(32) Iya, Papa Juga

Sedikit flashback beberapa waktu sebelum Jungwon terserang demam dan beberapa hal yang terjadi di dalamnya.

Saat itu, si gembul kesayangan Oma Shim itu baru saja selesai berdadah-dadah ria dengan kedua sahabatnya yang sudah lebih dulu dijemput oleh orang tua mereka masing-masing. Iya, tadi tersisa dirinya, Ni-Ki dan Junghwan saja yang belum dijemput. Sementara Doyoung, Jeongwoo, Sunoo dan Haruto sudah dijemput tepat waktu oleh sopir maupun orang tua mereka.

Mulanya sih, Jungwon merasa biasa saja karena belum dijemput. Toh, masih ada Ni-Ki dan Junghwan yang menemaninya. Akan tetapi, setelah kedua sahabatnya itu dijemput pulang, Jungwon jadi merasa bosan bercampur was-was. Takut karena mendadak ia berpikir kalau sang ayah lupa menjemput dirinya pulang sekolah.

Sebenarnya tadi orang tua Ni-Ki dan Junghwan sudah menawari bocah gembul hasil didik seorang buaya darat—Lee Heeseung—itu untuk diantar pulang. Namun, Jungwon menolak dengan alasan takut sang ayah malah mencarinya nanti. Jadi ya sudahlah. Toh, area sekolah masih terbilang sangat aman. Ada Satpam yang menjaga gerbang, lalu anak-anak sekolah juga masih menunggu di dalam area sekolah. Aman, lah, dari risiko penculikan.

Iya, tetapi tidak aman bagi Jungwon yang tiba-tiba didatangi sosok yang sudah kurang lebih tujuh tahun terakhir tidak pernah dianggapnya ada. Sosok itu kini berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum tipis.

Jungwon yang semula duduk santai sembari mengayunkan kakinya agar tidak bosan, langsung terdiam. Perlahan mendongak menatap sosok yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Matanya yang bulat, semakin terlihat bulat sempurna karena kaget. Setelahnya, yang bisa bocah tujuh tahun itu lakukan hanya diam, tidak bersuara sama sekali.

"Hai," sapa sosok yang berdiri di hadapan bocah itu dengan suara lembut. "Anak Jay, benar?"

Jungwon tidak menjawab. Dari raut wajahnya pun terlihat benar-benar enggan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya barusan. Dalam hati, bocah itu menggerutu, siapa sih? Sok kenal. Ya, padahal aslinya Jungwon tahu siapa sosok yang berada di hadapannya itu sekarang.

"Kamu benar-benar mirip dengan Jay, ya," ujarnya lagi sambil mencoba mengusap pucuk kepala Jungwon. Namun, bocah itu menghindar dengan menggeser posisi duduknya. Senyum getir langsung terlukis di wajah sosok itu. "Kamu takut? Tenang, saya nggak jahat, kok. Kamu ... kenal dengan saya, kan?"

"Enggak." Jungwon menjawab asal. "Tante kan bukan artis."

Waduh, mulutnya didikan Sunghoon sekali, bocah satu ini. Cukup berani dan 'agak julid'. Akan tetapi, sebenarnya seorang Park Jungwon saat ini sedang berbohong. Walaupun masih kecil, bocah itu sudah mengetahui setengah kisah hidup ayahnya hingga dirinya yang lucu dan menggemaskan ini bisa terlahir ke dunia. Iya, baru setengah. Kalau kata Om Heeseung, setengahnya lagi adalah 'rahasia orang tua'. Jadi dirinya tidak boleh tahu, bolehnya tempe—eh.

Namun, sepertinya Jungwon agak salah bicara, deh. Walaupun bukan artis, ia baru ingat kalau wanita yang berada di hadapannya ini adalah seseorang yang bekerja sebagai model. Tidak tahu, sih, apakah model terkenal atau bukan. Intinya, hanya itu yang diketahui oleh bocah itu.

Mendengar ucapan Jungwon barusan, membuat sosok wanita itu lagi-lagi menyunggingkan senyum tipis. Iya, bentukannya seorang wanita omong-omong, makanya dipanggil 'Tante' tadi. "Kita duduk dulu sebentar, ada yang mau saya omongin sama kamu. Mau nggak?"

"Dari tadi Wonie udah duduk, kok. Tante kalo mau duduk, duduk aja. Tapi kalo mau ajakin Wonie ngobrol, Wonie nggak mau. Masih kecil."

Seperti biasa, Park Jungwon selalu was-wes-wos kalau berbicara. Seperti tidak ada beban. Ini kalau orang salah tangkap, bisa-bisa mereka mengira kalau bocah itu dididik dengan cara yang buruk oleh orang tuanya. Padahal, ayahnya kurang baik apa dalam mendidik bocah gembul satu itu, eh? Ya, tidak tau sih, kalau didikan dari om-omnya bagaimana. Maklum saja, nih, Jungwon tidak hanya diasuh oleh satu orang, masalahnya.

