1. Gelang pelindung.


Lyliana  menatap bangunan universitas di depannya dalam diam. Ini adalah ketiga kalinya dia menjadi anak baru dan mengalami masa tak nyaman karena menjadi sorotan. Beberapa hari lalu, ayahnya dipindah tugaskan dari Italia ke Alaska. Dan karena hal ini lah, mereka berdua akhirnya pindah dan menetap di Alaska. Sebuah negara di mana mendapat curah hujan yang tinggi dan dia  sangat tak menyukainya.

"Kau baik-baik saja?"

Lyliana menoleh saat suara yang terdengar akrab itu terlontar. Itu adalah ayahnya, Martin Blaise. Seorang Dokter yang cukup baik hingga selalu mendapatkan surat pindah tugas dan sebagai anak, dia hanya bisa mengikutinya. Kini, pria yang sudah berumur itu ikut berdiri di samping putrinya. Menatap bangunan tinggi yang ada di hadapan mereka.

"Ayah, ini bukan masalah besar. Aku mulai terbiasa menjadi sorotan di antara keramaian."

Martin mendesah tak nyaman dan kini  menggerakkan tangannya mengelus rambut putrinya lembut. "Maaf, sayang. Karena Ayah -"

"Ayah," potong Lyliana cepat. Dia menarik ujung bibirnya pelan. "Ini bukan masalah besar. Ayah bisa pergi sekarang, jika tidak, acara penyambutan Dokter baru di rumah sakit ini akan terhambat."

 Martin tertawa. Dia mengangguk lalu mengecup pelan kepala putrinya. "Ayah akan pergi."

Lyliana hanya mengangguk ringan, melihat ujung sepatu ayahnya yang mulai berputar meninggalkannya.  Namun tiba-tiba langkah kaki itu berbalik menuju ke arahnya kembali. Tangannya tiba-tiba tertarik dan sebuah gelang kembali terpasang di pergelangan tangannya.

"Ayah,"ucap Lyliana tampak enggan.

"Jangan pernah meninggalkannya. Kau harus memakainya, gelang ini akan melindungimu."

Lyliana mendesah keberatan. Kedua matanya berputar bosan.  Oh, ayolah, ini hanya sebuah gelang. Dan gelang ini terlihat sangat tua, lalu dia merasa tak membutuhkannya sebagai aksesoris apalagi sebagai penjaga. Jadi dia  benar-benar berniat tak memakainya. Namun ayahnya selalu mengingatkannya meski dia secara terang-terangan meninggalkannya di rumah. Lagi pula, ini hanya sebuah gelang. Bagaimana mungkin gelang ini akan melindunginya? Konyol.

"Ayah, ayolah." bujuk Lyliana pelan sekali lagi. "Tidak hari ini. Maksudku, aku ...,"

"Lyliana, gelang ini peninggalan ibumu."

Yah itu benar dan kini Lyliana menunduk lalu mengangguk. "Aku tahu."

"Jangan pernah lepaskan gelangnya."peringat Martin dengan mata memelas dan tatapan yang selalu tak dapat dimengerti.

Tapi kemudian, Lyliana kembali mengangguk dan memilih menatap gelang Silver dengan bola kristal berwarna merah rubi yang terpasang di tangannya. Gelang tua itu hampir berkarat. Dia tak tahu berapa lama usia gelang di tangannya, namun rasanya dia selalu menggunakan gelang ini sejak kematian ibunya. Yah, itu terjadi lewat dari sepuluh tahun lalu.

Melangkah, Lyliana menatap sekitarnya dan mulai memasuki halaman universitas ini. Beberapa orang menyapanya ringan atau lebih tepatnya mengolok dirinya dengan tatapan penuh ejekan. Entahlah, mereka seakan tertawa atau berbisik sambil menatapnya. Membuatnya memperhatikan seluruh tubuh namun masih tak menemukan sesuatu yang salah kecuali sebuah benda asing yang tiba-tiba bersarang di atas rambutnya. Itu mahkota berwarna putih yang cantik.

"Yap! Aku memilihnya menjadi Ratu," ucap sebuah suara terdengar mantap namun penuh dengan tawa.

Selanjutnya tawa lain terdengar. Lyliana menurunkan mahkota tersebut dari rambutnya, namun itu tak bertahan lama karena sebuah tangan asing menyambarnya. Itu sangat cepat, dia bahkan hanya merasakan angin menyapa wajahnya lalu menerbangkan beberapa helai rambut dan mahkota di tangannya telah hilang.

"Ratu? Dia?  Nils, kau pasti bercanda."

Kali ini Lyliana terpaku pada seorang gadis berambut pirang yang telah merebut mahkota dari tangannya. Tubuh gadis itu cukup tinggi, mungkin hanya lebih tinggi tiga centi meter dari tubuhnya. Perawakannya yang langsing dengan sepatu Boot dan balutan jaket kulit hitam di padukan jeans panjang, benar-benar membuatnya terlihat sangat santai. Yah, itu style yang cukup bagus. Kemudian tatapan Lyliana bergeser pada pria bernama Nils yang mulai berjalan dengan melambaikan tangannya.

