7. Memory of Beloved One

"Freak."

"Stay away from me."

Pertama kali Wade bertemu dengan Andrew adalah saat tahun pertama pemuda itu berada di SMAnya. Saat itu ia berada di tahun pertama juga meski usianya terpaut 1 tahun lebih tua. Wade memang seseorang yang rebel, pembangkang yang tidak pernah bisa diam di sekolah dengan segala pelanggaran dan juga sikapnya yang seenaknya saja.

Tentu itu membuat ia tinggal kelas dan berada bersama dengan para murid baru tahun pertama. Ia tidak peduli, dan ia semakin tidak peduli saat mengetahui ia mengidap kanker 1 tahun yang lalu setelah ibunya meninggal karena penyakit yang sama dan ayah kandungnya meninggalkannya begitu saja.

Ia tinggal di panti asuhan selama beberapa lama sebelum ia mendapatkan kabar tentang penyakitnya. Itu membuatnya semakin tidak mau melakukan apapun karena ia berpikir jika ia akan mati. Apapun yang terjadi ia tidak akan memiliki masa depan.

Jika saja ayah angkatnya tidak ada di rumah hari itu, ia tidak akan berangkat sekolah dan duduk di bangku paling belakang di kelas itu.

"Maaf aku terlambat di hari pertama Mrs. Marrie," suara itu terdengar bersamaan dengan pintu kelas yang terbuka. Satu orang yang sudah ditunggu oleh semua orang di sekolah itu. Baik murid ataupun para guru yang menunggu kehadiran dari anak dua Superhero mereka yang akan bersekolah disini.

Tentu saja itu adalah hal yang membanggakan dan juga mengejutkan karena sekolah itu bahkan bukan sekolah elite, dimana seharusnya anak itu berada melihat bagaimana ayahnya yang merupakan seorang bilioner.

"Tidak apa Mr. Rogers Stark--"

"Peter. Anda bisa memanggilku begitu," ia tampak tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "itu adalah nama kedua orang tuaku. Aku tidak begitu nyaman dipanggil seperti itu."

"Baiklah Peter. Duduklah di tempat yang kosong," dan satu-satunya yang kosong adalah disebelahnya. Ia mendengar bisikan yang tertuju pada anak itu dan juga tatapan padanya.

"Kasihan sekali..."

"Ia kurang beruntung berdekatan dengan Wilson itu."

Anak itu hanya mengangguk, dan ia berjalan mendekati Wade dan duduk di kursi yang ada disampingnya. Ia sudah memikirkan tatapan jijik dan juga kesal yang akan diberikan anak itu seperti yang lainnya. Lagipula bisikan itu terdengar sangat jelas, anak sepertinya tidak akan mau bahkan menatap padanya.

"Hei," suara itu membuatnya tersentak dan melihat pemuda itu tersenyum dan menatapnya, "boleh aku pinjam bukumu? Karena pagi ini aku kesiangan aku lupa membawanya..."

Ia berbisik dan Wade hanya bisa mengerutkan dahinya.

"Kau yakin?"

"Tentu saja, ah namaku Peter Andrew Rogers Stark. Aku mendengar banyak tentangmu Wilson," pemuda itu tertawa pelan, bukan tawa mengejek namun hanya tawa pelan dan juga lepas, "kuharap kita bisa berteman baik."

...

Dan sejak hari itu, pertama kali ia bertemu dengan Peter adalah saat ia tahu jika pemuda itu berbeda dari orang lain.

.
.

"Ugh," ia menggerutu. Kepalanya pusing seperti biasa dan ia tampak gagal untuk duduk dari posisinya setelah ia terbangun dari tidurnya. Ia terlalu mual bahkan untuk bergerak saat ini. Dan yang bisa ia lakukan hanya menatap langit-langit.

