12 | menang telak


"Telat!"

Zane menggerutu mendengar pintu penumpang di sebelahnya terbuka.

Tapi Sabrina segera membantah. "Enggak! Sumpah! Nih, timer gue tepat sepuluh menit!"

Cewek itu menyodorkan ponselnya ke muka Zane, tapi Zane langsung mengenyahkannya dari depan muka bahkan tanpa melihat terlebih dahulu, lalu segera tancap gas.

Tentu saja, tidak membiarkan Zane merasa tenang sedikit pun, begitu kendaraan telah meninggalkan villa, Sabrina mulai mengoceh tiada henti.

Mulai dari mengutarakan keinginannya menggantikan Zane menyetir, menyebut Zane pelit ketika Zane menolak, mengatakan mereka berdua sebenarnya mirip: dari kepribadian yang buruk sampai postur dan tampang, dan lain sebagainya yang nggak penting dan masuk akal.

Overall, cewek itu berisik sendiri, sama sekali tidak tersinggung bahkan ketika Zane tidak menanggapi.

Jujur, dibanding kesal, Zane agak sedikiiit merasa gemas padanya.

Semangat yang terpancar dari suara dan tingkah Sabrina, anehnya, dengan mudah menular ke orang lain hingga mood Zane jadi cukup baik walau kurang tidur.

Apalagi, kali ini Sabrina terlihat cantik ketika sesekali Zane mencuri pandang ke arahnya.

Rambutnya yang belasan menit lalu basah kuyup, kini hampir mengering berkat angin ribut yang berasal dari jendela yang terbuka di kiri kanan mereka berdua. Mini dress kembang-kembang bertali spaghetti yang dia kenakan sedikit berkibar-kibar, tapi Zane tidak berniat protes.

Bukan karena dia mesum dan mau mengambil untung! No way! Tapi karena dia ingat Sabrina di zaman ini paling nggak bisa mendengarkan omongannya. Jadi buat apa Zane susah payah mencoba?

Perjalanan mereka memakan waktu hampir dua puluh menit hanya untuk menempuh jarak empat kilometer. It's insane. Zane cuma bisa berdoa semoga Sabrina bertaubat dan tidak menyuruh-nyuruhnya menemani ke pasar lagi lain kali.

Dan tentu saja, sepanjang sesi belanja, she talks a lot.

Tapi tidak masalah. Zane sudah mempersiapkan diri.

Dengan senyum miring terulas di bibir, dia telah mengeluarkan ponsel dan merekam semua gerak-gerik cewek yang berjalan di depannya itu, sejak mereka berdua turun di parkiran tadi. Memastikan semua orang yang nantinya akan melihat video ini, akan terbuka matanya bahwa Sabrina memang pecicilan dan nggak bisa diam, dan insiden yang menimpanya sama sekali nggak ada hubungannya dengan Zane.

"I said be careful, it's slippery," ujar Zane sok peduli, memastikan suaranya terekam jelas.

Bahkan tak tanggung-tanggung, dia mengulurkan satu tangannya ke depan kamera.

"You can take my hand, if you want to," ujarnya lagi.

Tentu saja si cecunguk menolak dengan percaya diri.

"No, thanks. Lebay amat, di pasar pake gandengan segala!"

See? Zane tidak akan membiarkan dirinya dituduh lagi kali ini.

Sambil terus mengikuti langkah Sabrina dan menerima kantong-kantong belanjaan baru darinya, Zane mengingat-ingat kapan tepatnya peristiwa yang dia nanti-nantikan tiba.

Dan kemudian, dari sebuah tikungan di depan, seorang anak kecil berlarian.

This is it.

Zane mengarahkan kameranya ke tempat lain biar natural.

Lalu, dengan mata kepala sendiri, untuk kedua kalinya dia melihat anak kecil tadi menyenggol Sabrina. Membuat sang cewek oleng, dan mengulurkan tangan ke arahnya, menggapai-gapai minta tolong.

Zane mundur selangkah, sibuk menahan tawa ketika melihat salah satu kaki Sabrina terjeblos ke selokan basah, jatuh menubruk kios di sebelahnya dengan tangan refleks menjadi tumpuan.

Yep, yang dia jadikan tumpuan adalah peti telur. Yang isinya otomatis pecah berantakan tertimpa tangannya.

Zane berjengit ngeri.

Pasti sakit banget tuh. Dan malu setengah mati.

Ketika kemudian semua orang sudah memandang ke arah mereka, serta ibu-ibu sang pemilik kios berlarian keluar memeriksa dagangannya, sedang Sabrina menjadi pucat pasi dan membatu di posisinya, Zane menarik napas panjang, segera mengantongi ponsel ke saku setelah memastikan suara paniknya terekam.

It's time for him to be a hero.

Segera Zane menarik tangan sang cewek pembuat onar supaya berdiri, menjauh dari selokan. Sesaat ngeri melihat salah satu Converse-nya berubah warna dari merah menjadi kehitaman.

"It's okay. This can happen to anyone." Dengan gaya kebapakan, Zane menyingkirkan cangkang telur dari lengan sang cewek. Sebelum kemudian bertanggung jawab atas semua kekacauan yang terjadi: meminta maaf dan membayar sepeti telur yang jadi korban.

Tadinya, si ibu pemilik kios menawarkan untuk memisahkan telur yang pecah dan yang tidak, supaya Zane tidak perlu membayar semuanya—lima belas kilogram. Tapi Zane menolak, biar cepat. Dia lalu meminta kuli angkut pasar membawa semua belanjaan mereka ke parkiran, memasukkannya ke bagasi. Tak lupa, ia membeli dua pasang sandal jepit mengingat sepatu mereka, terutama Sabrina, sudah nggak karuan wujudnya.

