20 | adulting is hard
Sabrina jatuh dari kursi saat sarapan esok paginya, membuat seisi villa geger.
Nggak pingsan, cuma lemas saja, karena kecapekan dan habis begadang.
Tapi selain alasan yang disebutkan si cewek, ada hal lain yang tak luput dari perhatian Zane. Pagi ini Sabrina terlihat awkward di depan Ismail.
Well, sangat bisa dimengerti.
Zane aja awkward saat tadi bersitatap dengan Regina. Apalagi, dalam kasusnya, bukan cuma ikut jadi saksi perbuatan tidak senonoh si cewek bersama Ismail di gazebo tadi malam, tapi juga apes karena tahu duluan mengenai latar belakang si cewek, yang sungguh di luar nalar.
Jangan ditanya apakah Zane merasa bersalah telah menyembunyikan hal itu dari Ismail dan lain-lain atau tidak.
Tentu saja tidak.
Let karma do its job.
Tak lama duduk sendirian di meja makan, Zane melihat Ismail keluar dari kamar tempat Sabrina diungsikan.
Kemudian, cowok itu menawarinya kopi.
Tidak sampai lima menit, secangkir long black sudah tersedia di depan muka Zane.
Wangi dan sedikit mengepulkan asap. Ten out of ten.
"Thanks." Zane menarik cangkir kopinya mendekat. Lalu mereka berdua mulai makan dalam diam.
Sebenarnya, kalau lagi mode siang begini, Ismail is not that bad tho. Dia teman yang baik dan nyambung, malah. Jauh lebih baik ketimbang Agus yang medit dan perhitungan.
Sayangnya, kalau mode malam sudah on, Zane tidak sanggup berkata-kata. Anjing dan babi aja masih terlalu bagus untuk dipakai mengumpatinya.
"Sebenernya gue geli mau ngomongin ini, tapi sebagai temen yang baik, gue nggak mungkin diem." Zane mulai buka suara, membuat Ismail mengernyitkan dahi dan sejenak menghentikan aktivitasnya mengunyah. "Semalem Sabrina lihat lo di gazebo."
Ismail mendengarkan dengan saksama. Menunggu Zane menjelaskan lebih lanjut.
"Kayaknya dia denger suara lo sama Regina di gazebo, pas dia turun ke dapur."
Mail yang masih nggak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka ini lalu menelan makanannya. Minum sedikit. Baru kemudian bertanya, "Terus?"
"Gue nggak tahu apa aja yang udah sempet dia denger atau lihat, tapi yang jelas ..." Kalimat Zane mengambang, sungguh merasa enggan mengatakannya. Terlalu menggelikan. "... lain kali lebih aware aja. Kalau mau aneh-aneh, lihat-lihat tempat, ada bocah apa enggak. Kasihan, dia kelihatan shock banget semalem. Lagian ... kayak di rumah ini kekurangan kamar aja!"
Seketika Ismail ternganga.
~
Lama-lama, Zane tidak bisa membohongi diri sendiri.
Jiwanya sudah tiga tahun lebih dewasa. Berlagak jadi bocah dua puluh tahun terus-menerus juga akhirnya terasa melelahkan. Dan ... membosankan.
Bergaul dengan ABG-ABG idiot, kalau tidak wawas diri, bisa-bisa dia ikut terjerumus. Apalagi dengan adanya Ismail, yang level idiotnya sudah tidak tertolong.
Maka dari itu, sebagai satu-satunya penghuni kontrakan yang waras, Zane memutuskan mundur selangkah. Berhenti bersikap kekanak-kanakan. Kayak apa tuh, semboyan Ki Hajar Dewantara. Tut wuri handayani? Wkwkwk.
"Stop senyam-senyum sendirian. Creepy, tau!" Iis tiba-tiba nongol dan duduk di sebelah Zane, di gazebo villa Canggu—sepulang dari liburan di Ubud, yang berakhir tidak terlalu menyenangkan setelah Sabrina berlagak mau pingsan.
