39. Accident
Seharusnya dia sudah berada di bandara saat ini, menunggu pesawatnya yang akan Take off, mengingat satu jam lagi penerbangannya akan segera berangkat, tapi apa yang sedang dia lakukan? Oh! anggap saja otak pria itu memang sudah bergeser dari tempatnya. Kewarasan tidak mampu lagi mendominasi akal sehatnya. Lihat saja apa yang dia lakukan saat ini? Berdiri mematung seperti orang bodoh di depan rumah seorang gadis.
Apa yang ingin dia lakukan? Anehnya tidak ada yang dia lakukan saat ini, hanya berdiri diam memandangi pintu kayu berplitur sederhana itu dengan tatapan kosong seperti orang kehilangan jiwanya. Tidak ada satupun kata yang terucap dari bibirnya, mungkin memang pria itu sudah terlalu bingung hingga tidak mampu lagi mengungkapkan apa yang dia inginkan saat ini.
Jika boleh jujur, ingin sekali dia menggedor pintu itu kuat-kuat, melihat dengan mata kepalanya sendiri seseorang yang berada di dalam sana, tapi dia tidak ingin egois, ini bahkan sudah lewat tengah malam, pria itu tidak ingin mengganggu siapapun. Memang waktunya saja yang tidak tepat, pria itu bersumpah dalam hati bahwa dia harus melihat wajah wanita itu lagi, entah kapan keinginan itu dapat terwujud, yang pasti dia harus melihatnya, karena itulah untuk saat ini dia mencoba menahan kuat keinginannya, belum saatnya, ini bukan saatnya, pria itu terus menggumamkan mantra tersebut, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Dia harus bersabar dan menunggu waktu yang tepat suatu saat nanti.
“Kau harus menungguku Park Hyo Reen.” dia bergumam seperti pada dirinya sendiri, tanpa ada satupun orang yang mendengar suaranya, tempat itu terasa begitu sunyi untuknya, dia bahkan bisa mendengar helaan nafas beratnya sendiri. Dinginnya malam seolah tidak menjadi penghalang untuknya, dia masih ingin tetap berada di sini, menunggu dan menunggu. Seharusnya memang dirinyalah yang patut menunggu, tapi sepertinya takdir belum berpihak kepadanya, karena pria itu menyadari waktunya semakin menipis, dia harus segera pergi, pergi dengan perasaan berat yang membebani dirinya. Pria itu perlahan membalikkan tubuhnya, langkah kakinya menyeret perlahan, membawa tubuhnya menjauh dari tempat tersebut.
Tanpa pria itu sadari ada sepasang mata yang sejak tadi terus memperhatikan gerak-geriknya. bahkan sejak pria itu baru saja tiba di depan rumah itu. Mata coklat itu memang masih terus terjaga sejak tadi, tubuhnya beranjak bangun ketika mendengar suara deruman mesin mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya, rasa penasaran itulah yang membuatnya berdiri di belakang pintu, mengintip kecil dari celah tirai jendelanya. Fakta yang dia dapatkan sungguh mengejutkan dirinya, apa yang akan pria itu lakukan mendatangi rumahnya saat malam semakin larut seperti ini?
Mata coklat itu terus mengawasi semua pergerakan yang pria itu lakukan, tidak banyak memang, pria itu hanya diam, pandangan matanya menerawang jauh ke depan, pekatnya malam sedikit mengaburkan raut wajah pria itu. Dia terus menunggu, dengan pandangan matanya yang tidak pernah lepas menatap sosok pria itu. Hingga satu jam berselang tubuh pria itu mulai menandakan suatu pergerakan dan kini sudah menghilang di balik pintu mobil, lalu mengilang di dalam kegelapan malam. Sejak tadi ingin sekali dia membuka lebar-lebar pintu yang menjadi penghalang di antara mereka, berlari mengejar pria itu, mencegahnya pergi, namun entah kenapa tubuhnya terasa kaku, sangat sulit di gerakkan, akal sehatnya mengatakan bahwa dia tidak seharusnya melakukan hal memalukan tersebut.
