27 - Memories
Let's write our story
And let's sing our song
Let's hang our pictures on the wall
All these precious moments
That we carved in stone
Are only memories after all
Shawn Mendes - Memories
.
.
Jogjakarta, 2012.
"Maksud kamu apa, Nad?" Suara Gino meninggi. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan nanar. Pandangannya beralih pada penampilan gadis itu yang tidak memakai seragam.
"Aku tahu kamu pasti marah." Nadine mengerucutkan bibirnya.
"Kamu mau pergi tiba-tiba gini? Nggak pamit dulu sama aku, sama Mami. Aku nggak nyangka," kata Gino ketus.
Pagi itu, Nadine datang ke rumah Gino untuk memberitahukan kepindahannya ke Jepang bersama keluarganya. Gadis itu akan berangkat pukul sebelas pagi pada hari yang sama. Nadine sebenarnya tidak ingin memberi kabar mendadak pada Gino, tapi ia sendiri baru dapat kabar tersebut dua hari yang lalu dari ibunya.
"Aku minta maaf, Gino." Nadine menundukkan kepalanya. "Aku mau kasih tahu kamu lebih awal, tapi buat apa? Jaraknya cuma dua hari aja. Itu juga nggak bikin aku bisa nolak permintaan mama sama papa."
"Seenggaknya aku bisa kasih kamu hadiah! Atau kita bisa pergi ke mana gitu sebelum kamu ke Jepang!" Rahang Gino mengeras, urat di lehernya terlihat menonjol.
Gadis itu meraih tangan Gino dan menggenggamnya. "Aku tahu kamu marah. Nggak apa, karena aku juga marah sama keadaan. Sama mama papa. Juga sama kamu." Ia menatap Nadine heran. "Karena rasa sayang kamu ke aku, nggak akan bisa bebasin aku dari orangtua aku."
Gino langsung merengkuh tubuh Nadine dan memeluknya erat. Padahal lelaki itu sudah berusaha semampu yang ia bisa untuk melindungi Nadine. Akan tetapi, ternyata itu tidak pernah cukup. Nyatanya ia belum mampu melindungi gadis itu dari orangtuanya sendiri. "Maafin aku Nad, maafin aku." Gino mengusap rambut Nadine lembut.
"Aku nggak marah sama kamu Gino, karena aku juga sayang sama kamu," kata Nadine pelan, tapi tetap dapat didengar Gino.
Oh ya, lelaki itu tidak buta akan perasaannya pada gadis itu ataupun sebaliknya. Namun, bagi Gino, jalinan persahabatan lebih nyaman. Ia juga tidak ingin hubungannya dengan Nadine berubah jika memberanikan diri untuk mengubah status mereka. Karena lelaki itu percaya, jika Nadine memang takdirnya, Tuhan akan menyatukan mereka.
***
Setelah enam tahun tak berjumpa, tidak ada perubahan berarti yang Gino temukan pada gadis yang duduk di depannya. Nadine terlihat cantik dengan penampilan modis. Rambutnya yang bergelombang sebahu, dengan cat ombre pirang dan ungu memberikan kesan fresh pada gadis itu.
"Nggak usah bayar. Itung-itung aku lagi sedekah sama gelandangan," kata Gino setengah menyindir, saat melihat Nadine hampir mengeluarkan uang dari dompet.
Nadine mendengkus. "Makasih, kamu emang pengertian banget, ya .... "
"Udah kenyang?" Nadine mengangguk. "Sekarang, ceritain dari awal kenapa kamu nggak pernah ngontak aku pas sampai di Jepang."
"Nomor kamu nggak aktif, e-mail aku nggak pernah kamu bales. Media sosial kamu nggak aktif," jawab Nadine santai.
"Hape aku ilang. Aku lupa semua password media sosial aku."
Nadine membulatkan matanya. "Aku kira kamu marah sama aku dan nggak mau berhubungan lagi sama aku. Ya udah. Terus, kamu juga nggak cari kontak aku, kenapa?"
"Ya, aku kira kamu emang sengaja putus kontak," jawab Gino acuh.