Sementara itu, sosok wanita tadi sepertinya nyaris kehilangan kesabaran. Terbukti dari dengkusan yang dapat Jungwon dengar dari posisi duduknya. Dalam hati, bocah satu itu menggerutu, Ini kapan Wonie dijemput, sih!?

Namun, sepertinya wanita itu bisa menahan diri agar tidak meledak. Toh, katakanlah ini adalah pertemuan pertama dirinya kembali bersama dengan anak dari Park Jongseong itu setelah lebih dari tujuh tahun. Ia akhirnya memilih duduk. Agak sedikit berjarak dengan posisi Jungwon yang perlahan menggeser posisi duduknya sampai menyentuh ujung kursi panjang yang mereka tempati.

"Park ... Jungwon?"

Walaupun masih kecil, Jungwon dapat merasakan keraguan dari nada suara yang terucap barusan. Seolah-olah, wanita itu sebenarnya ragu mengucapkan sebuah nama barusan. Mungkin takut salah atau bagaimana? Tidak tahu jugalah. Bocah itu hanya mengerjap dan diam saja sampai wanita di sampingnya kembali bersuara dengan sendirinya.

"Benar namamu Park Jungwon, kan?"

Jungwon melirik. "Bukan."

Bohong lagi. Duh, Jungwon ini tidak tahu kah, kalau dirinya sangat buruk dalam hal berbohong? Lihat saja wanita di sampingnya itu saat ini tertawa kecil mendengar kebohongannya barusan. "Ternyata kamu lucu, ya," ujar wanita itu. "Saya nggak nyangka kalau saya sudah melahirkan anak selucu kamu."

Yup. Sudah tertebak, bukan, siapa wanita itu? Benar sekali. Ia adalah wanita yang telah menghadirkan seorang Park Jungwon ke dunia. Ya, hanya menghadirkannya saja, sih. Tidak ada partisipasi apa pun dalam merawatnya sama sekali. Makanya Jungwon agak-agak somse alias sombong sekali seperti tadi.

"Saya boleh peluk kamu, nggak?"

Salah satu alasan yang membuat Jungwon agak menjaga jarak dengan wanita yang melahirkannya itu ya, ini. Lihat saja sejak tadi, wanita itu tampak enggan menyebut dirinya sendiri sebagai 'mama' atau apalah itu. Sepertinya, sebutan 'mama' baginya adalah beban berat yang tak mampu ditanggung sendirian.

Namun, belum juga Jungwon mengiakan atau menolak, wanita itu sudah menariknya ke dalam pelukan. Ya, seperti yang sudah Jungwon tebak sebelumnya. Hanya pelukan biasa. Bocah itu tidak merasakan apa pun bahkan sekadar rasa hangat dan nyaman pun tidak.

Saat itu juga, Jungwon dapat menyimpulkan bahwa ia memang tidak akan pernah membutuhkan wanita ini di dalam hidupnya.

"Kamu nggak rindu dengan saya?"

Jungwon diam, tidak bersuara sama sekali di dalam pelukan wanita yang melahirkannya itu. Singkatnya, ibunya. Kalau tadi saat awal-awal bertemu, bocah itu masih banyak bicara walaupun agak ketus, tetapi kali ini, ia memilih diam saja mendengarkan apa yang akan diocehkan oleh ibunya itu.

"Apa ... ayahmu banyak menceritakan hal buruk tentangku padamu?" Pelukan dilepas. Kali ini, wanita itu memegang kedua bahu Jungwon dan memaksa bocah itu untuk menatap wajahnya. "Atau ... teman-teman ayahmu itu? Apa mereka masih bersama dengan Jay? Apa mereka menceritakan tentang keburukan saya?"

Bocah tujuh tahun itu tak langsung menjawab. Ia lebih dulu memperhatikan wajah wanita di hadapannya dengan serius, sebelum akhirnya menjawab, "Enggak. Tante bukan orang penting, soalnya."

Terdengar polos, tetapi menusuk. Entah siapa yang mengajari Jungwon berbicara seperti ini. Namun, bisa dipastikan orang itu pasti akan merasa sangat bangga melihat didikannya berhasil. Terlihat dari bagaimana ekspresi ibunya itu yang seketika berubah. Mungkin, merasa sakit hati karena ucapan Jungwon barusan.

Hanya saja, siapa peduli? Jungwon hanya ingin pertemuan ini segera berakhir.

"Begini saja," ujar wanita itu kemudian. "Katakan pada Jay kalau aku ingin bertemu dengannya. Penting."