"Kau sudah bangun," suara itu membuatnya menoleh dan menemukan Tom yang tampak masih duduk di kursi yang ada di ranjang ruang kesehatannya, "kau pingsan saat kita sedang berbincang. Kurasa kau benar-benar tidak baik-baik saja. Jadi aku membiarkanmu tidur."

"Ah," Wade mencoba untuk mengingat nama anak itu. Sesuatu seperti Ton--ah Tom, "jam berapa?"

"Pukul setengah enam. Mr. Henry tadi menyuruhku untuk kembali ke asrama tetapi kurasa aku akan menunggumu dulu," Tom menutup notebooknya dan tampak berdiri, "kau tampak kurang sehat. Mr. Rogers menemaniku tidur di tempatnya saat beberapa kali aku merasa tidak sehat atau bermimpi buruk. Jadi, kurasa kau membutuhkannya..."

Wade daripada menjawab hanya menatap Tom dengan kerutan di dahinya. Tentu saja itu satu hal yang tidak pernah ia bayangkan kembali terkecuali saat kekasihnya masih ada.

.
.

"Wade?"

Ia membuka matanya saat ia berbaring untuk menghilangkan rasa pusingnya. Dan ia sudah bisa membayangkan para guru akan mengatakan jika ia membolos tanpa alasan ataupun karena ia membangkang dan malah berkelahi dengan yang lainnya. Yah, sebagian alasannya memang itu, namun sebagiannya hanya karena ia tidak bisa masuk ke kelas dengan kondisi seperti ini.

Namun, suara yang terdengar di dekatnya tampak membuatnya menoleh dan mengerjap perlahan, melihat pemuda berkacamata yang tampak tersenyum lega. Dan duduk disampingnya.

"Kau tidak masuk kelas pagi ini. Aku melihatmu datang saat tiba di sekolah, jadi kukira ada sesuatu yang terjadi," Peter tampak menghela napas dan memposisikan dirinya di dekat sana, "setelah ini ada Quiz. Jadi kuharap kau baik-baik saja dan mengikuti quiz itu."

"Apakah guru-guru tidak mengatakan sesuatu tentang ketidakhadiranku?"

"Ya, mereka bilang kau membolos lagi. Tapi tadi pagi aku melihatmu datang," ia tampak menghela napas, "dan kulihat kau tidak baik-baik saja. Jadi setelah jam istirahat berbunyi aku mencarimu. Untung saja kau mudah ditemukan."

"Untuk apa mencariku? Kau tidak berpikir aku hanya membolos atau berulah lagi?"

"Tidak kok, kau temanku, sama seperti Harry dan Gwen. Jadi, aku akan mencarimu jika kau dalam masalah atau sedang butuh bantuan," Peter berbicara seolah itu adalah hal yang biasa dilakukan. Nah, tidak untuk Wade.

Ngomong-ngomong...

"Sejak kapan kau disini?"

"Sejak jam istirahat mulai?" Dan sekarang hanya 5 menit sebelum jam masuk berbunyi.

"Seharusnya kau tinggalkan saja aku. Kau tidak makan siang?" Peter baru saja akan mengatakan tidak apa saat perutnya berbunyi dan membuatnya tertawa canggung.

"Yah, kukira kau tidak ingin sendirian disaat seperti ini. Makanya aku menemanimu hingga terbangun."

.
.

"Wilson?"

"Panggil aku Wade saja," ia tersentak mendengar suara Tom yang ada di dekatnya. Mereka dalam perjalanan menuju asrama dan tampak berbincang beberapa hal, "Charles membawaku kemari karena permintaan dari ayah angkatku. Karena aku gagal dalam program senjata X yang kuikuti diam-diam tanpa memberitahu ayahku."

"Program... senjata X?"

"Nah, lupakan. Kau tidak perlu tahu tempat seperti itu," Wade mengibaskan tangannya dan tampak masih berjalan mengikuti lorong, "Charles mengatakan jika program itu hanya belum sempurna. Jika aku bisa mengaktifkan kekuatan mutanku, maka aku bisa menghilangkan penyakit kankerku sekaligus mendapatkan kekuatan super."

