32 | pake urat, dua




32 | pake urat, dua



Meninggalkan Zane yang masih terkapar di lantai, Iis segera berlari menuruni tangga.

Baru juga semenit sosok sahabatnya itu menghilang, Zane sudah mendengar suara benda-benda berjatuhan, diikuti dengan sumpah serapah.

"ABIS MAKE KOTAK P3K TUH DIKEMANAIN, SIIIH?? BANGKE BANGET EMANG! JADI ORANG BISANYA NYUSAHIIIN AJA!!"

Zane hanya bisa meringis mendengarkan Iis marah-marah sendiri—berhubung yang seharusnya mendengarkan omelan cewek itu memang belum pada pulang.

Suara benda-benda berjatuhan terdengar lagi.

Entah kekacauan apa yang sedang dibuat Iis, padahal kotak P3K yang dia cari ada di dapur. Terlihat sangat jelas di salah satu kabinet atas.

Kemarin, saat mencarikan painkiller untuk Sabrina, Zane dengan mudah bisa menemukan kotak itu. Lalu, karena tidak mendapatkan apa yang dicari, kotak itu langsung dia kembalikan ke tempat semula. Jadi, kalau sekarang Iis tidak berhasil menemukannya, ya salah dia sendiri, nyarinya pakai urat, nggak pakai mata.

"BANGKEEEEE!!"

Iis misuh lagi, kali ini membuat Zane nyebut dan mengelus dada karena tidak bisa bersuara untuk memberitahu di mana letak benda yang Iis cari itu.

Jangankan untuk membuka suara. Untuk mingkem dan menelan ludah saja Zane tidak bisa.

Mulutnya sekarang sedang penuh cairan rasa logam, yang berarti ada pendarahan di dalam rongga mulutnya.

Sialan.

Syukurlah, sebelum Zane memaksakan diri menyahuti Iis, cewek itu sudah muncul duluan dengan kotak merah kecil di tangan. Napasnya terengah-engah karena harus berlarian turun-naik tangga.

"Siapa sih, yang naruh ini di tempat yang tinggi banget?" Dia bersimpuh di sebelah Zane dan mulai membuka kotak di tangannya. Mengeluarkan beberapa benda yang dia perlukan untuk mensterilkan luka.

Tapi belum sempat dia melakukan apa-apa dengan kapas yang dia pegang, melihat Zane mangap dengan mulut penuh darah bercampur liur, dengan cekatan Iis menarik pot bunga terdekat, membantu Zane duduk, kemudian menyuruh cowok itu muntah di sana.

"Gue." Zane menjawab pelan sambil mengusap mulut. Karena rasa darah masih ada di dalam mulut, dia lalu meludah sekali lagi.

Alis Iis terangkat tinggi-tinggi.

Zane mengulang jawabannya, "Gue yang terakhir make itu kotak. Tapi emang dari awal tempatnya di situ."

Iis berdecak. Tidak mau ribut, segera dia membasahi kapas, kemudian menotol-totolkannya ke muka Zane.

Zane berteriak dan mengaduh setiap kali kapas itu menyentuhnya, baru sadar luka di wajahnya perih semua.

Si bangsat tadi memukul pakai apa sih? Kalau hanya tangan kosong, kan harusnya hanya menghasilkan lebam-lebam doang, yang terasa ngilu kalau disentuh, bukan perih-perih begini.

"Diem!" Iis melotot. "Jangan gerak-gerak! Ini gue udah pelan-pelan!"

"Perih banget, Is."

"Namanya juga berdarah-darah, gimana nggak perih?"

Zane terpaksa menekan giginya kuat-kuat untuk menahan sakit. Saat Iis tampak sudah selesai, baru dia berani bersuara lagi. "Ambilin kaca, Is. Gue mau lihat, rahang gue dislokasi apa enggak."

"Iya, dislokasi. Sekarang muka lo jadi kayak Squidward."

Iis mengambil Betadine dari kotak. Zane kembali mengaduh-aduh saat Iis menotolkan cairan itu ke luka-lukanya.

Terakhir, Iis seperti sengaja menekan sudut bibirnya cukup keras sebelum akhirnya benar-benar mundur dan melempar semua bekas kapas kotor ke tempat sampah di depan kamar Bimo.

"Sekarang jelasin, kenapa tuh orang tadi nyariin elo? Dan kenapa Regina itu istri dia?" Iis memberondong Zane, tidak mengindahkan temannya yang masih meringis-ringis di lantai, tidak berinisiatif menawarkan bantuan untuk membantunya masuk kamar terlebih dahulu. "Lo tau Regina punya suami? Ismail tau, selama ini dia tidur sama istri orang?"

