11 - At The Beginning
We were strangers
Starting out on a journey
Never dreamin'
What we'd have to go through
Now here we are
And I'm suddenly standin'
At the beginning with you
Anastasia - At The Beginning
.
.
Memulai sesuatu tidak pernah mudah, apalagi memulai berumah tangga. Karena memulai sesuatu butuh pondasi kuat. Ini diibaratkan menaiki tangga, saat pijakannya rapuh, tidak kokoh, tentu saja sulit untuk melanjutkan perjalanan dan butuh perjuangan keras agar dapat mencapai anak tangga selanjutnya tanpa terperosok. Seperti juga pernikahan Gino dan Andara, yang tidak punya landasan kuat. Tak ada cinta, tak ada sayang, hanya sebatas komitmen.
Anak tangga pertama mereka sudah rapuh dari awal. Jadi, butuh strategi jitu agar dapat melanjutkan ke anak tangga kedua. Untungnya Tuhan menciptakan manusia dengan banyak akal. Kalau rapuh, bisa diperbaiki dengan beli papan yang baru, atau memasang tali untuk berayun sampai ke puncak, tanpa harus meniti anak tangga. Semuanya terserah Gino dan Andara tentu saja. Mau berusaha menumbuhkan benih-benih cinta dan menjadikannya sebagai landasan pernikahan mereka, atau tetap menjalankan komitmen tanpa hati itu dan menunggu cinta di antara mereka dengan sendirinya bersemi atau layu sebelum sempat mekar. Namun, saat ini keduanya belum sempat memikirkan hal rumit yang akan mengubah takdir mereka itu, karena mereka disibukkan dengan pembagian pekerjaan rumah dan merapikan barang-barang Gino yang baru sampai di rumah kontrakan Andara sore ini.
"Barangmu banyak banget Gin, astaga ..." Andara mengeluh untuk ke sekian kalinya saat harus menata perabotan Gino di dapur. "Lagian kamu ngapain bawa alat masak gini sih?"
"Biar kamu belajar masak," jawab Gino.
"Enak aja, aku bisa masak ya," kata Andara sewot.
"Ya ... masa di rumah nggak ada oven, yang bener ajalah, Bunny? Kan aku juga harus nyiptain menu-menu baru buat cafe aku." Gino menarik kardus berisi puluhan koleksi sepatunya. "Ini taruh mana ya Bunny? Masa taruh kamar aku? Sempit dong."
Andara menoleh dan mendengkus lelah. Ia hampir pingsan tadi saat tahu Gino membawa almari khusus untuk koleksi sepatunya. Dia saja yang perempuan tidak punya sepatu sebanyak itu. "Taruh ruang teve aja, dipinggirin. Kamu kan nggak perlu bawa sepatu banyak-banyak Gino."
"Jangan ngomel-ngomel terus, udah selesai kok. Tinggal baju aja." Gino masuk ke kamar untuk menata pakaiannya di almari.
Andara menghela napas lega. Ia lalu mengambil handuk, berniat mandi untuk menyegarkan badan dan melepaskan penat. "Aku mandi dulu, kamu mau makan apa nanti malem?"
"Tadi kita dibawain banyak makanan mami sama ibu juga, 'kan? Tinggal diangetin aja," kata Gino.
"Syukur deh, kalau kamu mau makan itu. Aku nggak usah masak."
***
Pengantin baru identik dengan pasangan yang lagi anget-angetnya bermesraan. Makan sepiring berdua, minum satu gelas berdua, selimut satu buat berdua, bantal buat tidur berdua. Akan tetapi, itu tidak terlihat pada Gino dan Andara. Boro-boro apa-apa berdua, Andara mau ngambilin Gino makan aja udah sesuatu yang harus disyukuri lelaki itu. Harusnya, Gino sangat menikmati hari pertama mereka pindah ke rumah Andara. Tidak ada orangtua yang mengawasi mereka membuatnya bebas melakukan apa saja, termasuk ritual malam pengantin. Tapi, malam ini ia malah sibuk di ruang teve mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan besok.
"Kita mau sewa ART nggak?" tanya Gino membuka percakapan.
"Nggak usah lah. Kita bagi kerja aja," kata Andara.
"Setuju, kamu yang nyapu, cuci piring, nyetrika terus beres-beres ya. Eh, sama masak juga." Gino menyengir sedangkan Andara memberengut tidak terima.
"Terus, kamu ngapain? Hah?"
"Aku cuci baju, kan cuci baju nggak gampang Bunny. Aku juga bakal bantuin kamu beres-beres sama masak kok," ujar Gino.
"Nggak gampang apanya? Tinggal masukin ke mesin cuci, jadi!" tukas Andara.
"Ya kan ... aku masih kuliah, masih harus belajar."
Mendengar jawaban Gino, Andara ingin melempar toples cemilan yang berada di dekatnya pada lelaki itu. Lelaki dengan seribu alasan biasanya tidak bisa diandalkan! Andara menarik napas dalam-dalam, mencoba menekan emosinya yang siap meledak, lalu kembali fokus pada laptopnya melanjutkan menonton tutorial make up dari Suhay Salim.