"Kanker?"

"Yap, bayangkan satu penyakit kanker, dan itu ada di dalam tubuhku. Semua kanker yang bisa kau pikirkan," ujarnya seolah itu hal yang membanggakan, "baiklah, ini kamarku. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu."

"...ini juga kamarku," Tom menatap kearah Wade yang tampak mengerutkan dahinya, "kau tidak muncul saat aku pertama kali disini."

"Ah, benar juga. Aku ada beberapa urusan yang harus kulakukan," Wade tampak menggaruk kepala belakangnya dan menghela napas.

.
.

"Nilaimu meningkat, dan absensimu serta pelanggaran yang kau lakukan menjadi lebih baik," ayah angkatnya tampak berbicara dengan nada datar dan rendahnya. Ia melihat laporan harian dari Wade. Tentu saja, sejak mengenal Peter, pemuda itu tidak pernah memperbolehkannya untuk membolos, untuk membuat keributan, dan selalu ada disampingnya saat kondisinya drop karena penyakitnya.

"Tentu saja, jalan cerita roman picisan selalu seperti ini. Anak bandel yang mengenal anak baik, kemudian menjadi anak baik lainnya," Wade mengangkat bahunya dan mendengus.

"Bedanya, ini bukan cerita karangan yang kau katakan Wade," ayahnya tampak menghela napas dan menepuk kepalanya beberapa kali.

"Siapa yang tahu? Kurasa hanya aku, author, dan pembaca yang tahu kebenarannya," Wade, jangan mulai.

"Apa maksudmu?"

"Lupakan, baiklah aku akan berangkat sekarang, temanku sudah menunggu," Wade tampak mengambil tasnya dan berjalan keluar rumah menuju ke halte bus dimana seharusnya Peter menunggu agar mereka bisa pergi bersama-sama. Namun, saat ia tiba ditempat dimana ia biasa dan seharusngya menemukan Peter, ia tidak menemukan pemuda itu disana.

Tentu ia merasa aneh.

Bagaimanapun juga, selama 1 tahun ia mengenal Peter tentu mereka selalu datang bersama dan bertemu disini setiap hari.

"Berhentilah mempengaruhinya banci," suara itu membuatnya menoleh dan melihat kearah gang yang ada di dekat sana. Ia segera bergegas ke sumber suara dan menemukan 'mantan' teman-temannya yang memukuli dan menendangi seseorang, "kau tahu Wade tidak pernah lagi pergi dengan kami. Itu karena ia selalu mengatakan kalau ia akan menemuimu."

"Bukankah bagus?" Suara itu membuat pemuda itu tersentak. Ia baru menyadari Peter yang menjadi korban keroyokan mereka, "Wade tidak seharusnya bersama dengan kalian. Ia bukan orang seperti kalian..."

"Apa kau bilang?!"

"Diamlah brengsek, ia berbeda denganmu. Jangan samakan Wade denganmu dan juga orang tuamu yang gay itu!" Dan saat salah satu dari mereka tampak akan memukul pemuda itu kembali, tangan seseorang mencengkram kuat tangannya yang tampak akan memukulnya. Dan saat mereka menoleh, mereka bisa tahu jika Wade tampak sangat marah saat itu.

"Pergi dari sini dalam waktu 3 detik atau aku akan mematahkan setiap jari dan gigimu brengsek," tahu bagaimana sifat Wade, mereka tahu itu bukan ancaman kosong. Dan saat Wade mulai berhitung, mereka segera kabur meninggalkannya dan Peter.

"Kau tidak apa?"

"Ugh, tidak apa... hanya sedikit lecet," ia mengusap darah di sudut bibirnya dan tampak menggerutu pelan. Wade bisa melihat beberapa memar lain di bagian tubuhnya namun ia tidak mengatakan apapun.

"Ini bukan kali pertama terjadi bukan?"