"Nils, tunggu. Nils, Nils," panggil gadis itu berlalu mengikuti pria yang dia kejar.

Lyliana hanya mematung, melihat dua orang yang baru saja mengganggu itu pergi begitu saja meninggalkannya. Tangannya bahkan masih berada di posisi yang sama saat menurunkan mahkota dari rambut hitamnya. Dia bahkan merasa bahwa rasa dingin logam dari mahkota yang dia pegang masih terasa. Tapi dua orang itu berlalu seakan tak pernah terjadi apa pun.

"Wow, kau memiliki gelang yang indah."

Lyliana kembali menoleh saat tangannya tertarik oleh tangan asing. Dan dia menariknya kembali dengan cepat saat tahu orang yang menarik tangannya itu akan menyentuh gelang di tangannya. Dia tak mengenalnya, dan  tak suka disentuh sembarangan. Tapi gadis yang baru saja menyapanya tampak lebih bersahabat dengan rambut potongan Bob yang tampak cantik di wajah imutnya.

"Maaf," ujar Lylaina tak meninggalkan rasa sopan. Dia tersenyum tipis dengan gerakan cepat melepas gelang di tangannya lalu memasukkan ke dalam saku jeans panjangnya.

"Aku, Helena. Helena Sanches."sapa gadis itu merasa tak keberatan. Tangannya terulur kemudian dengan senyum yang menampilkan deretan gigi putih nan rapi.

Lyliana menatap uluran tangan di sampingnya lalu pada wajah cantik berambut coklat pendek yang kini tengah tersenyum ramah padanya. Menjabat tangan tersebut, dia akhirnya menyebutkan namanya.  "Lyliana Blaise."

"Oh, itu nama yang unik. Dia Nancy Leticia," tunjuk Helena pada gadis cantik di sampingnya. Dan Lyliana pun mengikuti arah tangannya.

"Hai, aku Nancy." sapa Nancy dengan senyum ramah. "Apakah mereka mengganggumu?"

Lyliana  hanya tersenyum tipis. "Yah, itu hal biasa saat aku hanyalah anak baru,"

Mereka berdua tertawa. Dan Lyliana memilih melihat arah di mana dua penggangu itu pergi begitu saja.

"Baiklah anak baru,  biarkan kami mengantarmu," ujar Helena sambil menarik tangan Lyliana dan Nancy pun mengikuti.

Mereka  berjalan beriringan dengan Lyliana berada di tengah-tengah mereka. Helena dan Nancy menceritakan banyak hal dan dia hanya mendengarkan. Namun dia merasa bahwa tengah di perhatikan. Ada tatapan panas yang membuatnya tak nyaman hingga dia mencari dan memperhatikan sekitarnya lebih jauh. Dan pada akhirnya, dia mendapati seorang pria tengah menatapku dari jendela kelas di lantai dua.

"Siapa dia?" tanya Lyliana tiba-tiba sambil menatap balas pria di lantai dua.

Helena dan Nancy berhenti. Mereka berdua mengikuti arah tatapan Lyliana. 

"Oh, dia Thunder Saviero, pria tertampan di universitas kita," ucap Nancy sambil tersenyum. Semua wanita bahkan bisa melihat ada tatapan penuh harapan di matanya.

"Aku akan langsung peringatkan ini. Jangan coba mendekatinya," kali ini Helena seakan memberi peringatan. Dan Lyliana langsung menoleh menatapnya.

"Kenapa?"

"Ya, Helena benar. Jangan coba menarik perhatiannya," tambah Nancy sambil menarik tangan Lyliana kembali untuk berjalan lagi.

"Dia terkenal sangat dingin meski pun tampan. Selama ini, belum pernah ada wanita yang berhasil mendekatinya. Jadi urungkan niatmu untuk memikatnya."

Lyliana melirik Helena sesaat. Bukankah peringatan itu terlalu berlebihan? Dia tak mengenal pria itu dan tak pernah berpikir untuk seperti yang mereka berdua peringatkan. "Aku tak berniat memikatnya," terangnya jujur.

"Yah, itu bagus. Walau aku juga berharap agar bisa mendekatinya," ujar Nancy menambahkan.

Helena tertawa kecil. Dan Mata Lyliana masih menatap ke lantai atas sesaat dan bertemu dengan mata tajam yang masih saja memperhatikannya.

***








Hello, gais. Ini adalah kedua kalinya aku mencoba menggunakan sudut pandang pertama dalam sebuah cerita meski yang pertama gagal. Yah, ini sangat sulit, aku harus berkali kali hapus dan memulainya kembali dan sampai sejauh ini masih butuh pengecekan.

Betewe maaf jika nanti masih ada kesalahan. Dan aku minta kalian untuk mengingatkan, thank you gais. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top