31 | jatah apes seumur idup
31 | jatah apes seumur idup
Setelah mengonfrontasi Regina semalam, bukannya merasa lega karena beban di pundaknya jadi sedikit berkurang, Zane malah jadi meriang dan tidak bisa tidur. Dirundung rasa bersalah, seolah-olah dia habis melakukan dosa besar.
Dosa besar dari Hong Kong! Zane kan sudah berjasa menyelamatkan hidup Mail-menyelamatkan mental teman-temannya! Harusnya dia dapat Nobel Perdamaian!
Hopeless, mengingat perjalanan dari villa menuju tempatnya magang butuh waktu yang tidak sedikit, meski badan lemas, dia paksakan untuk keluar dari kamar.
Lantai satu sudah sepi. Semua orang pasti sudah berangkat, kecuali Sabrina yang terdengar masih teleponan di kamar.
Zane melirik nasi bungkus yang tersisa satu di meja dengan tidak bernafsu, kemudian sekali lagi melirik arloji di pergelangan tangan.
Well, hari ini kantornya akan menerima tamu pelajar dari Perth. Bisa dipastikan nggak ada waktu untuk sarapan lagi. Terpaksa Zane mendudukkan diri di meja makan.
Baru juga duduk, dia lalu mendesah karena tidak menemukan sisa sendok-garpu bersih pada utensil holder di meja.
Dengan langkah terseok-seok, terpaksa dia bangkit lagi. Sekalian mengambil gelas bersih dan mengisinya dengan air hangat.
Tak lama setelah dia mulai makan, Sabrina keluar dari kamarnya. Hanya meliriknya sekilas sebelum kemudian langsung menuju ke rak sepatu dekat pintu depan.
"FYI, sekarang udah jam setengah delapan." Cewek itu berujar tanpa menatap Zane, sambil mengenakan sepatu dan bersiap keluar.
Zane hanya berdecih pelan.
Dikira dia nggak punya jam apa? Dikira dia nggak bisa baca petunjuk jam di handphone?
Cih.
Tidak punya energi untuk menjawab, Zane berusaha menelan beberapa suapan lagi sebelum ikut meninggalkan villa.
~
Sorenya sepulang kerja, Zane kembali langsung masuk kamar. Bersyukur tadi masih kuat menyetir motor empat puluhan menit tanpa pingsan di jalan.
Begitu tubuhnya menyentuh kasur, dia langsung menarik selimut dan mencoba untuk tidur, tidak peduli belum berganti pakaian, apalagi mandi.
Dia sedang sakit.
Tapi tidak ada yang peduli.
Sabrina dan yang lain-lain sedang tertawa-tawa di lantai bawah.
Betapa menyedihkannya.
Entah berapa jam dia tertidur, pintu kamarnya terketuk, dan kemudian terbuka.
"Anak-anak mau order Pink Tempong. Lo mau disamain aja atau mau order yang lain?"
Ternyata Iis yang bertanya.
Zane menurunkan lengan yang menutupi matanya demi bisa menatap sang teman yang sedang berdiri di ambang pintu, kemudian menjawab pelan, "Samain aja."
"Okaaay." Iis mengangguk-angguk. Lalu sepertinya tersadar melihat tidak biasanya Zane langsung tidur sepulang magang. Masih pakai kemeja kerja pula. "Lo lagi nggak enak badan, kah?"
"Hm mm." Zane mengangguk pelan.
"Oh ... ya udah. Nanti makanan lo gue bawain ke sini." Iis memutuskan. "Lo bisa makan di depan kamar kalau nggak mau kamar bau makanan. Anyway, nanti sekalian dibawain atau dibeliin sesuatu? Lo ada obat, nggak?"
Zane agak terharu. Di villa ini, memang cuma Iis yang rada baik terhadapnya.
"Bawain air minum, deh."
"Okay."
"Thank you, Is."
"Yoi." Iis pun menutup kembali pintu kamar Zane dan Zane segera mendengar langkah-langkah cewek itu di luar.
~
Rasanya malam berjalan begitu lambat.
Lagi-lagi Zane tidak bisa tidur, padahal dia yakin tidak sedang memikirkan apa pun.
Dia juga tidak kelaparan, karena tadi sudah sempat makan Pink Tempong yang diantar Iis ke kamarnya.
Lalu kenapa?
Ah ... mungkin karena dia belum mandi?
Walau sudah hampir tengah malam, akhirnya Zane memutuskan untuk mandi dulu.
Saat mengambil pakaian ganti di lemari, samar-samar dia mendengar suara cewek dari kamar Ismail.
Zane mendesah pelan, merasa usahanya sia-sia.
Repot. Yang cewek tidak tahu malu. Yang cowok tololnya nembus langit. Percuma Zane membuang-buang energi untuk mereka.