Entah sejak kapan tanpa dia sadari, cairan itu telah memenuhi pelupuk matanya, meleleh begitu saja melewati kedua pipinya, kenapa dia harus menangis? Tidak seharusnya dia menangis seperti ini. Tapi kenapa rasanya begitu sakit? dia meremas kuat dadanya, mencoba meredam rasa perih yang kian mendera, kenapa dia harus melihatnya, pria itu pergi secara diam-diam di depan matanya, ini sungguh tidak adil, sebenarnya apa yang pria itu inginkan? Lalu apa arti kebersamaan mereka beberapa minggu yang lalu? apakah mungkin memang tiada artinya bagi pria itu?
Dia benci dengan waktu yang berjalan begitu cepat, membuatnya tidak mampu melakukan apapun selain diam, padahal dia ingin sekali menghentikan langkah kaki pria itu saat tubuh tegapnya mulai berjalan semakin menjauh dari pandangannya, menahannya di sini bersamanya, tapi dia juga sadar, dia tidak ingin egois. Pria itu sejak awal memang bukanlah untuknya, seharusnya dia tidak harus terjebak semakin dalam dengan perasaan terlarang ini, kenapa dia harus menggunakan hatinya sejauh ini? Dia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini, semuanya terasa kebas.
Ingatan tentang kabar yang dia dengar tadi siang semakin membuat hatinya teriris perih. Jika boleh, gadis itu berharap semoga apa yang dia dengar tidak benar-benar akan terjadi, tapi entah kenapa kedatangan pria itu malam ini secara diam-diam tanpa mengatakan apapun padanya seolah-olah telah menjelaskan semuanya. Dalam kegelapan dia masih bisa menangkap tatapan sendu yang menggambarkan rasa bersalah dari pria itu.
Jadi pria itu akan segera menikah dengan wanita pilihan ayahnya, dan mungkin saja setelah malam ini dia tidak akan melihat pria itu lagi. Dia memang tidak akan pernah sanggup melihatnya lagi, dia harus melupakan segalanya tentang pria itu, menghapus semua memori yang seharusnya memang tidak dia miliki bersama pria itu. Ya, dia harus benar-benar melakukannya, meskipun semuanya terasa begitu sulit untuknya.
***
Malam mulai merambat semakin jauh, pria itu melajukan Audi hitam metaliknya dengan kecepatan penuh menembus jalan bebas hambatan yang terlihat mulai lengang. Waktunya tidak banyak lagi, dia ingin segera sampai di tempat tujuan. Sesekali sudut matanya melirik pada jam yang terletak di dasbor mobil, tepat pukul dua pagi, pria itu menekan pedal gas semakin dalam, membuat laju kecepatan mobilnya menjadi luar biasa.
Pria itu tidak menyadari bahaya apa yang sedang mengintainya saat ini, dia sama sekali tidak mengurangi kecepatan lajunya hingga tepat di sebuah tikungan tajam, dia mulai kehilangan kendali, arah pandangnya menjadi kabur akibat cahaya sebuah mobil yang tiba-tiba muncul dari sisi berlawanan. Pria itu refleks membanting setir ke arah kiri. Dia mulai kehilangan kendali, mobilnya oleng.
Terdengar suara benturan keras yang memekakkan telinga, pria itu masih bisa mendengaranya dengan jelas kesadarannya masih penuh. Hingga sesaat kemudian dia mulai merasakan sengatan rasa sakit dan kilatan pedih yang menghunus matanya. Rasa gilu menghantam keningnya, dia merasakan cairan berbau anyir luruh melewati ujung hidungnya, di ambang kesadarannya pria itu masih sempat merutuki kebodohannya kenapa hal ini bisa terjadi, di detik terakhir dia membayangkan seseorang yang sangat dia sayangi, harusnya dia lebih berhati-hati Namun penyesalan itu sepertinya mulai mengaburkan kesadarannya lalu sesaat kemudian semuanya menjadi gelap.
Chieva
11 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top