24 | onta juga bisa sakit hati
24 | onta juga bisa sakit hati
Bisa-bisanya, minat Zane untuk tidur siang tiba-tiba menghilang begitu saja.
Alih-alih naik ke kamarnya sendiri, ketika Sabrina bilang mau keramas setelah hampir sejam mendiamkan cat rambutnya, Zane memutuskan ikut nimbrung bersama Bimo dan yang lain di meja makan. Menunggu menjadi saksi, bagaimana hasil mahakarya Agus mewarnai rambut anak orang.
Padahal mah, Zane sudah tahu hasilnya bakal kayak apa.
Norak banget.
Warna merahnya terlalu menyala akibat bleaching yang nggak kira-kira.
Padahal, udah bagus rambut kuntilanak natural Sabrina yang biasa. Eh, malah dianeh-anehin! Jadi kuntilanak cabe-cabean, kan!
"Yang milihin warna siapa, sih?" Zane bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
Agus, si mas-mas salon, berdecak pelan. "Anaknya sendiri, lah. Ya kali, gue?"
"Nggak lo nasehatin gitu, Bim?" Zane bertanya lagi. Kali ini sambil menatap Bimo.
"Kenapa harus?" Bimo bertanya balik.
Lalu Mail menimpali, "Tau nih, si Onta demen amat ngatur-ngatur orang. Udah kayak guru BP aja!"
Sementara Zane berdecak, Bimo melanjutkan jawabannya, "Ngewarnain rambut kan harmless decision. Buat apa gue mesti ngatur-ngatur segala? Hak Sabrina lah, mau ngecat rambut warna apa juga. Rambut, rambut dia."
"Tul." Mail manggut-manggut. "Lo kalau nggak mau diputusin sama Rachel, jangan gitu ya, Bro. Udah nggak zaman, cowok sok-sokan ngatur-ngatur penampilan ceweknya."
Lah? Malah Zane yang dinasehati. Dikira dia oon, apa? Jelas saja Zane nggak perlu dikasih tau soal itu. Zane sama sekali nggak pernah ngerecokin penampilan orang. Tapi ngecat rambut pakai warna merah terang? Please, deh. Mau jadi tim sukses PDIP?
"Ya udah, kalian lihat ana ntar hasilnya gimana." Zane memutuskan masa bodo. Lanjut scrolling-scrolling aplikasi ojek online, tapi masih tetap tidak bisa memutuskan mau makan apa. "Siang ini pada mau makan apa? It's on me."
"Baru jam sepuluh." Mail memberi tahu. Padahal Zane sudah tau.
Jelas-jelas angka penunjuk jam ada di pojok atas layar handphone masing-masing.
"Iya, gue udah laper lagi. Tapi kalau pada nggak mau ditraktir, ya udah."
Memang susah berteman dengan teman-temannya ini. Niat baik belum tentu akan disambut baik.
"Jujur, pengen bigul." Agus tiba-tiba memberi jawaban goblok.
Mail yang duduk di sebelah Agus seketika menabok temannya itu. "Jangan. Dosa kita udah banyak. Kalau yang lain masih susah lepas, seenggaknya, jangan babi."
"Bangke." Zane ngedumel.
Agus juga ikut ngedumel. "Yang banyak dosa, lo aja kali."
"Oh, gitu?" Mail jelas nggak terima, walau menurut penilaian sesama manusia, sudah pasti dia yang paling banyak dosa di antara mereka berempat. Cowok itu lalu membuka galeri ponselnya. "Mau gue kirim bill kita ke Finns semalem ke nyokap lo?"
"Anjing." Agus misuh-misuh.
Zane dan Bimo ngakak. Soalnya, dibanding mereka berdua, memang Agus lebih gila minumnya.
Agus memang poin plusnya nggak main cewek. Tapi bukan berarti nggak banyak dosa.
"Udah, lah. Gue pesen nasi tempong aja, ya." Zane memutuskan sepihak.
Tak lama mereka semua diam, sibuk dengan ponsel atau laptop masing-masing, pintu kamar Sabrina terbuka.
Semua serempak menoleh. Harap-harap cemas ketika siluet rambut merah mekar muncul duluan sebelum muka pemiliknya kelihatan.
"Nah, apa gue bilang? Nggak ada pantes-pantesnya." Zane mendesis pelan, dengan wajah penuh kemenangan.
Cepat-cepat Bimo menginjak kaki cowok itu, sebelum Sabrina berjalan makin dekat dan bisa mendengar omongannya.