Gadis itu tertawa. "Astaga, aku baru sadar kita emang secuek itu, ya?" Gino ikut terkekeh, membenarkan perkataan gadis itu. "Tapi, aku follow Instagram kamu Gin, makanya aku tahu kontak kamu."
"Kamu nggak minta folback aku?" tanya Gino heran.
"Ya kan, aku kira kamu marah sama aku."
Gino mengembuskan napas. Ya percuma juga membahas apa yang sudah berlalu. Itu tidak akan mengubah apa-apa. "Kenapa kamu kabur sekarang, Nad? Orangtua kamu gimana nanti?"
Wajah gadis itu mendadak sendu. "Aku dipaksa kuliah kedokteran di sana, Gin. Padahal aku mau jadi designer. Papa aku bener-bener nggak ngasih aku kebebasan. Apalagi setelah dia nikah lagi."
Gino mengangkat tangannya. "Tunggu, papa kamu nikah lagi?"
"Mama aku kena kanker. Kami ke Jepang emang karena mau dampingi mama pengobatan. Terus, mama meninggal kamu nggak tahu? Tahun 2015, kami pulang, buat makamin mama. Terus, balik lagi ke Jepang," jelas Nadine.
Gino menyugar rambutnya. Bagaimana bisa ia tidak mengetahui hal ini? Teganya Nadine tidak memberi tahu kabar penting seperti ini padanya. "Lanjut."
"Mobil aku dikasih pelacak. Aku pernah sekali ke pelatihan design baju, terus papa aku ngurung aku di rumah. Dia sita mobil aku, kartu kredit, jadi aku nggak bisa pergi kemana-mana tanpa izin papa aku. Tanpa supir papa," tutur Nadine.
"Kalau papa kamu tahu di mana kamu sekarang, tolong jangan libatin aku," tukas Gino dengan nada bercanda. "Katanya kamu butuh tempat tinggal? Emang kamu mau tinggal di Jogja berapa lama?"
Nadine menggeleng. "Belum tahu, yang jelas aku butuh tempat tinggal sama pekerjaan. Aku nggak bisa pakai kartu kredit aku, nanti papa aku bisa lacak aku. Kamu bisa bantu kan Gin? Please?"
"Tinggal di cafe ini aja. Lantai duanya ada kamar aku. Daripada kamu tidur di kolong jembatan," katanya terkekeh. "Kalau masalah pekerjaan, kamu bisa kerja di cafe ini. Tapi, tetap pegawai aku yang mutusin kamu layak atau nggak."
Mata Nadine berbinar, bibirnya tersenyum begitu lebar. "Serius? Ah, Gino! Kamu baik banget sih. Eh, berarti kita tidur satu kamar?"
Gino menoyor kepala Nadine. "Jangan ngarep! Aku udah pindah, makanya aku nawarin kamu tinggal di sini."
"Oke, oke ... kapan aku bisa mulai kerja?"
"Nanti aku kabarin kamu lagi, ya .... " Gino membuka ponsel, lalu membaca pesan dari ibunya. "Eh Nad, kapan-kapan kamu harus main ke rumah mami, dia bakalan seneng ketemu kamu lagi."
"Siap, bos!" seru Nadine semangat. "Eh Gin, kalau aku mau jalan-jalan, kamu bisa nganterin aku nggak?"
"Sorry ya aku udah taken," kata Gino tertawa. "Aku ada dua temen jomlo. Mau aku kenalin ke mereka?"
'Tajir nggak? Kan lumayan kalau tajir," kata Nadine penuh harap.
"Dasar mata duitan!" Gino beranjak dari kursinya. "Aku balik dulu ya, mau kencan sama istri."
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Gino mampir untuk membeli cheese cake pesanan Andara. Bertemu kembali dengan Nadine setelah bertahun-tahun putus kontak sangat menyenangkan. Membawa kenangan manis yang pernah mereka lalui kembali muncul ke permukaan. Ia ingin segera mempertemukan Andara dan Nadine. Lelaki itu penasaran, apakah kedua perempuan itu akan cocok satu sama lain.