Kehabisan air minum, Zane memutuskan turun ke dapur dulu. Di situ lah dia melihat Sabrina masih terjaga. Tengah menonton televisi seorang diri. Hanya melirik sekilas saat Zane berjalan dari tangga menuju ke arahnya-menuju ke arah dapur yang bersebelahan dengan living room, lebih tepatnya.
Di tengah jalan, Zane menghentikan langkah, mengurungkan niat.
Melihat Sabrina seperti menganggapnya tak ada, padahal Zane rela membolos magang untuk merawatnya tempo hari, jujur saja Zane agak sakit hati.
Walau semalam mereka berdebat, walau pada zaman ini Sabrina tidak menyukainya, bahkan membencinya, tapi apakah sopan bersikap begitu? Memangnya dia tidak pernah diajari yang namanya membalas budi?
"Sab ...." Zane memanggil, baru sadar suaranya makin serak dan makin lirih dibandingkan dengan saat bicara dengan Iis beberapa jam lalu.
Sabrina hanya menggumam pelan sebagai jawaban, sama sekali tidak repot-repot menoleh.
Zane mendesah. "Gue sakit."
Sabrina mengangguk, masih enggan menoleh. "Iya. Mbak Iis udah ngasih tau tadi."
"So?" Rahang Zane agak mengetat. Dadanya agak sesak. "Don't you feel like you have to return the favor?"
Sabrina balas mendesah. Dilanjut dengan decakan pelan.
Cewek itu kemudian meraih remote control dan mematikan televisi di depannya, mengumpulkan selimutnya di pelukan, kemudian bangkit berdiri menghadap Zane, terpisah oleh satu sofa besar. "Bang, udahlah, Bang. Please, stop bikin suasana jadi nggak nyaman." Cewek itu memohon. "Gue sadar mulut gue nyablak dan susah di rem, but you should know that you shouldn't take everything I said seriously. Masa lo nggak bisa bedain bercandaan sama omongan serius? Gue bercandain lo, bilang kalau lo diem-diem naksir gue, bukan berarti gue beneran mau hal itu terjadi." Cewek itu terlihat amat putus asa saat mengatakannya. "Sorry if I'm being rude and lacking of self-awareness here, tapi saran gue, kalau lo memang punya tempat tujuan lain selain di sini, kayaknya udah saatnya lo untuk mempertimbangin tinggal di tempat lain itu, deh. Gue sama Bimo bisa aja ngalah dan cari tempat lain. Tapi masalahnya, yang lo bikin nggak nyaman bukan cuma kita berdua. Bang Mail sama Regina juga. Mas Agus juga pastinya bakal ikut nggak nyaman begitu sadar lo nyari gara-gara terus ke kita."
Sabrina sudah bersiap pergi, tapi Zane lebih dulu maju dan mencekal satu pergelangan tangannya.
Tangan Sabrina terasa hangat, kontras dengan miliknya yang dingin karena baru selesai mandi. Tapi, tatapan cewek itu tidak ada hangat-hangatnya.
Tajam, dengan sedikit sorot rasa benci dan muak.
Pedih sekali Zane melihatnya.
Tapi apa mau dikata? Dia sendiri yang tidak bisa menahan lidahnya tadi malam dan kelepasan mengatakan hal-hal yang tidak perlu.
Bukan salah Sabrina jika cewek itu jadi makin salah paham.
Tapi apa harus, sampai memintanya pindah segala?
Zane masih bisa bertahan melihat Sabrina bergelayut manja di lengan Bimo setiap hari. Tapi, kalau dia harus keluar dari villa ini, harus tinggal berjauhan dengan pacarnya ini, bagaimana Zane tidak tambah gila?
"Okay." Dengan kepala terasa panas, sepasang mata juga terasa panas, Zane mengangguk lemah. "Gue bakal cabut secepetnya, sesuai mau lo. But at least, can you make me a hot milk? I felt very weak and couldn't sleep right now."
Sabrina melepaskan tangannya yang ada di ganggaman Zane. "Lo bisa megang tangan gue sekenceng ini, then you must not weak at all. Tolong jangan manfaatin keramahan gue lagi. I tolerate you all this time because you are Bimo's best friend. But even Bimo, who's usually super chill, is starting to get sick of you."
Kemudian Sabrina berlalu begitu saja. Meninggalkan Zane tercengang cukup lama sebelum menjatuhkan diri ke sofa terdekat.
Shit.
Badan cowok itu perlahan gemetar dan menggigil.
Dia perlu menelpon IGD secepatnya, tapi ... ponselnya ketinggalan di kamar.
~
Zane terjaga oleh sentuhan lembut di keningnya.
Tanpa membuka mata, dia menyentuh balik tangan itu.