Sudah keburu lupa isi pertanyaan pertama Iis tadi, Zane menghela napas panjang dan bersandar ke railing besi di balik punggungnya. Merem sembari meletakkan lengannya menutupi mata. Malah seperti pewe duduk di lantai.

"Zane!" Iis memaki, habis kesabaran.

Zane mendesah. "Haven't I told you a couple days ago? Sebelum gue ke Jakarta."

"Mana? Nggak ada. Lo nggak ngomong apa-apa ke gue."

"Gue kasih tau lo kalau gue liat Regina sama lakinya di lobby Marriott, waktu nganter Rachel."

"I swear you didn't say anything. Kalau lo bilang, pastinya detik itu juga udah gue jedotin pala si Ismail ke pohon!"

Zane menghela napas panjang. Tidak mau mendebat lagi.

Mungkin Iis lupa.

Atau bisa jadi, dia yang lupa.

Bukan hal mustahil kalau ingatannya sendiri menjadi kabur, bingung mana yang dia lakukan di masa silam, dengan yang baru dia lakukan lagi beberapa hari lalu. Dia hanya manusia biasa. Sangat wajar dia melupakan detail-detail kecil.

"Terus, kenapa dia malah nyari elo, bukan Ismail?" Iis mencecar.

Zane mendesah lagi, akhirnya menurunkan lengan yang menutupi matanya. "Nah itu, lo tanya dia langsung aja. Kalau gue tau, gue udah waspada dan nggak bakal bonyok pagi ini."

Iis kesal mendengar jawaban Zane yang nggak menjawab pertanyaannya itu.

Kan nggak mungkin, suami Regina tiba-tiba salah sasaran kalau Zanenya nggak bertingkah duluan!

"Ismail tau?" Iis bertanya lagi.

Zane menggeleng. "Temen lo kan idiot. Lo lupa, otak dia ada di selangkangan?"

"I see." Iis manggut-manggut. "Emang idiot banget tuh bocah. Nggak bisa lihat cewek seksi dikit." Kemudian dia menatap Zane dengan iba. "Terus, sekarang gimana? Ini udah mulai bengkak muka lo. Pasti sebentar lagi biru-biru semua. Lo mau bolos magang lagi? Kemarin kan udah bolos. Bisa-bisa lo harus extend lagi nanti, buat ngejar jam kerja minimal."

"Ambilin kaca, coba."

"Ogah." Iis mengerucutkan bibir. Antara malas bangkit sekaligus belum sampai hati membiarkan Zane bercermin. Asli, muka temannya itu sekarang jadi benjol-benjol nggak karuan. Iis sampai ingin menangis melihatnya. "Apes banget sih lo? Nggak salah apa-apa tapi bonyok begini ...."

"Ambilin kaca, Is."

"Nggak mauuu."

"Ya udah, kalau gitu lo bantu gue jalan ke kamar."

"Elo berat. Gue nggak kuat."

"Gue juga harus cepet packing sekarang. Kalau nggak mau bantuin gue jalan ke kamar, mending lo bantu masukin baju-baju gue ke tas."

"Kenapa gitu?"

"Gue udah diusir dari semalem."

"...." Seketika Iis melongo.


~


Rombongan yang baru saja pulang lari pagi seketika terheran-heran mendapati Iis menuruni tangga dengan membawa ransel yang besarnya sebelas-dua belas dengan ukuran tubuh si cewek.

Melihat temannya tampak terseok-seok keberatan beban di punggung, sebagai orang yang paling peka di antara mereka semua, Agus segera mengambil alih tas itu dari bahu Iis—sedetik lebih cepat dibanding Bimo yang juga hendak melakukan hal yang sama.

"Mau dibawa ke mana?" Agus bertanya, sedangkan fokus Bimo segera teralih pada fakta lain.

"Itu bukannya ransel si Onta?" Bimo bertanya.

Tapi Iis hanya menunjuk sofa tamu sebagai instruksi ke Agus, kemudian nyelonong lagi ke atas tanpa menjawab pertanyaan dari Bimo sama sekali.

Ketika Iis kembali ke kamar Zane untuk membantu temannya yang baru selesai mandi itu berganti pakaian, Agus juga ikut mengekor di belakang.

Disusul Bimo dan Mail.

Lalu terakhir ada Sabrina di belakang pacarnya.

"Mau dibikinin jus? Kayaknya lo nggak bakal bisa ngunyah deh." Mengabaikan semua orang, Iis bertanya pada Zane yang sekarang tidak bisa ngomong karena luka-luka di wajahnya jadi semakin membengkak. Kaku dan tidak nyaman.