"Apa maksudmu?" Peter mencoba untuk tidak menatap Wade.

"Harry dan Gwen mengatakan padaku mereka sering menemuimu sepulang sekolah. Dan jangan menyalahkan mereka," Wade menghentikan Peter yang sudah bergumam sambil menghela napas, "kita teman bukan? Kau yang mengatakannya sendiri. Jika sesuatu terjadi padamu, aku tidak akan tinggal diam. Kau bahkan tidak melawan saat mereka mengataimu banci dan juga gay. Seharusnya kau melawan mereka, mereka salah akan hal itu."

"Mereka tidak salah..."

...

"Apa?"

"Mereka tidak salah dengan hal itu, dengan mengejekku sebagai seorang gay," Peter mengalihkan perhatiannya dan tampak menggigit bibir bawahnya, "aku menyukai seseorang dan itu--"

Peter bahkan tidak sempat mengatakan apapun saat itu ketika Wade sudah menghimpitnya diantara dinding bata gang itu dan mencengkram erat tangan pemuda itu.

Ia mempersempit jarak mereka, hingga tidak ada jarak diantara bibir mereka. Wade mencium bibirnya saat itu, dalam dan juga panas. Ia menggigit bibir bawah Peter hanya untuk memberikan akses untuk lidahnya masuk dalam mulut pemuda itu. French kiss yang cukup lama hingga keduanya melepaskan ciuman itu karena membutuhkan oksigen.

Wade tidak pernah melihat wajah Peter semerah itu, dan Peter sama sekali tidak menyangka Wade bisa berekspresi seperti sekarang.

...

"Aku juga menyukaimu... sangat," ia tampak berbisik dan memeluk pemuda itu yang hanya terdiam sebelum menghela napas.

"Kau yakin sekali aku menyukaimu. Aku tidak selesai berbicara bukan?" Ia tertawa pelan dan Wade tersentak menyadari itu, "bercanda..."

Ia tampak memeluk balik pemuda itu.

"Tetapi... maaf Wade," suara itu berbisik, membuat matanya membulat dan saat ia sadar, seketika sosok pemuda itu begitu saja menghilang seperti debu.

"...maafkan aku Wade."

...

"Peter?"

.
.

Ia bisa merasakan air matanya yang mengalir di wajahnya. Matanya perlahan membuka, tampak melihat langit-langit kamar saat itu untuk menemukan Tom yang tampak memperhatikannya dengan seksama.

"Lagi-lagi kau menangis saat tidur," sudah 1 minggu lamanya mereka menjadi teman sekamar, dan Wade sudah cukup dekat dengan anak tanpa ekspresi itu, "apa yang kau mimpikan?"

"Sesuatu yang mengingatkanku pada seseorang," ia menghela napas, menatap Tom yang tampak memiringkan kepalanya, "seseorang yang sudah tidak ada. Dan tidak akan pernah kembali..."

.
.

Seharusnya Peter sudah kembali dari misinya bersama keluarganya. Bahkan ia melihat berita dimana Avengers sudah kembali dari misi besar mereka membongkar markas Hydra. Namun, ia tidak melihat Spiderman di berita itu. Tentu saja, Spiderman belum sepenuhnya menjadi Avengers. Mengingat bagaimana protektifnya kedua orang tua Peter, Wade hanya berpikir jika Steve dan Tony langsung memulangkan anaknya.

"Halo ayah mertua dan... papa mertua," Wade tampak tersenyum lebar dan mengibaskan tangannya saat ia tiba di lantai dimana Avengers biasanya berkumpul. Peter sudah meminta JARVIS untuk memasukkan data Wade ke dalam rumah membuatnya bisa memasuki menara Avengers. Satu hal yang masih tidak disukai oleh Tony dan juga Steve.