"Gimana, Babe? Happy sama hasilnya?" Bimo bertanya dengan senyum sok cakep terulas di wajah, membuat Zane mau muntah melihat sang teman begitu mahir menyembunyikan muka ilfilnya.
"Happy." Sialnya, Sabrina tampak tidak sadar diri bahwa warna merah sangat buruk dipadukan dengan wajah dan warna kulitnya. "Mas Agus rata nge-bleaching-nya, jadi hasilnya juga bagus."
Bagus dari Hongkong???
"Iya, lah." Agus malah sesumbar. "Anyway, Abang Onta udah beliin makan siang buat kita semua, jadi nggak usah keluar buat cari makan lagi, ya, Sab. Abis ini bobo siang aja, nanti sore baru kita pergi main. Oke?"
"Oke." Sabrina manggut-manggut kayak bocah. Dia lalu menempati kursi di antara Bimo dan Zane. Sadar ada muka-muka nggak ngenakin di antara mereka, cewek itu tiba-tiba menoleh ke Zane. "Kenapa ngelihatinnya gitu?"
Kontan semua noleh ke Zane sambil melotot.
Ditekan dari segala penjuru begitu, Zane terpaksa tidak jujur. "Nggak apa-apa. Silau aja."
~
Pagi-pagi, sebelum ada yang bangun, Zane melihat sosok berambut merah telah jumpalitan di pinggiran kolam renang yang remang-remang.
Zane sama sekali tidak ada niat untuk ngerecokin, tapi tiba-tiba saja langkah kakinya sudah menuju ke teras belakang.
Dia lalu bersandar pada kusen pintu. Menatap Sabrina yang sedang melakukan stretching.
"Lo mau renang sekarang banget? Baru diwarnain sehari, emang tuh rambut udah nggak luntur? Jangan ngotor-ngotorin air kolam, deh."
Sabrina menoleh. Menatap galak. Tanpa menghentikan gerakannya meregangkan kaki. "Lo nggak pernah tahu yang namanya swimming cap, ya?"
Shit.
Zane mengerucutkan bibir, tidak menjawab. Keki parah.
Bisa-bisanya dia lupa?
"Bang, kalau lo nyari ribut mulu sama gue, bisa-bisa gue makin curiga, sebenernya lo ada perasaan." Cewek itu menegakkan tubuh.
Satu alis Zane terangkat. "Sama lo? Nggak udah kegeeran."
"Sama Bimo." Sabrina berdecak. "Kalau sama gue mah, wajar. Walau udah tau gue pacarnya Bimo, di luar sana masih banyak aja cowok lain yang naksir gue, yang nunggu gue sama Bimo putus. Cuma ... kalau emang lo naksir gue, apa nggak sungkan sama Rachel? Sekampret-kampretnya cowok naksir cewek lebih dari satu di saat yang bersamaan, minimal yang mirip-mirip, kek. Yang setara. Jangan jomplang-jomplang amat. Nanti Rachel overthinking." Sabrina terkekeh geli, kayak setan. "Ya udah lah ya, lo naksir gue aja. Bimo mah, udah biasa bersaing. Jangan malah naksir Bimo. Pusing gue kalau saingannya elo."
Tuhan ... tolong kembalikan Zane ke 2021.
~
Jumat sore, baru juga Zane mendudukkan bokong di lounge, menyelonjorkan kaki, menghirup udara segar teras belakang villa mereka, tau-tau pintu depan menjeblak terbuka.
Sabrina masuk dengan tergopoh-gopoh. Sudah pasti dengan tampilan acak-acakan, lusuh, berkeringat, dan bau matahari, khas bocil habis main panas-panasan.
"Belum ada yang pulang, ya?" tanya cewek itu pada Zane.
Zane menunjuk mukanya sendiri dengan wajah datar.
"Selain elo?" Sabrina bertanya lagi, tidak sabar.
"Belum ada."
"Yaaah." Muka si cewek kecewa maksimal.
Zane melengos.
Tega nian tuh cegil menunjukkan muka sekecewa itu pada Zane? Seolah eksistensi Zane sungguh tiada guna.
"Boleh minta tolong, nggak?" Habis menyakiti hati Zane, tu cewek malah beringsut mendekat tanpa tahu malu.
"Enggak." Zane menjawab datar.
"Please."
"Enggak, ah. Lo selalu nyebelin ke gue."