Zane melirik sekilas ke arah pintu yang mulai ramai, mengangguk samar ke Iis sebagai jawaban.

Sambil berdiri menunduk-nunduk menahan sakit pada rusuknya, dia pasrah saja membiarkan Iis mengambil alih pekerjaannya mengancingkan kemeja, meski sebenarnya bisa sendiri.

"Kenapa lo kayak gitu? Abis ketabrak delman?" Agus sok ngelucu. Tapi baik Iis maupun Zane enggan merespon.

"Lo ngantor naik taksi online aja ya? Motor lo nanti gue yang atur." Masih seolah hanya ada mereka di ruangan itu, Iis berkata pada Zane.

Zane kembali mengangguk samar.

"Ransel lo biar sama gue dulu, nanti sore gue anter." Iis berkata lagi, yang tetap diangguki oleh Zane. "Gue ikut cabut juga. Ogah banget lama-lama di sini."

Agus menggamit tangan Iis, menghentikan gerakan temannya memasang kancing terbawah kemeja Zane. "Ada yang nanya tuh dijawab! Sopan amat?"

Iis menepis tangan Gusti yang mencekal tangannya, menyipit tajam. "Udah cukup ya, gue sama Zane bersabar. Kita udah nggak betah di sini. Pagi ini juga kita keluar."

"Heh!" Gusti agak meninggikan suaranya, memaksa Iis tidak memotong ucapannya dulu. "Yang jelas kalau ngomong. Lo sama Onta tuh kenapa? Pagi-pagi gini, babak belur kenapa? Dan kenapa jadi salah kita?"

"Nggak ada yang nyalahin lo, Gus. Nggak usah kegeeran." Iis berdecak, lalu mengedik ke orang-orang yang masih menjejali ambang pintu. "Temen-temen lo tuh!"

"Siapa?"

Iis membuang napas panjang, tampak sangat kesulitan untuk menahan kekesalan.

Dia lalu menatap tajam ke Ismail. "Lo keluar nggak bawa HP? Regina nggak ngehubungin lo?"

Ismail merogoh kantong celana pendeknya dan mengeluarkan ponsel dari sana, kemudian dia mundur dari pintu untuk melirik ke pintu kamarnya sendiri yang kemungkinan masih terbuka, karena baik Iis maupun Zane tidak ada yang berinisiatif menutupnya kembali setelah Regina keluar dari sana subuh-subuh tadi.

Iis dan semuanya sabar menunggu Ismail pergi ke kamar sebelah, mencari Regina.

Beberapa saat berselang, cowok tolol itu kembali dengan wajah clueless.

"Regina ke mana? Dia kenapa? Kalian semua kenapa? Kalau ngomong tuh yang jelas, dong. Jangan sepotong-sepotong kayak orang gagap gitu!" Ismail mengomeli Iis sambil tangannya cekatan menyalakan layar ponsel dan kemudian menempelkannya ke telinga, mungkin sedang mencoba menghubungi Regina.

Iis berdecih. "I bet she's not answering." Dia membuang muka. "Paling-paling HP-nya disita sama lakinya. Terus nanti pas lo sama Agus nyampe kantor, tuh cewek nggak ada. Nggak dikasih izin berangkat kerja. Itu juga kalau dia nggak keburu dibawa ke kantor polisi terdekat. Punya istri kayak gitu sih, kalau gue lakinya, udah gue pidanain!"

"Maksud lo apa, sih?!" Ismail kelihatan seperti akan menampar Iis saking kesal mendengar nada bicara Iis yang tajam, plus kalimat-kalimat menyakitkan dan tidak jelas yang keluar dari mulutnya.

"Maksud gue ...." Iis menghirup udara banyak-banyak. "ELO BANGSAT BANGET, BABI!! PACARAN SAMA ISTRI ORANG, BIKIN TEMEN LO SUSAH AJA!! TAU NGGAK, LAKINYA CEWEK LO TUH SAMA TOLOLNYA KAYAK LO! MAIN PUKUL SEMBARANGAN, GAK LIHAT-LIHAT DULU YANG DIPUKUL BENERAN COWOK YANG GODAIN ISTRINYA APA BUKAN!! BAGUS BANGET ZANE NGGAK LAPORIN LO KE POLISI! KALAU GUE YANG KENA BOGEM NYASAR, UDAH ABIS LO SAMA REGINA DIARAK KELILING KAMPUNG!!"

Napas Iis habis. Dia menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil tersengal-sengal.

Sementara itu, Ismail hanya bisa mengernyitkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah Iis sudah gila.

"I don't get it. Please explain it calmly, what happened?" Bimo mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, berusaha meminta semuanya nggak main urat.