Biasanya, Tony akan menatapnya tajam saat mendengar ia memanggilnya mertua. Namun, saat ia melihat Tony dan Steve, ia tidak bisa tidak mengerutkan dahinya. Mereka berdua tampak hancur. Mereka hanya berbisik satu sama lain, ia bahkan bisa melihat Tony tampak meringis dan matanya sembab karena menangis.

"Wade, tidak hari ini..."

"Tetapi aku berjanji akan mentraktirnya makan setelah misi dengan kalian. Ayolah, hanya sebentar saja Mr. Stark, Mr. Rogers," jawabnya sambil mengangkat bahunya, "boleh bukan? Aku akan menjemputnya di kamar. Mungkin saat aku membuka kamar aku tidak sengaja melihatnya tanpa pakaian dan--"

"Peter tidak ada di kamarnya Wade."

"Huh?" Butuh beberapa detik untuk mengerti perkataan Steve. Ia menoleh dan menemukan Steve hanya menatapnya dengan tatapan sedih, "oh, apakah ia sedang pergi dengan Harry? Bisa aku tahu mereka kemana?"

Wade mengerti jika ada sesuatu yang terjadi. Ia memang tidak pintar, namun ia juga tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari atmosfer yang ia rasakan setiap mendengar perkataan Steve.

"Ia sudah tidak ada Wade," Steve bahkan tampak tidak mau menatap kearahnya. Wade merasa telinganya berdenging. Ia merasa sesuatu menutupi telinganya dengan semua perkataan Steve, "Peter sudah meninggal..."

...

"Oh ayolah Mr. Rogers, sebegitu inginnyakah kau aku berpisah dengannya? Tidak mungkin ia tewas, semalam sebelum kalian masuk ke markas Hydra saja aku baru menghubunginya," Wade tertawa. Entahlah, ingin menertawakan dirinya. Bagaimanapun tidak mungkin Steve akan membuat lelucon tentang kematian anaknya, "jadi, dimana dia?"

...

"Katakan kau bercanda Mr. Rogers," Wade tampak menatap keduanya, berharap jika mereka mengatakan hal itu. Tetapi, baik Steve maupun Tony hanya diam dan tidak menatap kearahnya. Itu bukan pertanda bagus, "tidak..."

"Wade--"

"Tidak. Tidak. Tidaktidaktidaktidak--JANGAN BERANI MENGATAKAN ITU!" Ia tidak pernah semarah ini. Ia tidak pernah merasakan emosi seperti ini. Ia menatap nanar kearab kedua pria didepannya, "ia masih hidup bukan? Kalian... kalian hanya bercanda bukan? Apa yang kalian ingin aku katakan? Kalian ingin aku meninggalkan Peter? Aku akan meninggalkannya... aku akan meninggalkan Peter. Aku akan melakukan apapun. Tetapi kumohon... for a fucking god sake! Katakan jika ia masih hidup."

"Maaf Wilson..."

Tony tidak pernah meminta maaf. Terlebih pada kekasih dari anaknya yang tidak pernah ia restui. Dan mendengarkan permintaan maaf itu ia ingin tertawa. Ia ingin tertawa sekencangnya, ingin merekam dan menyebarkannya. Tidak setiap hari seorang Tony Stark akan meminta maaf pada seseorang.

"Besok adalah pemakamannya. Kami mencoba menghubungi Harry tetapi kami tidak bisa tersambung dengannya.

Ia tidak peduli dengan itu. Ia hanya ingin seseorang mengatakan ini hanya lelucon untuknya.

Tetapi sekarang, ia hanya bisa membiarkan air matanya mengalir saat itu. Lututnya lemas, ia hanya bisa terduduk dan terisak. Ia akan lakukan apapun. Ia akan meninggalkan apapun yang ia miliki, ia akan meninggalkan Peter jika memang lelucon ini berhenti.

"Tidak dia... oh God... siapapun selain dia," Steve dan Tony tidak memarahinya ataupun membentaknya. Tidak juga mereka mendekat. Ketiganya memiliki kesedihan mereka masing-masing, dan mereka tahu tidak ada yang bisa menghibur mereka saat ini, "seharusnya aku... aku yang seharusnya pergi. Bukan Peter..."

