25 | semoga tembok nggak bisa ngomong




25 | semoga tembok nggak bisa ngomong



Sebelum Bimo muncul di lantai satu, Sabrina sudah duluan keluar dari kamarnya.

Sudah wangi, sudah rapi.

Rapi standar Sabrina, tentu saja. Kaos lengan pendek, skinny jeans, dan Converse putih. Rambut cokelat gelap tergerai, sudah dikeringkan, walau kelihatan belum kering-kering amat.

"Bimo belum turun?" tanya cewek itu pada Zane yang tengah sibuk menggalau sendirian di dapur, menunggu delivery makan malamnya tiba.

"Kelihatannya gimana?" Zane sewot. Jelas-jelas hanya ada dia seorang di situ, masih saja nanya-nanya!

Sabrina mengerucutkan bibir, menahan diri untuk tidak balas sewot, ingat jasa Zane mengecatkan rambutnya tadi. Cewek itu kemudian berjalan menuju dapur dan duduk di bar stool tidak jauh dari tempat Zane. "Mbak Iis weekend ini mau ke Surabaya. Mas Agus ada acara sama temen-temen baru. Bang Mail nggak usah ditanya lah ya, pasti sibuk pacaran. Kalau elo, mau ke mana, Bang?"

"Ngapain nanya-nanya?" Zane masih emosi karena tadi ditinggalkan begitu saja di pinggir kolam.

"Yaaa ...." Sabrina tampak ragu untuk menjawab. "Daripada lo jadi kambing congeknya Bang Mail sama Regina di sini, siapa tau lo pengen ikut gue sama Bimo. Bimo pasti ngizinin, sih."

"Apa bedanya? Tetep jadi kambing congek juga, kan?"

Sabrina terkekeh-kekeh pelan. "Paling nggak, lo nggak perlu denger ASMR delapan belas plus malem-malem."

Hmm ... Sebuah senyum tipis segera Zane tepis dari wajahnya mendengar pengakuan Sabrina bahwa dia dan Bimo sudah pasti nggak bakal ngapa-ngapain.

Satu alis Zane kemudian terangkat.

Ajakan yang lumayan tempting.

Kalau dia mengekor Bimo dan Sabrina, dia bisa memastikan mereka berdua nggak bisa deket-deket sepanjang weekend. Juga dia bisa mengatur strategi supaya pertemuan Sabrina dengan keluarga Bimo tidak berjalan terlalu mulus, biar first impression keluarga Bimo ke Sabrina nggak bagus-bagus amat.

Tapi ... Zane sebenarnya sudah punya rencana lain akhir pekan ini.

Dia mau ke Jakarta besok pagi.

Ada launching Bentley Bentayga. Dia dan Bapak Roger Abram yang terhormat berencana ikut test drive.

Zane jadi bimbang.

Lebih penting Sabrina atau Bentayga?

Yaaa ... Bentayga, lah!

Tanpa sadar Zane senyum-senyum sendiri.

Ofc, Sabrina penting baginya. Tapi Sabrina sudah pasti jadi pacarnya tiga tahun lagi tanpa dia harus melakukan apa pun sekarang. Malah berbahaya kalau dia terlalu ikut campur, sengaja merubah banyak hal, gimana kalau sampai merubah masa depannya? Sedangkan Bentayga? Jika dia tidak membujuk Bapak Roger dan menunjukan kepiawaiannya menyetir minggu ini, belum tentu Bapak Roger akan berbesar hati membelikan mobil itu untuknya. Bagaimana pun juga, memberikan Bentyga pada anak yang baru menginjak dua puluh satu tahun adalah tindakan berlebihan, bahkan bagi seorang Roger Abram sekali pun.

Okay, tekad Zane sudah bulat. Dia akan tetap ke Jakarta seperti rencana semula. Dia masih bisa lanjut mengganggu ketentraman Sabrina dan Bimo kapan-kapan.

Tak lama kemudian, Bimo muncul di bawah tangga, dengan wangi yang lebih semerbak ketimbang wangi Sabrina.

Sabrina langsung tersenyum cerah dan menghampiri pacarnya itu. "Bim, aku tadi ngajak Bang Zane ikut kita, tapi belum bilang kamu. Kasihan dia, di sini bertiga doang sama Bang Mail sama Regina."

Bimo mengalihkan pandangan dari Sabrina, ganti menatap Zane. "Mau ikut lo?"

Zane menggeleng. "Ogah."

"Kan?" Bimo berdecih pelan. "Percuma kasihan sama onta, babe." Cowok itu lalu merangkul pundak pacarnya. "Yuk, cabut sekarang."


~


Agenda weekend di Jakarta cukup padat. Zane tidak menyesal melewatkan tawaran menghabiskan waktu bersama Sabrina dan keluarga Bimo, karena sebagai gantinya dia lagi-lagi tidak sengaja melihat Regina dan suaminya di Soetta, serta berhasil mendapatkan video interaksi mereka secara diam-diam; lalu dia bertemu dengan Rachel yang memberitahu bahwa ruko di sebelah milik si cewek sedang dijual, yang mana akan menjadi tempat berdirinya Relevent tahun depan; dan yang paling penting, tentu saja, nama ayahnya sudah terdaftar sebagai salah satu pembeli pertama Bentayga di tanah air.

Zane berhasil pulang kembali ke villa Canggu pada Senin dini hari. Langsung tidur lelap. Capek tapi puas.

Paginya, ketika dia turun untuk sarapan setelah mandi dan bersiap-siap, semua orang tampak sudah berangkat menuju tempat magang masing-masing.