Gino tersenyum lebar. Ia bangga kepada dirinya sendiri karena dulu tidak meminta Nadine menjadi pacarnya. Bayangkan jika mereka sempat berpacaran, pasti kalau bertemu lagi akan terasa canggung. Namun, yang paling melegakan adalah karena keputusannya itu, ia tidak menjebak Nadine dalam hubungan berlandasan perasaan semu. Ia sudah lama sadar jika perasaannya pada Nadine hanya perasaan sayang, nyaman dan ingin melindungi, karena gadis itu satu-satunya sahabat perempuan yang ia miliki.
***
Pukul tiga pagi suasana malam sangat sunyi dan dingin. Dari kejauhan terdengar suara derikan jangkrik dan berbagai macam serangga lain. Andara mendesah pelan saat merasakan Gino memeluknya dari belakang. Ia membuka matanya perlahan dan menghela napas saat melirik jam digital di atas nakas.
"Kenapa bangun?" Andara berbalik menghadap suaminya.
Gino merapatkan tubuh mereka dan menenggelamkan wajahnya pada rambut Andara. Lelaki itu menghirup wangi khas istrinya, yang sangat ia sukai. "Kebangun aja."
"Mau lanjut tidur?" tanya Andara. Sebagai seorang istri tentu saja ia harus memahami kebutuhan sang suami dan harus siap saat Gino minta untuk dilayani.
"Kamu masuk jam berapa, Bunny?" tanya Gino dengan suara serak, khas orang bangun tidur.
"Jam delapan. Kamu?"
"Aku masuk jam sepuluh. Masih bisa tidur lagi," jawab Gino tanpa membuka matanya.
"Kalau kamu mau, ayo, keburu nanti subuh. Cuma ada waktu satu jam loh." Andara menyandarkan wajahnya di dada Gino dan menciumnya. "Kalau kamu tunda besok-besok, keburu aku dapet tamu bulanan."
Gino terkekeh. "Bisa aja nih ngrayunya." Lelaki itu menciumi puncak kepala Andara, lalu turun mencium kening, mata, hidung dan bibir istrinya dengan lembut. Andara membalas ciuman Gino, yang semakin lama semakin intens, membuat darahnya mengalir ke jantung lebih cepat.
Saat Gino melepaskan pagutan mereka, dada laki-laki itu naik turun, terengah-engah. Senyuman terukir di bibirnya saat mendapati istrinya yang sama terengah-engah dengan bibir membengkak. Dengan tatapan penuh kasih, Gino membelai rambut lebat Andara dan mengecup ujung hidungnya.
"I love you, Bunny."
Setelah melakukan aktivitas suami-istri mereka, Gino dan Andara menunaikan salat subuh berjamaah. Lelaki itu beranjak menuju meja rias di kamarnya dan mencari hair dryer untuk mengeringkan rambutnya yang masih lembab. Ia menarik Andara untuk duduk di tepi tempat tidur dan dengan telaten mengeringkan rambut istrinya.
"Biar nggak masuk angin," kata Gino saat Andara protes.
"Aku kan mau masak," tukas Andara.
"Nggak usah masak, tidur aja habis ini. Pasang alarm jam tujuh. Masih bisa tidur dua jam kok," kata Gino. "Sarapannya roti tawar aja, sama susu. Kalau nggak mampir di luar."
"Beneran?" Andara menoleh, memastikan keinginan suaminya.
Gino mengangguk. "Nah, sekarang udah kering, ayo tidur lagi. Aku tahu kamu ngantuk banget." Ia mendorong Andara ke tengah tempat tidur, lalu berbaring di sebelahnya.
"Kalau bangunnya kesiangan gimana?"
"Masih minggu pertama. Jangan panik." Gino memeluk Andara, menjadikan wanita itu bersandar di dadanya. Ia lalu mengusap-usap kepala istrinya agar cepat tertidur. Dan benar saja, belum ada sepuluh menit, Gino sudah mendengar napas teratur Andara, yang menandakan jika wanita dalam pelukannya sudah menjelajahi alam mimpi.
TBC
***
Apakah Gino akan berubah jadi bangcat? Hahahaha...
Btw, pantau terus ya akun IGku, tungguin tanggal PO-nya dirilis...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top