.
.

"Hah..."

Wade tampak menghela napas dan menutup matanya. Ia berdiri, menepuk debu di celananya dan menoleh pada Tom yang sedang asik dengan catatan dan rumus disana. Sudah beberapa hari ia mengenal anak ini, dan satu hal yang bisa ia simpulkan. Ia terlalu banyak mengingatkan dirinya pada Peter. Ia harus mengakui Tom lebih imut ketimbang Peter, namun ia tetap menyukai kekasihnya itu apapun yang terjadi.

"Hei Tom," Tom baru menoleh pada Wade saat namanya dipanggil. Pemuda itu mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar, "mau pergi ke suatu tempat?"

"Huh? Tetapi, kemana? Dan kurasa Mr. Xavier, Mr. Henry, dan Miss. Darkholme tidak akan memperbolehkan," ia memiringkan kepalanya namun menyambut uluran tangan Wade. Ia menunjuk sebuah benda mirip dengan jam tangan dan tersenyum penuh arti, "apa itu?"

"Benda menarik yang kudapatkan," ia menekan tombol di benda itu, dan saat Tom sadar, mereka sudah berada di sebuah komplek kuburan. Tentu saja itu membuatnya kaget dan menoleh kekiri dan kekanan. Sedikit panik, namun ia menoleh kembali pada Wade yang biasa-biasa saja.

"Keren bukan?" Ia tertawa dan berjalan menuju ke salah satu makam. Karena tidak ada yang bisa ia lakukan dan yang bisa membawanya kembali ke sekolah itu adalah Wade, Tom segera berjalan mengikuti Wade kemanapun pemuda itu. Ini kali pertama Tom berada di pemakaman, ia mengedarkan pandangan dan melihat beberapa batu pualam dengan ukiran nama.

"Tempat apa ini?"

"Ini kali pertama kau kemari?" Tom mengangguk, tahu jika Wade akan tahu jika ia mengangguk. Ia kembali melihat dua makam dengan nama belakang yang sama, tidak... empat makam yang tampak berderet, "ini adalah tempat dimana seseorang menguburkan orang yang sudah meninggal."

...

"Jadi semua ini adalah orang yang sudah meninggal?" Tom tampak cukup terkejut, ia jadi tahu jika empat makam tadi adalah satu keluarga yang tewas. Karena nama belakang mereka sama, "lalu kenapa kita disini?"

"Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang..."

.
.

Saat Tom dan Wade tampak berjalan dan mencari makam yang dituju, seseorang tampak berjalan di jarak yang cukup jauh dari mereka. Ia berhenti pada empat makam yang tadi dilihat oleh Tom, dan menoleh pada mereka berdua.

Dahinya berkerut melihat Wade, dan cerutu yang ia hisap tampak ia lepaskan.

"Wade?" Ia sedikit berbisik dan akan kembali mendekat saat ia melihat Tom yang ada di sampingnya. Tubuhnya menegang, ia semakin mengerutkan keningnya seolah ia mengenal anak itu. Dan hanya satu nama yang ia sebut saat itu.

"...Richard?"

.
.

"Kita sudah sampai," Wade menoleh kearah makam yang ada di depannya. Tom tampak ikut berhenti, "ini adalah makam dari seseorang yang kukatakan mirip denganmu. Seseorang yang paling berharga untukku."

Tom tampak melihat Wade yang berjongkok di depan makam itu dan mengusapnya pelan. Ia menengok, mencoba melihat nama yang terukir di batu pualam itu. Matanya membulat, tentu saja ia mengetahui nama itu.

Nama yang akan terus tertanam di kepalanya, sampai kapanpun sebagai salah satu penyesalan terbesarnya.

"Kekasihku, Peter..."

Peter Andrew Rogers Stark

.
.

To be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top