"Apa sih, Is?" Zane menyahut dengan sabar. Mengulurkan satu tangan untuk menjewer pipi temannya yang kayak bakpao.
"Ngelamun jorok, ya? Karna cewek lo mau dateng?"
"Nggak kebalik? Linggar duluan kan, yang mau ke sini?"
Iis meringis. Mukanya super imut.
Melihat cewek ini membuat Zane sejenak berpikir.
Nih cewek nggak ada minusnya. Tapi kenapa cowok-cowok di circle mereka nggak ada yang mendekati, sampai-sampai diembat duluan sama Linggar? Emang valid label yang dia berikan tadi. Idiot. Daripada sama cewek-cewek yang pernah dipacari teman-temannya, Iis jauh lebih baik.
Well ... yeah ... wajar sih kalau Mail nggak mendekati Iis. Soalnya doi melihat cewek dari *****nya, bukan dari tampang, apalagi kepribadiannya. Tapi Bimo? Atau Agus deh, yang jomblo ngenes dari lahir?
"Dia di sini cuma semalem aja, kan?" Zane bertanya lagi.
Iis mengangguk. "Iya. Acara kantornya di Denpasar cuma dua hari. Habis jam kerja hari pertama, dia mau izin ke sini. Besok paginya balik ke Denpasar lagi."
"Berarti cuma bisa pergi main bentar doang." Zane manggut-manggut. "Ya silakan aja kalau mau keluar sampe malem. Nggak akan gue laporin ke nyokap lo. Tapi perginya ke tempat yang rame-rame aja. Balinya sih aman, walau jam berapa pun juga. Tapi isi kepala cowok lo, nggak tau deh."
Mendengar itu, Iis memutar bola mata. "Emang ada, tempat yang sepi di Canggu?"
~
Tidak ada masalah dengan kedatangan Linggar.
Linggar dan Iis nggak kayak Ismail dan Regina. Sebelum jam sepuluh, pasangan berbudi luhur itu sudah kembali ke villa.
Yeah, Ismail dan pacarnya—alias cewek yang menjadikan dia selingkuhan—juga pulang sebelum jam sepuluh, sih. Bedanya, dua makhluk dengan akhlak tak tertolong itu langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Apa lagi kalau bukan untuk menambah pundi-pundi dosa?
"Gue nanti di kamar lo?" Linggar bertanya ketika Zane—yang baru pulang dari makan malam seorang diri—bertemu dengan dia dan Iis di ruang tamu.
"Yoi." Zane mengangguk. "Kamar Bimo atau Ismail udah nggak nerima tamu soalnya. Kamar Agus ... no. Nanti di lantai satu nggak ada yang ngawasin. Soalnya Agus apatis. Bisa aja kan, lo diem-diem pindah ke kamar sebelah?"
"Astaghfirullah ... busuk banget prasangka lo." Linggar nyebut, dan Iis melotot.
Setelah itu, Zane berpapasan dengan Sabrina yang hendak naik ke kamar Bimo.
Zane menghela napas pelan, melihat cewek yang memang demen nyari masalah itu, seolah kejadian di Ubud nggak bikin dia kapok.
"Anak perawan mending tidur di bawah aja, sih. Di atas tuh berisik. Nanti lo jadi dewasa sebelum waktunya," katanya menasehati.
Tapi bukan Sabrina namanya kalau mau mendengarkan omongannya begitu saja. "Ya elah, Bang. Lo kira gue bocah?"
"Emang bukan?"
"Gue udah sarjana sex ed, kali. Desahan Regina dari kamar Mail nggak bakal bikin gue kenapa-napa. Elo aja mungkin, yang blingsatan sendiri denger suara mereka?" Cewek itu melengos. Lalu sebelum pergi, Zane memergokinya sekilas menatap ke bawah.
Shit.
Is she staring at his bulge?
Sontak Zane menangkup selangkangan dengan tangan. "Tolong sopan santunnya dijaga, ya."
Protes Zane itu hanya dijawab dengan kibasan rambut kuntilanak.
#TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top