Setelahnya, tanpa basa-basi, wanita itu langsung pergi meninggalkan Jungwon sendirian, setelah sesaat sebelumnya menyempatkan diri untuk mengusap pucuk kepala bocah itu sebagai salam perpisahan.

Wajah Jungwon mendadak berubah julid. Bocah itu mendumel dalam hati dengan raut masam. Sampai saat sang ayah datang menjemput, ia tak mengubah ekspresi wajahnya sama sekali. Untungnya, ayahnya itu tidak banyak bertanya. Mungkin karena merasa bersalah, Jay hanya bilang, "Maafin Papa ya? Maaf Papa telat jemput."

Entah karena memang sudah badmood sekali atau bagaimana, bocah itu menjawab, "Nggak apa-apa." Setelahnya, hanya diam sepanjang jalan sampai tiba di kantor ayahnya.

"Wonie nggak suka ketemu Mama, Pa." Begitu yang dikatakan oleh Jungwon, seusai menceritakan bagaimana saat dirinya didatangi oleh sosok sang ibu beberapa hari lalu.

Posisi Jungwon yang duduk di pangkuan, membuat Jay lebih leluasa mengusap punggung putranya itu karena sejak tadi, Jungwon maunya dipeluk dengan kepalanya yang bersandar nyaman di dada sang ayah. "Nggak apa-apa," ujar lelaki itu kemudian. "Nanti Wonie nggak perlu ketemu lagi."

Jungwon mengangguk kecil. "Papa juga jangan ketemu Mama. Nanti Papa diambil."

Senyum di wajah lelaki 24 tahun itu tersungging tipis. "Memangnya kenapa kalau Papa diambil?"

"Nggak boleh. Papa, kan, punya Wonie. Jadinya nggak boleh."

Jay mengecup pipi tembam putranya itu dengan penuh kasih. Hatinya yang semula sempat gundah karena tiba-tiba saja Jungwon mengatakan bahwa dirinya bertemu dengan ibu kandungnya, kini perlahan mulai kembali membaik.

Rasanya lega saat mendengarkan cerita dari anaknya itu. Ia memang belum bisa menyimpulkan kalau didikannya berhasil. Hanya saja, sudah jelas kalau didikan dari ketiga sahabatnya sukses. Jungwon menjadi anak yang pandai ketika berbicara seperti itu pasti karena campur tangan mereka bertiga juga.

Sambil menepuk lembut punggung putranya yang duduk di pangkuan, Jay berpikir. Mungkin benar yang dikatakan oleh Jungwon. Ia tidak perlu bertemu dengan wanita itu. Toh, buat apa? Setelah tujuh tahun, kenapa baru ingin bertemu? Seperti tidak ada angin, tidak ada hujan. Suatu hal yang tiba-tiba seperti ini memang bukan sesuatu yang bagus. Mengganggu.

Walaupun sebenarnya, Jay juga penasaran dengan alasan apa yang membuat wanita di masa lalunya itu mendadak datang kembali, menemui putranya untuk yang pertama kali setelah tujuh tahun, lalu meminta untuk bertemu. Sungguh, Jay jadi tidak habis pikir dengan jalan pikiran wanita itu.

Mendengar cerita sang putra tadi, membuat Jay berpikir bahwa pertemuan antara Jungwon dan ibunya bukanlah suatu hal yang bagus. Apalagi, setelah beberapa saat diam sampai Jay mengira anaknya itu tertidur, si bocah tiba-tiba kembali bersuara. "Wonie nggak mau Mama yang itu, Pa. Wonie nggak suka."

Ini kalau ada Heeseung atau Sunghoon, pasti mereka akan bertanya, "Kalau Mama yang lain, mau nggak?"

Sayangnya, ini Jay. Mana mau ia bertanya begitu. Sudah syukur anaknya mau mengutarakan isi hati dengan jujur begini. Tidak mau aneh-aneh. Tidak mau membuat suasana hati sang anak kembali memburuk.

Fokusnya sekarang hanya merawat sang putra karena perjalanannya masih sangat-sangat panjang. Lalu pekerjaannya, hubungan baik dengan para sahabatnya dan lain-lain. Sisanya dipikir belakangan, lah. Toh, selama ada uang, semua hal menjadi lebih mudah. Iya, kan?

"Iya," jawab Jay atas ucapan Jungwon yang tadi. "Papa juga."

Setidaknya, jawaban dari Jay barusan, sudah cukup menjelaskan semuanya, bukan?

+ㅈㅈ+
Kamis, 29 Juni 2023

SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1444H, TEMAN-TEMAN! ♡♡♡

Selalu sehat dan bahagia selalu, ya!

Menurut kalian, kira-kira Jay harusnya ketemu sama ... mamanya Wonie atau enggak, ya?

Komen, yuks!

See ya! ♡
0

90624

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top