"Pleaseee." Tanpa aba-aba, cewek itu duduk bersimpuh di lantai, di sebelah tempat Zane duduk. Lalu meraih tangan Zane, menggenggamnya dengan kedua tangan, lalu menempelkan dahinya ke sana. "Please, please, please. Gue nggak tau mau minta tolong siapa lagi. Please, bantu warnain rambut gue jadi gelap lagi. Papanya Bimo mau dateng. Masa gue muncul kayak gini?"
"Lah?" Makin kesal Zane jadinya. "Siapa yang kemarin-kemarin pede banget ngecat warna gonjreng begini, dan bilang kalau pendapat orang lain itu nggak penting?"
"Pendapat orang lain mah emang nggak penting. Pendapat camer, baru penting."
Camer pala lo peyang! Tiga tahun lagi, camer lo namanya Bapak Roger Abram!
"Cat rambut ada yang mirip shampoo, fyi. Pake itu aja. Jangan ngerepotin orang." Zane menyahut sensi, mengibaskan tangan Sabrina yang menggenggam tangannya.
Sabrina mengerang pelan. "Nggak ada di mana-mana. Aku udah muter-muter nyari dari tadi. Selain itu, takut nggak rata juga. Pleaseee, help me, Bang. Sumpah, ini terakhir gue ngerepotin elo."
Kalau alasannya bukan untuk ketemu bapaknya Bimo, Zane pasti mau-mau aja, deh, menolongnya! Lah ini? Mau ketemu bapaknya cowok lain, dia kira, hati Zane selapang itu?
Setelah ditolak begitu, Sabrina tak kunjung pergi. Masih saja bersimpuh di lantai.
Zane meliriknya.
Si bocil hampir menangis.
Bangke, bangke. Bukan urusan Zane, bukan salah Zane juga, tapi melihatnya memelas begitu, Zane jadi merasa berdosa.
Sebal, Zane menghela napas panjang.
"Ya udah. Mana, sini," katanya, terpaksa.
"Beneran?" Sabrina seketika tampak berkaca-kaca. Terharu, karena ternyata Bang Onta nggak sejahat itu.
Dalam sekejap, si cewek sudah duduk di lounge yang sama, membelakangi Zane.
Zane yang seumur hidup nggak pernah ngecat rambut, terpaksa harus menyabar-nyabarkan diri menggunakan sarung tangan plastik yang sama sekali nggak nyaman dipakai, berusaha meratakan semua pasta pewarna rambut menggunakan sisir semir ke helaian-helaian rambut Sabrina yang luar biasa tebal dan panjang.
"Yang belakang udah rata, kan?" Sabrina memang dasarnya nggak tahu diri.
Tapi Zane sudah puas menjambak tuh cewek selama dua puluh menit belakangan, dengan dalih rambutnya nyangkut di sisir. "Kalau nggak percaya, warnain aja sendiri."
"Gue nggak bisa, Bang. Makanya minta tolong."
"Ya udah, jangan banyak nanya. Gue juga udah berusaha sebisanya." Zane ngedumel. "Dan jangan gerak-gerak. Gue suruh ganti kalau sampe baju gue kena cat lo."
"Idih." Sabrina bersungut-sungut. Diancam begitu, baru mau mematung, daripada harus mengganti baju Zane yang kayaknya bermerek mahal.
Setelah selesai semua, Zane menggulung rambut si cewek dan membungkusnya dengan shower cap.
"Thank you so much." Sabrina sampai cium tangan Zane segala.
Zane berdecak. "Gara-gara lo, tangan gue jadi bau cat. Udah dicuci, nggak ilang-ilang."
Sabrina cuma meringis tipis.
Sementara Zane kembali selonjoran di tempat semula, Sabrina mengklaim lounge sebelah dan merebahkan badan, sambil menunggu waktunya keramas.
Zane sepertinya juga sempat tertidur, karena tahu-tahu matahari sudah turun, dan Bimo telah berjongkok di sebelahnya, sedang membangunkan Sabrina.
"Sab, bangun, yuk." Bimo menyentuh pelan bahu si cewek. "Jadi ikut, nggak?"
Sebentar saja Sabrina sudah mengerjapkan mata. "Papa kamu udah nyampe? Tunggu aku mandi sebentar, ya."
"Aku juga mau mandi dulu."
Selanjutnya, sepasang manusia itu menghilang, masuk kamar masing-masing, bahkan tanpa permisi ke Zane yang telah amat sangat berjasa.
Ck. Sakitnya hati Zane.
... to be continued
Kalau kalian ga komen sih, gw yang cakit ati. 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top