16 | ustadzah, liat ustadzah!

Vote n komen juseyoooo~


Besok paginya, Zane skip bangun subuh-subuh.

Sudah bangun, sih. Maksudnya, dia skip melakukan modus pada Sabrina subuh-subuh.

Hatinya masih sakit mendengar hinaan cewek itu semalam.

Tulang rusuknya kelihatan, dia bilang? Awas aja, tiga tahun lagi kalau tuh cewek bernafsu melihat badannya, nggak bakal Zane kasih jatah! Huh, enak aja menjilat ludah sendiri! Zane masih punya harga diri!

Dengan perasaan gondok, alhasil, alih-alih langsung turun, begitu bangun dia memutuskan melakukan olahraga di kamar. No tools. Karena memang villa mereka tidak menyediakan peralatan olahraga sama sekali.

Tapi, sadar olahraga ala kadarnya begini nggak akan begitu berpengaruh, agaknya mulai nanti sore atau besok, Zane perlu mendaftar membership di tempat magang Agus dan Mail. Lumayan, dua bulan kalau dilakukan secara intensif, bisalah mulai menampakkan sedikit absnya.

Hampir sejam kemudian, sebelum pergi mandi, Zane memelototi badannya yang tidak ada indah-indahnya di depan cermin. Lalu ia menyempatkan diri mengirim pesan ke grup, bahwa dia menitip dibelikan sarapan dua porsi, pada siapapun yang bertugas membeli sarapan pagi ini.


~


"Tumben makan lo banyak?" Gusti mengernyitkan dahi melihat sohibnya pagi-pagi udah kayak buto ijo. Rakus. Padahal, untuk orang yang posturnya tidak kecil dan tidak pendek, soal makan Zane nggak pernah barbar kayak anak kosan pada umumnya.

"Lagi bulking." Zane menjawab singkat, tidak mengurangi kecepatannya mengunyah.

"Biar apa?" Iis ikut heran melihat kelakuan temannya yang mendadak absurd. Pagi-pagi makan segitu banyak, yang ada bikin kebelet berak di jalan! "Mail yang kerempeng aja santuy. Bulking tuh ntar kalau udah balik ke Jakarta. Konsul dulu ke nutritionist. Terus nge-gym pake PT. Jauh-jauh ke magang ke Bali, bukannya dipake santai-santai, malah nyiksa diri."

Mail yang namanya disebut-sebut seketika menghentikan aktivitas sarapannya dan bertopang dagu. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan anggun sembari menunggu Iis selesai ngomong. "Udah, Babe, ngomongin guenya?"

Iis mengangguk, sama anggunnya.

"Gue sama Onta mah beda situasi." Mail dengan sabar menjelaskan. "Doi bulking buat gedein tytyd. Kan ceweknya mau dateng minggu depan. Kalau gue kan nggak perlu. Soalnya udah gede dari sononya."

Bimo buru-buru menutup telinga Sabrina dengan kedua tangan, sementara Iis dan yang lain serempak kehilangan selera makan.

"Ada apa, Bim? Sorry, aku nggak fokus dengerin." Melihat semuanya tiba-tiba meninggalkan meja, dengan raut polos yang entah asli atau dibuat-buat—hanya Sabrina dan Tuhan yang tahu—Sabrina menatap Bimo.

Bimo melepaskan tangannya dari telinga sang pacar. "Nggak ada apa-apa, Yang. Baguslah kamu nggak dengerin. Omongan orang-orang ini emang kayak sampah semua."

Dengan kebucinan yang tak tertolong lagi, Bimo mengusap saus mentega yang tertinggal di sudut bibir cewek di sebelahnya itu, kemudian mengajaknya lanjut makan.


~


Sorenya, seperti biasa, Zane menjemput sahabat tercinta supaya bisa pulang bersama. Sudah tidak peduli jika Sabrina berpikir yang tidak-tidak mengenai kedekatannya dengan Iis.