Dia menatap Zane, memperhatikan muka temannya yang sudah tidak berbentuk—seketika lupa akan kekesalannya pada temannya ini, tergantikan oleh rasa kasihan.

Dia lalu ganti menatap Iis, menyadari ada memar juga di keningnya.

"Terus dahi lo juga luka begitu, kok bisa?" Bimo bertanya, mencoba meminta Iis untuk kalem.

Iis mendesah. "Ini salah Ismail juga." Dia mengedikkan dagu ke Ismail yang mulai tidak sabaran mendapati ponsel Regina tidak bisa dihubungi. "Lakinya Regina udah gila. Ya wajar sih kalau gila. Istrinya selingkuh, gimana nggak gila? Dia dateng ke sini, ngamuk-ngamuk ke Zane. Dia kira, Zane yang jadi selingkuhan Regina. Gue mau nengahi malah kena dorong sampe nabrak pintu."

"Ini ... yang lo omongin ... beneran?" Tentu saja Bimo sulit percaya. Iis yang melihat dengan mata kepala sendiri saja masih shock berat begini. "Sorry, bukan maksud gimana-gimana ... tapi cerita lo beneran unbelievable, Is. Dramatis banget." Bimo menggeleng-gelengkan kepala, menatap Ismail yang masih sibuk mencoba menelpon Regina, kemudian kembali ke Iis dan mengulurkan tangan ke memar di dahi Iis dengan penuh kekhawatiran. "Lo beneran nggak lagi nge-prank? Memar-memar kalian ini bukan makeup?"

"Terserah, deh. Mau makeup, kek. Mau lo kira gue jedotin kepala sendiri ke pintu dan Zane ngebonyokin mukanya sendiri ... terserah."

"Well ...." Bimo kembali menoleh ke Ismail.

Agus dan Sabrina melakukan hal yang sama.

Ismail diam tidak berkutik. Jelas masih sulit menerima. Tapi juga tidak bisa menampik bukti nyata di hadapannya.

Muka Zane ancur. Mustahil tuh anak sengaja menghancurkan mukanya sendiri begitu. Pastilah dia beneran habis digebuki. Dan lagi ... mustahil Iis bohong.

Tapi, nggak mungkinlah Regina itu istri orang! Gila aja! Yang ada, cowok yang memukuli Zane tadi pastilah cowok gila yang ngaku-ngaku menjadi suami pacarnya!

"I'm very sorry for this accident ... but I don't think your story makes any sense." Ismail menggeleng-gelengkan kepala, masih menaruh harapan bahwa ini hanya bercandaan Iis dan Zane semata. Masih menaruh harapan bahwa nggak ada cowok sinting yang sedang membahayakan pacarnya saat ini. Masih menaruh harapan bahwa Regina hanya pulang ke kosan untuk bersiap-siap ngantor, seperti biasa.

Iis berdecih. "Cek CCTV sana. Liat cewek lo itu diseret keluar sama cowok."

"Okay. Gue bisa percaya kalau yang itu. Gue bisa percaya kalau lo sama Onta jadi begini karena gue. I'm very, very sorry for that." Cowok itu tampak agak frustasi juga. "Maksud gue ... tahu dari mana cowok itu lakinya cewek gue? Nggak ada buktinya juga kan? Modal ngebacot doang mah gampang, mau ngaku jadi lakinya siapa juga."

Ismail seperti sudah akan beranjak pergi dari situ—mungkin ingin segera mengecek langsung keberadaan Regina di kos si cewek—tapi langkahnya tertahan oleh rasa penasaran saat Gusti mengutarakan sebuah pertanyaan ke Iis.

"Terus maksudnya lo sama Zane mau cabut tuh apa? Sampe udah bawa-bawa ransel segala."

Alih-alih membalas tatapan Gusti, Iis melotot ke Bimo. "Tanya sama cewek lo."

Zane hanya bisa pasrah, tidak berniat menghentikan kemarahan Iis.

Bodo amat kalau mulai hari ini dia harus merealisasi janjinya pada Sabrina untuk angkat kaki dari villa ini.

Mendekati Sabrina sebelum 2021? It's impossible.

Jadi, setelah ini dia akan go with the flow saja. Bersikap sebagaimana seharusnya—cuek bebek ke Sabrina. Menunggu hingga cewek itu datang sendiri padanya di Relevent nanti.

"Sab?" Gusti menoleh ke Sabrina. "Care to explain?"

Sudah bisa ditebak, Sabrina tidak akan pernah bisa menjawab.

Alih-alih menjelaskan, cewek itu malah mengkerut di balik punggung Bimo dengan mata berkaca-kaca.



... to be continued


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top