Tangan Iis. Bisa ditebak dari ukurannya yang kecil.
"Lo nggak demam, kok." Iis menggumam saat mendapati suhu pada dahi temannya tidak beda jauh dengan dahinya sendiri. "Masih lemes emang?"
Zane mengerjapkan mata, membukanya perlahan. "Iya, dikit."
"Kenapa tidur di sini, sih?"
Zane menatap sekeliling.
Rupanya dia ketiduran di sofa, pantas saja badannya terasa remuk semua. Sudah lemas, remuk pula.
"Ketiduran." Dia menjawab pendek.
Iis berdecak dan ngedumel, tapi Zane tidak mendengarkan.
Zane menoleh ke arah pool area yang sudah agak terang. "Sepi amat? Belum pada bangun?" tanyanya.
Iis menggeleng. "Jogging. Sabrina, Bimo, Agus, sama Mail. Ini gue abis subuhan mau tidur lagi sebentar." Iis ikut menoleh ke pool area, kemudian menutupi mulutnya dengan satu tangan dan menguap. "Gue udah nitip sarapan ke anak-anak. Mending lo tidur lagi juga. Ntar gue bangunin."
Zane mengangguk-angguk, menatap punggung temannya yang sudah setengah jalan menuju kamar. Kemudian bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju kamarnya di atas.
Haruskah dia izin lagi? Mumpung tidak ada agenda penting di kantor hari ini?
Tidak, tidak. Zane tidak mau durasi magangnya tidak terpenuhi dan terpaksa harus extend di saat teman-temannya nanti sudah bisa kembali ke Depok.
Sekarang dia cuma lemas saja, nggak perlu terlalu manja.
Mengangguk-angguk, Zane melangkah menyusuri koridor di depan kamar Bimo.
"Zane Abram!" Tiba-tiba ada yang memanggil dengan suara keras.
Zane menoleh dan mendapati seorang cowok familier telah berdiri di pangkal tangga.
Lalu, belum selesai dia mencerna situasi, cowok berbadan sebesar Hulk itu telah maju duluan dan menjatuhkan bogem mentah di mukanya, diikuti dengan teriakan Iis yang tubuhnya tidak kelihatan di belakang sang pria.
Zane limbung, berpegangan pada teralis koridor supaya tidak terpelanting ke lantai. Tapi si cowok tadi tidak berhenti. Masih terus lanjut menjatuhkan beberapa bogem lagi hingga Zane merasakan tulang-tulang rahang dan pipinya bergeser semua.
"Mana istri gue?!"
Dengan badan lemas, Zane mengusap bibirnya yang terasa perih. Sekilas melihat Iis seperti mau mati berdiri. Pucat pasi.
"Kalau sampai gigi gue ada yang rontok, I'll sue you for an assault!" Zane mendesis pelan.
"MANA ISTRI GUE, BANGSAAAT?!" Tanpa mengindahkannya, cowok itu memukulinya lagi dan lagi.
Iis menangis dan memohon-mohon sambil memegangi lengan kaos si cowok, yang justru mengakibatkan badannya yang mungil itu terlempar dan kepalanya menabrak knop pintu kamar Bimo dalam sekali sentakan.
Zame ingin menolong, tapi tidak sanggup karena dia sendiri sudah terkapar duluan di lantai.
"Zane, istrinya dia siapa siiih?" Iis merengek di sela-sela rintihannya menahan sakit. "Emang kamu nyembunyiin istri orang? Rachel?"
Tentu saja Zane tidak bisa menjawab karena bogem demi bogem kembali mendarat ke mukanya.
Sekian detik berselang, di saat Zane sudah yakin dia perlu terbang ke Korea untuk membetulkan kembali wajahnya sekarang juga, baru cowok idiot itu berhenti.
Dengan nanar dia menatap ke arah lain di belakang Zane.
Tanpa perlu menoleh ke belakang, Zane sudah bisa menebak siapa yang ada di sana, beserta adegan-adegan berikutnya.
"Hah? Istri dia itu Regina?" Mengabaikan kepalanya sendiri yang masih sakit, Iis menangis meraung-raung meratapi muka temannya yang sudah tidak lagi bisa dikenali. "Tapi kenapa dia nyarinya elo? Bukan Ismail? Udah gila dia! Tunggu kita lapor polisi! Laporin si Ismail juga! Anjing semuanya!!"
Mendengar Iis misuh untuk pertama kali, Zane mesem dengan sisa-sisa otot wajah yang masih bisa digerakkan.
Well, meski semua rencananya kacau dan malah merugikan diri sendiri, at least, kali ini Regina terseret keluar villa dalam keadaan berbusana, ya kan?
... to be continued
a/n: plot twist tyda? 🤡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top