Sampai di villa, ternyata Bimo, Agus, dan Sabrina telah tiba lebih dulu.

Sabrina sedang lomba renang bersama Agus. Sedang Bimo tampak duduk dengan laptop terbuka di Gazebo. Biasa, Agus lagi dikadalin Bimo, supaya ngemong Sabrina selagi dia sibuk.

"Paket lo udah nyampe! Gue taruh di dapur!" Bimo berseru ketika melihatnya lewat.

"Thank you." Zane menyahut, kemudian langsung naik untuk ganti baju, sebagaimana Iis juga langsung masuk kamarnya sendiri.

Setelahnya, baru Zane turun lagi untuk membongkar paket kilat yang baru semalam dia beli itu.

"Nggak ikut nyebur? Kayaknya seger tuh." Iis keluar kamar, dengan pakaian rumahan yang nyaman.

Zane melirik ke kolam, tidak tertarik. "Males."

Cowok itu mengaduk-aduk sesuatu yang kental berwarna cokelat dalam gelas, membuat Iis tertarik.

"Apaan, tuh?"

"Protein shake."

"Eeewh. Lo serius bulking-nya?"

Zane mengangguk. "Lo harus minum juga, biar cepet tinggi."

Sebelum Zane sok-sokan mengelus puncak jilbabnya, Iis lebih dulu berkelit. Nggak sudi diperlakukan kayak bocah.

"Zane, kalau goblok tuh diem-diem aja, bisa nggak? Jangan nampak-nampak banget. Ngilfeelin, tau?" Perempuan itu melengos ke arah bungkusan makanan yang tadi dia beli dan geletakkan di meja.

Zane cuma mendengus pelan, lalu melenggang santai ke arah teras belakang, selonjoran di lounge.

Iis menyusul dengan sepiring gorengan yang baru saja dia bongkar. Tapi bukannya berhenti untuk menawari Zane, tuh cewek bogel malah berjalan lurus ke gazebo dan menyuruh Zane pindah ke sana kalau mau.

"Cih, makan aja semuanya!" Zane menyedot protein shake-nya dengan bangga.

Karena tempat duduknya tepat berada di depan kolam, mau tak mau dia jadi memperhatikan dugong berpakaian renang backless one piece yang seliweran di hadapannya.

Kagak ada cakep-cakepnya. Cuma ABG rese biasa. Zane meyakinkan diri sendiri.

Tapi kemudian ketika si ABG rese itu menepi dan menaiki kolam, lalu berjalan ke gazebo demi bisa mencomot bakwan goreng di piring Iis, Zane menelan ludah tanpa sadar.

Don't, gumamnya dalam hati. Don't sexualize a minor. You're not this low.

Tapi sulit.

Zane benar-benar nggak ngerti, bagaimana bisa si cewek dengan santainya mengenakan pakaian renang seterbuka itu, di saat banyak predator di sekelilingnya? Emang dia kira, Agus dan Bimo yang sok alim itu beneran alim? No way. Bimo udah pro. Dan Agus nggak akan nolak juga kalau ada cewek seksi mendekati.

Padahal juga, sejak hari pertama, justru Sabrina yang mengingatkan Zane tentang aturan berpakaian di villa, kan?

Yeah, well ... pool area adalah pengecualian sih, karena nggak mungkin juga renang pake mukena dan sarung, tapi kan ....

"Weekend pertama kasih kita nginep di Ubud dong, Bos." Ucapan Agus berhasil membuyarkan keruwetan di kepala Zane.

"Hah?" Zane mencerna sesaat sebelum akhirnya nyambung. "Ngapain nginep? Perjalanan ke sono paling juga cuma sejam."

Lalu Ismail datang.

Gusti langsung menghasut supaya Mail mau membantu membujuk dirinya.

"Emang villa di Ubud, minggu ini ada yang kosong?" Iis, yang sudah kenyang dan berniat kembali ke kamar, bertanya ketika melewati lounge yang diduduki Zane.