Sementara Sabrina?

Sudah jelas, she looks like she's about to cry.

Dengan bangga Zane segera memindahkan baseball cap dari kepalanya ke kepala cewek manja itu, biar muka merahnya nggak kelihatan orang-orang.

"Let's get back home," katanya, super duper lemah lembut.

Dia rangkul pacar masa depannya itu keluar pasar. Mampir dulu ke toilet umum supaya Sabrina bisa membersihkan diri.

"You okay?" tanyanya melirik khawatir pada sebelah kaki Sabrina yang kini menampakkan luka baret memanjang di betis, ketika sepuluh menit kemudian Sabrina telah memasukkan sepatu busuknya ke kantong kresek dan selesai mencuci tangan serta kakinya.

Cewek itu mengangguk pelan.

Zane berjengit sedikit, mau tak mau ada rasa iba di hati.

Tapi melihat tak tampak ada apotek atau convenience store dekat situ, dia memutuskan mereka pulang dulu saja.

"Kita pulang sekarang, ya," ujarnya.

Dan Sabrina pun mengangguk lemas.

Di villa, Zane tidak membiarkan cewek itu langsung masuk kamar begitu saja.

"Tunggu sebentar, gue ambil P3K."

Dan dengan sabar, dia meminta Sabrina duduk di kursi rotan ruang tamu sementara dia berjongkok di depannya, membersihkan luka di kaki mulus si cewek yang pagi ini bau comberan dan bau amis. Kemudian menutupnya dengan pembalut luka anti air.

"Udah, sekarang lo mandi sebelum Bimo dan yang lain-lain dateng."

Zane bangkit berdiri.

Masih dengan kesabaran penuh, Zane mengacak-acak rambut cewek di depannya itu, berlagak sayang.

Sabrina menatapnya, mengerjapkan mata beberapa kali dengan ekspresi bingung sekaligus terharu, sebelum kemudian pamit.

Tentu saja, ketika akhirnya Bimo, Gusti, dan Mail pulang dari acara jogging mereka, Sabrina yang baru selesai mandi segera menangis heboh di pelukan pacar masa kininya.

Agak gondok melihat adegan cheesy itu, but at least, Zane punya barang bukti yang kuat untuk membuat si Bimo merasa bersalah, alih-alih menyalahkannya karena jadi satu-satunya orang yang mungkin menjadi penyebab Sabrina menangis.

Bahkan, Zane bisa angkat tangan dari acara kerja bakti bersih-bersih mobil dan villa dari kekacauan yang Sabrina ciptakan.

"It's okay. Cuma gitu doang. Tinggal kalian bersihin aja seperti semula, biar gue nggak kena marah Om pas balikin mobilnya," ujarnya jemawa setelah Bimo meminta maaf atas nama Sabrina. "Berhubung gue belum tidur sama sekali karena baru nyampe udah diseret cewek lo ke pasar, boleh ya, gue cabut sekarang?"

"Mau ke mana lo?" Gusti bertanya heran.

"Hmm, nggak tahu. Nyari kamar yang enak deket-deket sini paling. Badan pegel dan ngantuk banget, mau nyari kasur yang tinggal nempatin dan wangi, nggak perlu beres-beres lagi, berhubung kamar gue di sini aja belum dipasangin sprei."

"Kan lo bisa numpang di kamar gue dulu." Gusti bersuara lagi, tapi Zane menggeleng.

"Gue nggak mau numpang-numpang, kayak orang susah. Oh ya, satu lagi, kalau nanti kalian buang sampah, sepatu gue di bagasi, tolong dibuangin sekalian."

Woah. Zane lalu melenggang keluar villa, berasa di atas angin. Amat bangga melihat ekspresi tak enak hati pada ketiga temannya. Bahkan, kali ini dia merasa super ganteng walau hanya memakai sandal jepit murahan.

Di teras, dia bertemu dengan Iis yang baru saja tiba, diantar Linggar—calon pacarnya beberapa minggu ke depan.

"Zane ...." Seperti halnya empat orang di dalam, Iis juga menunjukkan muka penuh dosa. "Sorry, gue tinggal di sini juga, nggak bilang-bilang elo," katanya itu dengan kedua tangan saling bertaut memainkan kuku dengan canggung, sementara Linggar sibuk membantu supir taksi menurunkan koper-koper dari bagasi. "Lo udah ketemu Sabrina juga kan, pasti?"

Zane mengangguk, mesem.

"Lo nggak marah?" Iis bertanya lagi.

"Kenapa harus?" Zane masih konsisten sok bijak. "Bayar sewanya kan patungan. Kalau tiga orang lainnya udah satu suara, ya otomatis suara gue jadi minoritas dong? It's okay, nggak usah ngerasa nggak enak. Let's be housemates for the next two months, peacefully."

Iis mengangguk-angguk walau masih tidak enak hati. "Sekarang lo mau ke mana?"

"Nyari hotel. Gue belum tidur semaleman. Di sini berisik."

"Alright." Iis mengangguk-angguk lagi. "Selamat istirahat, kalau gitu."

Sepeninggal Iis, Zane bersiul pelan.

Sepertinya ... hari-hari ke depan akan menyenangkan.


#TBC

Dari 1-10, senyebelin apa papijen di part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top