Andara sadar, perannya sebagai istri harus bisa melayani suami. Ia juga yakin, pasti dirinya yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mana mau bocah itu beres-beres rumah? Seperti adiknya yang sangat malas jika berurusan dengan bersih-bersih rumah atau melakukan pekerjaan rumah lainnya.
"Kamu nggak marah kan Bunny?" tanya Gino saat Andara tidak menyahutinya.
"Nggak kok," jawab Andara tidak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.
"Oke, deh." Gino kembali mengerjakan tugasnya sambil sesekali melirik ke arah Andara. Ia tidak yakin dengan jawaban istrinya itu. Tidak marah, kok cemberut?
***
Awal pernikahan adalah masa pengenalan kebiasaan dan kekurangan pasangan masing-masing. Apalagi pada kasus Gino dan Andara yang tidak mengenal satu sama lain sebelumnya. Mereka buta satu sama lain. Dan pagi ini Andara harus dihadapkan dengan salah satu kebiasaan buruk Gino. Tidur lagi sehabis salat subuh.
Wanita itu harus menggunakan tenaga ekstranya untuk membangunkan Gino yang terlelap dengan terlilit sarung di tempat tidur. Awalnya, ia tidak tahu jika Gino tertidur lagi, tapi saat pukul tujuh pagi ia memanggil lelaki itu untuk sarapan dan tidak mendengar jawaban dari kamar, buru-buru Andara datang ke kamar suaminya dan mendapati lelaki itu masih di alam mimpi.
"Gino! Bangun!" Andara menggoyang-goyangkan tubuh Gino. "Buruan sarapan, aku udah bikin ayam semur! Kamu nggak boleh telat di kelas aku loh Gino!"
"Ngghhh .... " Bukannya bangun, Gino malah mengganti posisi tidurnya dan memeluk bantal guling.
"Giorgino! Aku hitung tiga kali, kalau nggak bangun aku tumpahin air!" Ancam Andara.
Karena tidak mendapat respon yang diinginkan, terpaksa Andara mengambil segelas air, dan menumpahkannya ke wajah Gino membuat lelaki itu gelagapan lalu membuka matanya.
"Bangun, mandi terus sarapan. Jangan sampai telat masuk kelasku," ujar Andara.
Gino bangun dan mengucek matanya. Ia mengikuti Andara keluar. Wanita itu mendorong Gino masuk ke dalam kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, lwlami itu keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit tubuhnya.
"Apa-apaan kamu nggak pakai baju?!" pekik Andara.
"Mana bisa pakai baju, aku kan nggak bawa baju ke kamar mandi. Kamu tadi asal dorong aku," kata Gino lalu masuk ke kamarnya dan berganti baju.
Tidak lama kemudian Gino keluar, menggunakan kaus oblong merah muda dengan celana putih pendek selutut. Ia bergabung di meja makan bersama Andara yang menunggunya. Istrinya itu bahkan sudah mengambilkan sepiring nasi hangat dan buah apel yang sudah dipotong-potong di dalam piring. Tapi, masih ada yang kurang pikir Gino.
"Bunny, susu putih aku mana?"
"Hah susu? Nggak ada susu, kita kan nggak beli susu ke sini."
"Yah ... nggak ada, ya?" Gino mendadak terlihat lesu.
"Kamu harus banget minum susu Gin?" tanya Andara, suaminya mengangguk.
"Kalau nggak ada susu kurang lengkap rasanya," jawab Gino sembari mengambil potongan ayam semur ke piringnya.
"Aku bikinin teh gimana? Kamu kan nggak suka kopi." Andara merasa bersalah. Wajah Gino benar-benar terlihat kecewa, persis seperti bocah sepuluh tahun yang mendapati susunya habis.
"Nggak usah, aku beli susu kotak aja nanti pas berangkat."
Setelah selesai sarapan, Andara sudah bersiap untuk berangkat ke kampus, sedangkan Gino masih santai duduk di ruang tamu. Bahkan lelaki itu belum memakai kemeja dan celana jeansnya.
"Kamu kalau berangkatnya mepet, kejebak macet bisa telat," kata Andara.
"Loh kamu udah mau berangkat aja? Aku kira kita berangkat bareng."
"Jangan ngarep. Kita nggak akan berangkat bareng. Nanti banyak gosip, malesin." Pandangan Andara menangkap cincin yang tersemat di jari manis Gino. "Kamu beneran mau pakai itu ke kampus? Kalau ada temen yang nanyain gimana?"
"Ya bilang aja udah nikah sama Dualipa. Atau kamu mau cincinnya aku pindah ke jari tengah, biar nggak ditanyain?"
"Terserah kamu deh. Yang penting jangan sampai ada yang tahu." Andara berjalan ke luar rumah.
"Bareng ya, please? Aku nggak bawa motor, kalau bawa mobil sendiri kan nambah kemacetan. Kamu turunin aku di Fakultas Psikologi aja deh nggak apa-apa aku jalan. Please, ya?" Gino menahan lengan Andara. "Ayolah Bunny, sekali ini aja. Nanti sore aku bakal ambil motorku di rumah mami."
"Buruan ganti baju!" kata Andara terpaksa.
TBC
***
Selamat liburannn...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top