Zane mengangkat bahu. "Villa segitu banyak di Ubud, masa nggak ada satupun yang kosong?"

"Punya lo, bege. Kan Agus ngajak nyari gratisan."

"Anggep aja punya gue semua. Nginep semalem doang, berapa duit, sih?"

"Anjrit." Iis lelah bicara dengan spesies langka ini. "Ya jangan gitu lah. Kalau villa lo penuh, fair-fair-an aja. Kita patungan buat sewa villa lain."

"Patungan segala, ribet ngitungnya."

Iis mengelus dada.

Untung Zane bukan anaknya. Sungguh Iis bakal jantungan kalau dia sudah banting tulang, tapi duitnya malah dipake foya-foya.

"Tapi gue bawa temen, boleh?" Pertanyaan dari Ismail itu mengalihkan perhatian Iis dari Zane.

"Siapa?" Agus bertanya.

Kuping Zane juga jadi ikut siaga.

"Regina."

Asyem. Musibah ini, musibah.


~


Menolak menggunakan energinya untuk ikut campur memikirkan masa depan Ismail yang suram, Zane pun memutuskan bangkit menuju dapur. Karena nggak ada mbak yang bisa dimintai tolong, sejak di Bali dia jadi punya keahlian baru: mencuci gelas.

Setelah beres, dia pun melangkah cepat ke tangga.

Tapi dia tidak sendirian.

Ada orang lain yang juga melangkah ke sana dengan kecepatan yang sama.

Alhasil, mereka berdua—dia dan Sabrina—jadi tergencet di anak tangga pertama, yang lebarnya memang cuma muat untuk satu orang itu.

"Lo nggak mau ngalah sama gue?" Sabrina melotot.

Zane melotot balik. "Kenapa gue mesti ngalah? Lagian, kamar lo kan di bawah! Ngapain lo mau ke atas segala?!"

"Nggak denger itu ada suara shower dari kamar mandi gue? Kalau Mbak Iis lagi make kamar mandi, ya gue terpaksa ngungsi ke kamar mandi Bimo, lah!"

"Itu di bawah juga ada kamar mandi umum, lagi kosong. Alesan aja!"

"Nggak ada shampoo di situ, Bang Ontaaa! Lagian, gue duluan yang nyampe sini!" Sabrina makin melotot.

"Enak aja lo duluan! Perlu lihat CCTV?" Zane beneran nggak mau ngalah sedikitpun, segera memutar otak. Di saat Sabrina mulai terlihat goyah, mulai meragukan keyakinannya sendiri, dengan licik cowok itu melirik handuk yang dikenakan si cewek. "Pake handuk yang bener! Tuh pentil lo ngejiplak!"

Tapi Sabrina nggak semudah itu termakan trik kotor Zane. Sambil memegang erat handuk di depan dada, dia masih tak gentar, menggencet balik Zane ke tembok.

"Bang, Bang Maiiil!!" Dengan sama liciknya, si cewek memanggil bala bantuan terdekat. "Bang Zane ngomong jorok ke gue!"

"Ngomong apa dia?" Dengan tololnya, Mail masuk dalam perangkap ular betina.

"Katanya, pentil gue ngejiplak, padahal enggak. Pikiran dia aja yang ngeres! Masa dia mengobjektifikasi gue!"

Tersulut emosi, Ismail pun melangkah cepat menghampiri, lalu menjewer telinga Zane keras-keras, membuat temannya itu meringis kesakitan dan kehilangan fokus untuk menghalangi jalan Sabrina.

"Lo naik duluan, Sab," kata Mail sok bijak, sebelum kemudian melotot ke temannya. "Ngeres boleh, tapi nggak ke pacar temen sendiri, ya Onta. Gue panggilin ustadzah Iis juga, nih, biar ditempeleng ke surga!"


#TBC

Bantu kasih ide modus buat Zane dooong gaissss. Kasian dese modusnya gatot mulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top