Zane pun sarapan dalam diam ketika kemudian mendengar sebuah pintu terbuka.

Zane menoleh ke sumber suara. Mendapati Sabrina keluar dari kamarnya. Masih mengenakan piyama.

Zane mengernyit heran. "Tumben jam segini belum siap-siap mau pergi?" tanyanya ketika si cewek tiba di dapur, mengambil gelas bersih dari rak, lalu menuju dispenser air.

Yang ditanya tidak segera menjawab. Menunggu gelasnya terisi dulu. "Emang nggak ada rencana ke mana-mana, kok."

Zane mengernyit lagi mendengar suara Sabrina lirih kayak belum sarapan. Padahal di meja makan tadi hanya tinggal satu doang nasi bungkusnya, yang berarti seharusnya tuh cewek sudah makan. "Kenapa?" Zane bertanya lagi.

"Period." Sabrina mengeluh lalu mengambil tempat duduk di dekat dispenser. Fokus minum.

Zane kembali menyendok dan mengunyah makanannya. Tapi pikirannya sibuk mengingat-ingat. "Bukannya bulan ini lo udah haid, ya? Yang katanya pagi-pagi heboh mau ujian renang, tapi bingung caranya make tampon atau menstrual cup. Dan Iis juga sama-sama nggak ngerti."

"Emang." Sabrina mengangguk samar. "Tauk nih, cepet banget siklusnya bulan ini."

"Sakit?"

Sabrina mengangguk lagi.

"Banget?"

"Masih bisa ditahan, sih."

"Bimo tau lo sakit?"

"Tadi pagi nggak sakit."

"Ck." Zane geram sendiri.

Ya memang sih, dia tahu kalau Sabrina nggak selalu sakit setiap datang bulan. Tapi dia juga tahu, kalau pas lagi sakit, Sabrina bisa sampai nggak sanggup ngapa-ngapain seharian, cuma bisa berbaring sambil berkeringat dingin.

Zane menghentikan aktivitas makannya walau belum selesai. Meraih gelas minumnya dan meneguk isinya untuk melarukan sisa-sisa rasa makanan di mulut. Baru kemudian kembali memandang Sabrina yang pagi ini kelihatan ringkih, tidak menyebalkan seperti sebelum-sebelumnya.

"Sebelum gue berangkat, is there anything I can do for you?" tanyanya, jelas khawatir.

Sabrina menggeleng.

Zane tetap berdiri, menuju ke dapur dan mencari-cari botol kosong.

Ada botol bekas sirup. Zane mengosongkan sisa-sisa isinya, ganti mengisinya dengan air hangat. Lalu memberikannya pada Sabrina tanpa banyak bicara.

Sabrina menatapnya dengan bingung.

"Buat kompres perut." Zane menjelaskan.

"Oh." Sabrina menerima botol itu dengan sungkan. Lalu mendekatkannya ke perut. "Gue bisa bikin sendiri, kali. But thanks."

Zane kembali duduk untuk melanjutkan sarapannya.

"Gue ke kamar dulu, Bang." Sungkan diperhatikan lama-lama, ganti Sabrina yang beranjak dari tempat duduknya.

Zane memperhatikan cewek itu sampai menghilang ke balik pintu kamarnya. Berusaha lanjut makan, tapi sudah tidak berselera.

Dengan kesal, dia meremas kertas nasi bungkusnya dan membuangnya ke tong sampah. Dia lalu mengecek kotak P3K yang tersedia di dapur dan tidak menemukan ada pain killer di sana. Jadilah dia memutuskan berjalan cepat ke convenience store terdekat. Membeli pain killer dan jamu datang bulan, siapa tahu nanti dibutuhkan, biar si cewek tidak perlu pergi sendiri.

Ketika dia kembali ke villa dan mengetuk kamar Sabrina, hanya terdengar rintihan pelan dari dalam.

"Gue beliin Kiranti, Sab." Zane memberitahu sambil memutar knop pintu.

Tidak ada sahutan lagi.

Zane membuka daun pintu lebih lebar dan melongok ke dalam.

Sabrina tengah berbaring miring di bawah selimut. Tidak menoleh padanya ketika Zane melangkah masuk.

Mendengar rintihan pelan lagi, Zane mempercepat langkah dan berjongkok di samping tempat tidur.

"Dingin ...." Sabrina mengeluh.

Segera Zane meraih remote AC dan mematikannya. Mendapati si cewek tengah memijit perut, sementara dahi dan pelipisnya berkeringat, Zane makin khawatir.

Shit. She looks very sick right now.

"Minum pain killer, biar bisa tidur, ya?" Zane mengeluarkan obat yang dia beli dan meletakkannya di meja. Keluar sebentar untuk mengambilkan air minum. Lalu membantu Sabrina minum obat.

"Thank you." Sabrina menggumam pelan sebelum kemudian mencoba memejamkan mata. "Gue udah nggak apa-apa. Buruan berangkat sana. Lo udah telat, tau."

Tapi Zane sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya di tepi tempat tidur.

Alih-alih segera berangkat, dia malah mengusap lembut keringat di dahi Sabrina. Lalu mengulurkan tangan untuk mengurut punggungnya.

Sabrina masih merintih-rintih pelan dengan mata terpejam.

Shit.

She now doesn't look like Bimo's girlfriend at all, but his girlfriend.

Tanpa bisa menahan diri, Zane merengkuh cewek itu erat-erat. Mencium pelipisnya dengan sayang. "While I'm here, I won't leave you unwell."



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top