Kenapa? Lo kesepian?"
Zane tidak lantas menyahut, membuat sepasang mata Iis menyipit.
"Lo bukannya lebih seneng tinggal sendirian, ya? Lo aja nggak demen kalau anak-anak nyatronin apart lo di Depok."
Zane mengangguk. Kemudian meringis. "Iya. Gue lebih seneng sendirian. Tapi bukannya lo takut tidur sendirian?"
Iis mengerutkan kening. "Enggak, tuh. Biasa aja."
Zane ikut mengernyit. Ingat betul Iis dan Sabrina sempat ribut gara-gara Sabrina hijrah permanen ke kamar Bimo gara-gara katanya sering melihat penampakan di lantai satu.
Tapi mungkin timeline ingatannya yang salah?
"Oh, ya udah." Zane mesem. Segera mengalihkan obrolan ke topik yang lain.
Malam itu, walau agak sedih dan kesepian, juga sesekali merasakan tidak nyaman pada memar-memar di wajah, juga dada dan perutnya, overall semuanya aman-aman saja. Zane masih bisa tidur walau tidak nyenyak, dan Iis juga tidak terdengar mengetuk pintu kamarnya.
Tapi, ada satu hal penting yang luput dari memori Zane: setelah menerima bogem mentah dari suami Regina, Ismail jatuh sakit.
Setengah tidak percaya, buktinya Zane tidak bisa bangun pada esok paginya.
... to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top